Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Hukum Acara Peradilan Agama

19 Maret 2024   09:22 Diperbarui: 19 Maret 2024   09:34 131 0
Hukum acara perdilan agama
Afandi, S.H., M.H
Akbaar Allaika Rahmatullah
222121180
Universitas Islam Negri Raden Mas Said Surakata, Indonesia

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Pengadilan Agama
1. Pengertian Pengadilan dan Peradilan
Istilah "Pengadilan" dan "Peradilan" merupakan dua kata yang berbeda. "Pengadilan" adalah tempat atau lembaga atau badannya. Hal ini disebutkan secara jelas dalam Pasal 1 Ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yakni pengadilan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Sedangkan yang maksud dengan "peradilan" adalah proses pemeriksaan perkara di pengadilan, yang dimaksud adalah acara pemeriksaan perkara oleh Hakim di lingkungan Pengadilan.
            Pengertian peradilan agama, dalam Pasal 1 Butir (1) UU Nomor 7 Tahun 1989, adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan menurut Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah bunyinya dengan pasal 2 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989, dinyatakan bahwa peradilan agama adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi Rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. Menurut UU Nomor 48 Tahun 2009, dalam Pasal 25 Ayat (3) dinyatakan bahwa peradilan agama sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Istilah "peradilan agama" harus dibedakan dengan "peradilan Islam". Peradilan Islam adalah peradilan menurut konsepsi Islam secara universal, yaitu mengadili semua perkara berkaitan dengan ajaran Islam secara universal. Karena itu, peradilan agama bukan peradilan Islam, dilihat dari materi perkara yang menjadi kompe- tensinya (Pasal 1 Butir (1), 49 dan 50 UU Nomor 7 Tahun 1989 Jo. UU Nomor 3 Tahun 2006). Lain halnya pendapat Roihan A. Rasyid bahwa Peradilan Agama dapat disebut "peradilan Islam" dengan disertai rangkaian kata "di Indonesia" lengkapnya Peradilan Islam di Indonesia. Untuk menghindari kekeliruan pemaknaan apabila dimaksud "peradilan Islam di Indonesia", maka cukup digunakan Istilah "peradilan agama". Peradilan agama merupakan peradilan lalam di Indonesia, karena wewenangnya mengikuti peraturan perundang-undangan di Indonesia (Roihan A Rasyid, 2000: 5-6).

     Dalam penjelasan Pasal 10 Ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan bahwa Peradilan Agama disebut Peradilan Khusus. Dikatakan Peradilan Khusus adalah pihak (subyek) serta obyek perkaranya tertentu. Menurut Pasal 1 Butir (1) serta Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989, bahwa pihak-pihak yang berperkara adalah antara orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan berkenaan dengan materi obyek perkaranya menurut Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang isinya diubah dengan Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 dinyatakan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang bergama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah.
Di samping batasan pengertian "peradilan agama" yang diberikan oleh undang-undang (Pasal 1 Butir (1) UU Nomor 7 Tahun 1989) perlu pula dikemukakan pendapat doktrin (ahli), yaitu dikemukakan oleh M. Idris Ramulyo. Beliau berpendapat bahwa pengadilan agama adalah tempat dilakukannya usaha mencari keadilan dan kebenaran yang di-ridhoi Tuhan Yang Maha Esa, yakni melalui suatu Majelis Hakim atau Mahkamah. Oleh karena itu, Pengadilan Agama dinamakan "Mahkamah Syar'iyah" yang berarti "Pengadilan" atau "Mahkamah" yang tugasnya menyelesaikan perselisihan hukum agama atau hukum syara' dan karenanya Pengadilan Agama hanya khusus berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam saja (M. Indris ramulyo, 1985: 11).

2. Pengertian Hukum Acara Perdata di Peradilan Umum dan Peradilan Agama
a. Hukum Acara Perdata di Peradilan Umummisalnya dalam jual-beli dan kewarisan (menurut KUH Pdt. dll). Sedangkan, hukum perdata Islam materiil yang menjadi wewenang peradilan agama, yaitu di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah menurut hukum Islam (Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006). Sedangkan dalam hukum tidak tertulis, misalnya jual beli dan kewarisan menurut hukum adat
Sudikno Mertokusumo (1998: 2) berpendapat bahwa hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim, dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentu- kan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih kongkrit dikatakan bahwa hukum acara perdata adalah mengatur tentang bagaimana cara mengajukan tuntutan hak, mengadili, memutus, dan melaksanakan dari pada putusannya.
b. Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama
Hukum acara peradilan Islam disebutkan dalam hadist Rasulullah Saw, yang artinya, "Aku (kata Rasulullah SAW) diperintahkan oleh Allah untuk menyelesaikan suatu perkara menurut dhohirnya saja, sedangkan perkara sir (hakekat) hanya Allah jualah yang paling tahu (Roihan A. Rasyid, 1995: 10)."
Menurut Roihan A. Rasyid, kata dhohir di sini bukanlah kebenaran formal menurut istilah hukum acara perdata umum, melainkan kebenaran hakekat secara formil atau kebenaran materiil menurut kemampuan ilmu manusia (Roihan A. Rasyid, 2000: 10). Sedangkan menurut Penulis, kata dhohir adalah seluruh daya dan upaya kemampuan manusia dalam mempertimbangkan serta memutus suatu perkara yang didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku baik formil maupun materiil.

3. Hubungan antara Hukum Perdata Materiil dengan Formil
 Hukum perdata materiil disebut juga hukum perdata. Pengertian hukum perdata menurut hukum perdata umum adalah peraturan hukum baik tertulis (dalam undang-undang) maupun tidak tertulis (hukum adat) yang berisikan mengatur hak dan kewajiban antara subyek-subyek hukum yang mengadakan hubungan hukum itu; misalnya dalam jual-beli dan kewarisan (menurut KUH Pdt. dll). Sedangkan, hukum perdata Islam materiil yang menjadi wewenang peradilan agama, yaitu di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah menurut hukum Islam (Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006). Sedangkan dalam hukum tidak tertulis, misalnya jual beli dan kewarisan menurut hukum adat.

4. Perkara di Pengadilan Agama
a. Pengertian Perkara dan Sengketa
Pengertian "perkara" lebih luas dari pada "sengketa". Pengertian perkara termasuk di dalamnya adalah pengertian sengketa. Sengketa berarti ada yang disengketakan atau diperselisihkan. Sedangkan pengertian "perkara" menurut hukum adalah baik ada yang diseng- ketakan atau ada yang diperselisihkan, ataupun tidak ada sengketa atau tidak ada perselisihan. Perkara ada yang disengketakan atau ada perselisihkan. Misalnya, A dan B mempunyai dua orang anak kandung, yaitu C dan D, kemudian A dan B telah meninggal dunia. Di samping telah meninggalkan dua orang ahli waris yaitu C dan D juga telah meninggalkan sebidang tanah yang di atasnya berdiri sebuah bangunan rumah. Jika ternyata harta peninggalan tersebut hanya dikuasai oleh C, sedangkan D tidak diberi haknya, berarti ada sengketa atau perselisihan. Bentuk tuntutan haknya adalah gugatan.
Sedangkan perkara yang tidak ada sengketa atau tidak ada per- selisihan, misalnya; C dan D secara bersama mengajukan permohonan penetapan waris, permohonan ijin jual, permohonan sebagai wali, dan lain-lain yang diajukan ke Pengadilan. Bentuk tuntutan haknya adalah permohonan.
b. Timbulnya Perkara di Pengadilan Agama
Wewenang Peradilan Agama diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang bunyinya diubah dengan Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 yaitu peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang- orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan ekonomi syariah.
c. Pihak-pihak dalam Perkara
Umumnya dalam beracara di depan pengadilan dalam perkara perdata terdapat dua macam pihak, yaitu pihak materiil dan pihak formil. Yang dimaksud pihak materiil adalah orang yang mempunyai kepentingan hukum langsung terhadap perkara itu. Misalnya C dan D adalah ahli waris dari orang tua kandungnya yang bernama A dan B. Sedangkan yang dimaksud pihak formil adalah pihak yang beracara di depan pengadilan. Apabila C dan D mengajukan gugatan sendiri atas harta peninggalan orang tua kandungnya bernama A dan B, maka C dan D di samping sebagaian sebagai pihak materil juga sebagai pihak formil.

5. Hukum Acara Perdata yang Berlaku di Peradilan Agama
Peradilan agama atau disebut juga peradilan Islam di Indonesia adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia (Pasal 18 UU Nomor 48 Tahun 2009). Peradilan agama termasuk peradilan khusus, yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mewu- judkan dan menegakkan hukum perdata Islam materiil dalam batas- batas yang ditentukan dalam undang-undang (Roihan A. Rasyid, 2000: 6).

Untuk melaksanakan tugas pokoknya yaitu menerima, memeriksa, mengadili perkara-perkara, serta memberikan putusan, serta fungsinya dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka pengadilan agama memerlukan hukum formil atau hukum acara sebagai peraturan yang mengatur bagaimana cara melakukan suatu peradilan atas suatu perkara, memberi putusan, serta melaksanakan hasil putusan hakim tersebut.
 


BAB 2
MEMBUAT DAN MENGAJUKAN GUGATAN

A. Ruang Lingkup
Dalam bab ini diuraikan cara membuat gugatan, sedangkan yang termasuk tuntutan hak di samping gugatan juga intervensi, perlawanan (verzet), perlawanan pihak ketiga (derdenverzet) dan permohonan. cara membuat semua tuntutan hak di atas sama dengan cara membuat gugatan. Karena itu, judul bab ini cukup mengambil salah satu dari tuntutan hak yang berupa "gugatan".
Bagian gugatan atau format gugatan terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pertama menguraikan tentang mekanime pengajuan gugatan baik menyangkut kekuasaan absolut maupun kekuasaan relatif. Bagian kedua berisikan tentang syarat isi gugatan (identitas para pihak, fundamentum petendi atau posita, dan Petitum). Sedangkan bagian ketiga menguraikan tentang tandatangan pihak atau kuasanya yang membuat dan mengajukan gugatan (tuntutan hak).

B. Kekuasaan Pengadilan
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum diseleng- garakan oleh pengadilan negeri (PN) merupakan pengadilan tingkat pertama dan oleh pengadilan tinggi (PT) merupakan pengadilan tingkat kedua atau pengadilan tingkat banding. Di lingkungan peradilan agama diselenggarakan oleh pengadilan agama (PA) merupakan peng- adilan tingkat pertama dan oleh pengadilan tinggi agama (PTA) meru- pakan pengadilan tingkat kedua atau pengadilan tingkat banding.

C. Kekuasaan Pengadilan Agama

Kekuasaan atau kewenangan mengadili suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan agama diatur secara khusus dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006, kekuasaan peradilan agama dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Kekuasan absolut (kompetensi absolut);
2) Kekuasaan relatif (kompetensi relatif).

1. Kekuasaan Absolut Pengadilan Agama
Kekuasaan absolut peradilan agama adalah kekuasaan atau kewenangan mengadili dari badan peradilan yang berupa peradilan agama atas perkara perdata tertentu secara absolut (mutlak) hanya pengadilan di lingkungan peradilan agama yang berwenang mengadili dan tidak dapat diadili oleh badan peradilan lain. Kekuasaan absolut menyangkut kekuasaan mengadili antara badan peradilan yang berbeda. misalnya kekuasaan mengadili antara peradilan agama dengan peradilan umum, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer.
2. Kekuasaan Relatif (Kompetensi Relatif/Distributie Van Rechtsmackt)
Wewenang relatif adalah mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan dalam satu badan peradilan yang sama. Menyangkut kekuasaan relatif adalah menyangkut Distributie Van Rechmacht (Retnowulan sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989; 8).
Penulis berpendapat bahwa wewenang relatif dari pengadilan adalah pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan yang satu dengan pengadilan lainnya di lingkungan satu badan peradilan yang sama semata-mata ditentukan tergantung masing-masing wilayah hukum pengadilan itu. Misalnya perkara utang piutang merupakan wewenang mutlak peradilan umum, karena tergugatanya bertempat tinggal di Surabaya, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Perkara antara orang-orang yang beragama Islam, di bidang perceraian yang waktu nikahnya dilakukan di kantor urusan agama, perkara kewarisan, hibah, wasiat merupakan wewenang mutlak badan peradilan agama. Karena tergugatnya bertempat tinggal di Malang, maka yang berwenang mengadili adalah pengadilan agama Malang, karena perkara serta tempat tinggal subyeknya berada di Malang yang merupakan wilayah hukum Pengadilan Agama Malang.

D. Gugatan atau Permohonan
1. Isi Gugatan atau Permohonan
Mengenai isi gugatan/permohonan dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 maupun dalam HIR atau RBg. tidak mengatur, karena itu diambil dari ketentuan Pasal 8 No. 3 RV, yang mengatakan bahwa isi gugatan pada pokoknya memuat: a). identitas para pihak, b). fundamentum petendilposita, yaitu dalil-dalil kongkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan (middelen van den eis), c). tuntutan (Petitum), Isi Membuat gugatan atau permohonan adalah sama dengan membuat tuntutan hak yang lain, misalnya membuat verzet (perlawanan), intervensi (keikutsertaan pihak ketiga), derdenverzet (perlawanan pihak ketiga), dan lain sebagainya.

2. Upaya untuk Menjamin Hak
Penggugat sangat berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan, bila gugatannya dikabulkan atau dimenangkan, agar terjamin haknya atau dapat dijamin putusannya dapat dilaksanakan.

3. Bentuk Gugatan

Pada dasarnya gugatan atau permohonan yang diajukan serta didaftarkan di kepaniteraan pengadilan tingkat pertama adalah harus dibuat berbentuk tertulis (Pasal 118 Ayat (1) HIR, 142 Ayat (1) RBg.), adapun membuatnya ada dua cara, yaitu: secara lisan dan tertulis

a. Secara Lisan
Apabila seseorang tidak dapat baca tulis, atau bisa membaca dan menulis tetapi tidak dapat membuat gugatan, maka ia dapat datang dan menghadap di kepaniteraan perdata suatu pengadilan tingkat pertama (pengadilan agama) sesui kewenangan relatifnya, menyampaikan langsung secara lisan bermaksud hendak meng ajukan gugatan ke pengdilan (pengadilan agama) (Pasal 120 HIR 144 ayat (1) RBg.), setelah dibuatkan oleh pengadilan, kemudian dicap jempol atau ditandatangani oleh penggugat atau pemohon, lalu didaftarkan ke kepaniteraan pengadilan.

b. Secara Tertulis
Semua tuntutan hak termasuk gugatan dibuat secara tertulis dalam pembahasan di bagian ini dimaksudkan bahwa pihak yang akan mengajukan gugatan telah membuat gugatan lebih dahulu di rumah, ditandatangani, kemudian di bawah ke pengadilan untuk didaftarkan (118 Ayat (1) HIR, 142 Ayat (1) RBg.). Semua bentuk tuntutan hak, gugatan, permohonan, perlawanan, dan lainnya, dibuat dan ditandatangani tanpa materai.

4. Pihak-pihak dalam Perkara
Di dalam perkara perdata berarti ada yang disengketakan dan tidak ada yang disengketakan. Tidak ada yang disengketakan, misalnya permohonan, berarti hanya terdapat satu pihak yaitu pemohon: contohnya, permohonan penetapan waris, dan lain sebagainya.

5. Penggabungan Gugatan (Tuntutan)
Dalam HIR, RBg., serta UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 tidak mengatur mengenai penggabungan gugatan (tuntutan), namun dalam praktik sering terjadi bahwa gugatan berisikan beberapa tuntutan (penggabungan gugatan). Pengga- bungan gugatan dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
a. Berbarengan (Samenloop/Concursus)
b. Kumulasi (samen Voeging)

6. Yang Dapat Beracara di Muka Pengadilan
Yang dapat beracara di muka pengadilan adalah orang, baik selaku pribadi maupun selaku wakil, orang dapat mewakili orang lain, orang dapat mewakili suatu badan hukum.

7. Taktik dan Strategi Membuat Gugatan atau Permohonan
Seorang yang akan mengajukan gugatan atau permohonan ke pengadilan, baik orang itu yang akan mengajukan dan menghadapi perkaranya sendiri atau melalui seorang kuasanya haruslah telah menghitung untung rugi serta apakah gugatan dikabulkan atau ditolak oleh hakim.

BAB 3
PROSES PERKARA DI PENGADILAN

A.Pendaftaran Perkara

Gugatan atau permohonan, agar dapat diperiksa oleh hakim, harus memenuhi prosedur pendaftaran sebagai berikut.
1) Gugatan atau permohonan harus dibuat secara tertulis (Pasal 118 Ayat (1) HIR 142 Ayat (1) RBg.) kemudian disahkan dengan cap jempol (bagi yang tidak dapat menulis) atau ditandatangani sendiri oleh pihak materiilnya (pihak penggugat/pemohon asli) apabila ia mengajukan sendiri..
2) Surat gugatan atau permohonan digandakan sejumlah pihak dalam perkara, misalnya penggugatnya seorang sedangkan tergugatnya sebanyak tiga orang, maka surat gugatan dibuat empat rangkap/eksemplar, minimal satu eksemplar asli dan selebihnya bisa salinan asli atau photocopy. Kemudian didaftarkan di kepanitraan pengadilan agama.
3) Pendaftaran perkara harus disertai dengan membayar biaya pendaftaran perkara, yang wajib membayar biaya perkara adalah pihak yang mengajukan gugatan atau permohonan, sedangkan pihak lawannya tidak ada membayar biaya perkara.

B. Majelis Hakim, Penetapan, dan Pemanggilan Sidang

1. Penetapan Majelis Hakim
Setelah perkara didaftar di kepaniteraan pengadilan agama, panitera wajib menyerahkan berkas perkara itu kepada ketua peng- adilan agama, kemudian ketua pengadilan agama melalui surat penetapan "penunjukan majelis hakim" menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Kemudian panitera menunjuk panitera muda atau panitera pengganti untuk mendampingi majelis hakim memeriksa perkara serta menunjuk juru sita/juru sita pengganti melaluli penetapan ketua pengadilan.

2. Penetapan Hari Persidangan
Yang menetapkan hari, tanggal, bulan, serta tahun persidangan pertama adalah majelis hakim. Kemudian, majelis hakim memerin tahkan kepada panitera pendamping sidang. Panitera selanjutnya meneruskan kepada juru sita agar juru sita membuat surat panggilan untuk para pihak, kemudian juru sita/juru sita pengganti melaksanakan pemanggilan terhadap para pihak.

3. Pemanggilan Sidang (Pasal 390 HIR, Pasal 718 RBg.)
Adapun cara pemanggilan sidang bagi pihak-pihak berperkara adalah sebagai berikut:

a. Surat panggilan atau exploit harus langsung disampaikan kepada pribadi orang yang dipanggil itu di tempat kediamannya (Pasal 390 Ayat (1) HIR, Pasal 718 Ayat (1) RBg.).
b. Sebab jika pihak yang dipanggil itu tidak dijumpai pada tempat kediamannya, undang-undang memberi jalan untuk menyam- paikan panggilan tersebut kepada kepala kampung atau kepala desa atau kepala kelurahan, yang berkewajiban memberikan panggilan itu secepat mungkin kepada yang bersangkutan (Pasal 390 Ayat (1) HIR, Pasal 718 Ayat (1) RBg.).
c. Jika baik tempat tinggal dan kediamannya tidak diketahui, maka pangilan dapat dilakukan secara panggilan umum melalui bupati atau walikota (Pasal 390 Ayat (3) HIR dan 718 Ayat (3) RBg.).

4. Kewajiban Majelis Hakim Setiap Persidangan
a. Persidangan dapat dilaksanakan dengan syarat disertai dengan adanya hakim ketua, tanpa kehadiran hakim ketua biasanya persidangan tidak dilaksanakan.
b. Di setiap persidangan, hakim ketua mulai dengan membuka dan mengakhiri sidang dengan ketukan palu sebanyak 3 kali. Khusus dalam Pengadilan Agama majelis hakim membuka sidang dengan bacaan "Bismillahirrahmanirrahim", kemudian menyebutkan nomor perkara, perkara antara siapa dengan siapa, menyebutkan bahwa pemeriksaan perkara terbuka untuk umum atau tertutup untuk umum adalah tergantung perkara yang sedang diperiksa, apabila perkara yang sedang diperiksa merupakan perkara cerai talak dan cerai gugat, maka persidangan tertutup untuk umum (Pasal 62 (2), 80 Ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989), sedangkan di bidang perkara waris, hibah, wasiat, wakaf, sedekah, zakat, infak dan ekonomi syariah persidangannya terbuka untuk umum.
c. Hakim ketua menanyakan identitas para pihak: Pertanyaan pertama hakim ketua adalah mana penggugat dan mana tergugat untuk mengatur tempat duduknya lalu dilanjutkan dengan menanyakan identitas pihak-pihak dimulai dengan penggugat, selanjutnya tergugat yang meliputi nama, bin/binti, alias/julukan gelar (kalau ada), umur, agama, pekerjaan dan tempat tinggal.
d. Anjuran damai: Menurut HIR, anjuran damai dari hakim selalu dilakukan (dalam sidang pertama) sebelum pembacaan surat gugatan.
e. Mediasi: Dalam praktik peradilan saat ini, anjuran damai telah sangat di anjurkan, apa lagi adanya lembaga mediasi.

C. Persidangan Dihadiri oleh Salah Satu Pihak

1. Penggugat Tidak Hadir di Persidangan
Apabila pada persidangan pertama, penggugat telah dipanggil secara patut namun tidak hadir dipersidangan tanpa alasan menurut hukum, sedangkan tergugat atau semua tergugat hadir di per- sidangan, maka alternatif yang dapat ditempuh oleh hakim adalah:
a. Hakim dapat secara langsung memutuskan menggugurkan gugatan penggugat dan membebankan ongkos perkara kepada penggugat (Pasal 124 HIR, Pasal 148 RBg.);
b. Kalau Hakim memperhatikan ketentuan Pasal 126 HIR dan 150 RBg., yang menganjurkan kepada hakim agar mengundurkan persidangan melalui surat panggilan resmi kepada penggugat agar datang pada persidangan berikutnya (Pasal 126 HIR, Pasal 150 RBg.).

3. Tergugat Lebih dari Satu Orang (Pasal 127 HIR, Pasal 151 RBg.)
Apa yang telah diuraikan di atas adalah aturan proses perkara apabila tergugat terdiri dari seorang saja. Berikut ini diuraikan proses perkara apabila tergugatnya lebih dari seorang, misalnya A selaku penggugat menggugat B, C, dan D, maka proses acara pemanggilannya mengikuti ketentuan Pasal 125, 126, 127 HIR (Pasal 149, 150, dan 151 RBg.) yaitu sebagai berikut:
a Apabila pada persidangan pertama semua tergugat tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara patut, sedang penggugat hadir, maka hakim dapat memutus dengan keputusan verstek (Pasal 125 HIR, 149 RBg.).
b Apabila pada persidangan pertama hanya seorang tergugat (B) yang hadir, sedang tergugat lainnya hadir (C dan D), atau kedua tergugat (C dan D) yang tidak hadir sedang tergugat B hadir, penggugat juga hadir, maka hakim wajib memanggil kembali tergugat yang tidak hadir untuk hadir pada persidangan berikut- nya (Pasal 127 HIR, 151 RBg.).

4. Penggugat dan Tergugat tidak Hadir di Persidangan
Apabila penggugat dan tergugat tidak hadir pada persidangan pertama tanpa alasan yang sah, meskipun telah dipanggil dengan patut, maka hakim dapat menggugurkan gugatan penggugat (Pasal124 HIR, Pasal 148 RBg.). Namun hendaknya hakim menunda sidang dan memerintahkan untuk memanggil penggugat dan tergugat untuk hadir pada persidangan kedua (Pasal 126 HIR, Pasal 150 RBg.). Apabila pada persidangan kedua ini pun penggugat dan tergugat tidak hadir di persidangan, barulah hakim dapat memutus dengan menyatakan gugatan penggugat gugur.
Demikian pula apabila tergugatnya lebih dari seorang, yang penting adalah penggugat dan semua tergugat tidak hadir baik dalam persidangan pertama serta persidangan kedua, maka hakim dapat memutus gugatan penggugat gugur. Putusan gugur tidak ada upaya hukumnya. Namun Penggugat dapat mengajukan gugatan dan mendaftarkan perkara baru.

5. Turut Tergugat (Ikut Tergugat) tidak Hadir di Persidangan
Dalam perkara terdapat turut tergugat/ikut tergugat sebagai pihak baik seorang maupun lebih. Mengenai kehadiran turut tergugat/ ikut tergugat dalam persidangan tidak diatur dalam HIR maupun RBg. Dalam praktik kehadiran turut tergugat pada persidangan pertama, sedang penggugat dan tergugat hadir, hakim menunda persidangan untuk memerintahkan agar memanggil turut tergugat yang tidak hadir tersebut agar hadir pada persidangan kedua. Apabila pada persidangan kedua ini pun turut tergugat tidak juga hadir, maka peme- riksaan dapat diteruskan secara contradictoir atau tanpa hadirnya turut tergugat, upaya hukum terhadap putusan ini adalah banding

D. Perlawanan (Verzet) atas Putusan (Verstek)

Proses acara verzet (Pasal 128,129 HIR dan 153 RBg.) Bagaimana pun kita pikirkan adalah beralasan sekali bahwa putusan verstek itu masih merupakan putusan yang belum memberikan penyelesaian yang benar-benar realistis berdasarkan kesimpulan yang datangnya dari sepihak saja, sekalipun hal yang demikian secara formil dibenarkan oleh hukum.

BAB 4.
PEMBUKTIAN

A. Pembuktian Menurut Hukum Acara di Peradilan Umum

1. Arti Pembuktian

Mengenai arti pembuktian, M. Yahya Harahap berpendapat, bahwa pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang pada dasarnya dikatakan sebagai alat yang akan membawa pihak-pihak yang berperkara itu ke arah kemenangannya atau tidak (M. Yahya Harahap, 1977: 206). Sedangkan, Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa pembuktian secara yuridis yaitu menyajikan fakta-fakta yang cukup menurut hukum untuk memberikan kepastian kepada majelis hakim mengenai terjadinya pristiwa atau hubungan hukum (Abdulkadir Muhammad, 2000: 115). Sudikno Mertokusumo (1998: 107) berpendapat bahwa "membuktikan" mengandung beberapa peng ertian, yaitu:

a.Kata membuktikan dikenal dalam arti 'logis', membuktikan berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena itu berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu axioma, asas-asas umum yang dikenal dalam suatu ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang besifat
b.b. Kata membuktikan dikenal dalam arti konvensional. Di sini, membuktikan berarti juga memberi kepastian; bukan kepastian mutlak, tetapi hanya bersifat nisbi atau relatif sifatnya yang mem- punyai tingkatan-tingkatan: 1. kepastian yang didasarkan pada perasaan belaka, karena didasarkan atas perasaan maka kepastian ini bersifat intuitif dan disebut confiction intime. 2. kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka disebut confiction raisonnee.
c.Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis, di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensional yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang ber- perkara atau yang memperoleh hak dari mereka.

2. Hukum Pembuktian Positif
Yang dimaksud hukum pembuktian positif yaitu hukum pembuktian yang berlaku dalam hukum acara saat ini. Hukum pembuktian positif kita dalam acara perdata diatur dalam HIR, RBg., serta buku IV BW yang tercantum dalam HIR dan RBg. merupakan hukum pembuktian baik materiil maupun formil. Sedangkan apa yang tercantum dalam Buku IV BW adalah mengatur hukum pembuktian materiil.
3. Yang Harus Dibuktikan
Yang harus dibuktikan adalah peristiwanya dan bukan hukumya. Hukumnya tidak harus diajukan atau dibuktikan oleh para pihak, tetapi secara ex officio dianggap harus diketahui dan diterapkan oleh hakim (ius curia novit). Ketentuan ini dapat disimpulkan dari Pasal 178 Ayat 1 HIR (Pasal 189 Ayat 1 RBg., dan Pasal 50 Ayat 1 Rv.).
4. Yang Harus Membuktikan
Yang mencari kebenaran dan menetapkan atau mengonstatir peristiwanya adalah hakim. Peristiwa itu ditetapkan atau dikonstatir oleh hakim setelah dianggap terbukti benar
5. Penilaian Terhadap Alat Bukti
Suatu peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pem- buktian oleh kedua pihak, namun terhadap bukti-bukti itu masih harus dinilai. Dalam hal ini undang-undang memberikan kewenangan pada hakim untuk menilai terhadap suatu bukti tersebut. Hakim dalam menilai suatu alat bukti dibatasi oleh undang-undang, sehingga ia tidak bebas menilainya
6. Macam-macam Alat Bukti

Apabila seorang penggugat hendak mengajukan suatu peristiwa tententu sesuai dalil dalam gugatannya atau seorang tergugat hendak membuktikan suatu peristiwa sesuai dalil bantahannya, maka suatu pembuktian atau pengajuan alat bukti itu harus dihadirkan dan diterangkan dihadapan hakim dipersidangan secara langsung, dengan demikian hakim dapat melihat dengan mata kepalanya sendiri. Apabila suatu peristiwa yang akan dibuktikan itu merupakan peristiwa lampau tidak akan bisa dihadapkan ke muka hakim di persidangan, sehingga tidak akan dapat didengar atau dilihat oleh hakim, maka dapatlah diajukan sepucuk surat (bukti tertulis) yang dihadirkan secara langsung di hadapan hakim di persidangan. Berikut adalah macam-macam alat bukti;

a. Alat Bukti Surat
Alat bukti surat diatur dalam Pasal 138, 164, 165, 167 HIR, 285- 305 RBg dan Stb. No. 29 tahun 1867, Pasal 1867-1894 BW (baca juga pasal 138-147 Rv.).
 Pengertian Alat Bukti Surat (Akta) Pengertian alat bukti surat tidak ditemukan dalam HIR, Rbg., BW maupun Rv, karena itu pengertian bukti surat dicari dari pendapat doktrin (ahli) hukum acara perdata berikut in

b. Alat Bukti Saksi
Pengertian saksi dan kesaksian Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139-152, 168-172 HIR (Pasal 306-309 Rbg, pasal 1895, 1902-1912 BW). Mengenai pengertian kesaksian baik dalam HIR, Rbg.,   maupun yurispundensi tidak memberikan definisi atau pengertian tentang kesaksian.

c. Alat Bukti Persangkaan-persangkaan (Vermoedense)
Pasal 164 HIR (Pasal 284 RBg., 1866 BW) menyebutkan bahwa sebagai alat bukti sesudah saksi adalah persangkaan-persangkaan atau dugaan-dugaan (vermoedens, presumption). Apabila dalam suatu perkara perdata sukar mendapatkan saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri (merasakan sendiri), maka peristiwa hukum yang harus dibuktikan diusahakan agar dapat dibutikan dengan persangkaan (dugaan-dugaan). Dipakai perkataan persangkaan-per- sangkaan, karena satu persangkaan saja tidak cukup untuk mem- buktikan sesuatu, maka harus banyak persangkaan, persangkaan yang satu sama lain saling menutupi, saling berhubungan, sehingga dalil yang disangkal itu dapat dibuktikan. Persangkaan dalam hukum acara perdata menyerupai bukti petunjuk dalam hukum acara pidana.

d. Alat Bukti Pengakuan
Pembuktian dengan pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam Pasal 174, 175 dan 176 HIR (311, 312, dan 313 RBg., 1923-1928 BW). Pasal 1923 BW membedakan dua macam pengakuan, yaitu:

1) Pengakuan yang diberikan di muka hakim di persidangan (174 HIR, 311 RBg., 1926 BW).
2) Pengakuan yang diberikan di luar persidangan (175 HIR, 312 RBg., 1928 BW). Undang-undang tidak memberikan definisi suatu pengakuan,karena itu dicari pendapat doktrin (ahli) hukum acara perdata.

e. Alat Bukti Sumpah
Menurut Sudikno Mertokusumo, sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat Maha Kuasa dari Tuhan, dan percaya siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.

f. Keterangan Ahli (Expertise)
Dalam pemeriksaan perkara di pengadilan, hakim mungkin akan menemui persoalan yang tidak dapat diketahui berdasarkan disiplin ilmu yang dimilikinya.

g. Pemeriksaan Setempat (Descente)
Di atas telah dikemukakan berdasarkan Pasal 164 HIR (Pasal 284 RBg, 1866 BW), dalam hukum acara perdata terdapat lima alat bukti, yaitu bukti saksi, tertulis, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.

B. Pembuktian Menurut Hukum Acara Peradilan Islam
Pembuktian merupakan hal penting dalam hukum acara, sebab pengadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan adalah ber- dasarkan pembuktian yang riil yang diajukan oleh para pihak yang berperkara di depan pengadilan.

1. Pengertian Pembuktian
Mengenai pengertian pembuktian, dalam HIR, RBg., BW, Rv serta UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 tidak terdapat ketentuan yang memberikan arti dari pada pembuktian, karena itu patut lah kiranya mengambil dari pendapat doktrin, yaitu pendapat M. Yahya Harahap, Abdulkadir Muhammad serta Sudikno Mertokusumo sebagaimana telah diuraikan di atas.
2. Asas-asas Pembuktian
Yang harus dibuktikan adalah peristiwanya dan bukan hukumya. Hukumnya tidak harus diajukan atau dibuktikan oleh para pihak, tetapi secara ex officio dianggap harus diketahui dan diterapkan olehhakim (ius curia novit), ketentuan ini dapat disimpulkan dari Pasal 178 Ayat 1 HIR (Pasal 189 Ayat 1 RBg. dan Pasal 50 Ayat 1 Rv).
3. Beban Pembuktikan
Dalam Hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim yang telah penulis sebutkan di atas, mengandung juga beban pembuktian.
4. Sistem Pembuktian
Sebagaimana sudah dimaklumi, sistem pembuktian menurut hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan peradilan umum yang bersumber pada HIR, RBg., BW, dan Rv adalah mendasarkan pada kebenaran formal, maksudnya hakim akan memeriksa dan mengadili suatu perkara perdata terikat mutlak kepada cara-cara tertentu yang telah diatur dalam HIR, RBg., BW, dan Rv. Karena itu, sistem pembuktiannya juga didasarkan kebenaran formal itu.
5. Kebenaran yang Dicari dari Pembuktian
Kebenaran yang didasari dari pembuktian menurut hukum acara perdata Islam adalah kebenaran materiil. Banyak ayat-ayat Alquran yang menyerukan demikian.menurut hukum acara perdata Islam adalah kebenaran yang hakiki, yang tidak lain adalah kebenaran materiil. Begitu pula dalam pembuktian di muka peradilan agama, sekalipun secara formal menurut ketentuan HIR, RBg.,
6. Alat Bukti dan Nilai Kekuatan Pembuktian
Menurut hukum acara perdata di peradilan umum, alat-alat bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 164 HIR (Pasal 284 RBg.

C. Pembuktian dalam Praktik di Pengadilan Agama

1. Pembuktian dalam Perkara Cerai Talak dan Cerai Gugat
Menurut penjelasan umum UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 disebutkan bahwa pemeriksaan perkara di bidang perkawinan di samping berpedoman pada UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 juga UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974.

2. Pembuktian dalam Perkara Cerai Talak dan Cerai Gugat Disertai Tuntutan Lain
Pembuktian dalam praktik di pengadilan dalam perkara perdata secara umum adalah sama baiknya dengan pembuktian di peradilan umum, peradilan tata usaha negara, maupun di pengadilan agama.

3. Tertib dalam Acara Pembuktian
Dalam praktik peradilan pembuktian akan dilaksanakan dalam dua model, sebagai berikut: a. Model Pertama: Penggugat mendapat giliran pertama mengajukan
bukti, baik tertulis maupun saksi-saksi sampai selesai. Bukti pertama yang di ajukan oleh penggugat semua bukti tertulis, kalau sudah selesai barulah pengajuan bukti saksi.b. Model Kedua: Pengajuan bukti tertulis dulu, secara berurutan penggugat, tergugat, turut tergugat, dan intervensi.

4. Persyaratan dan Kelengkapan Pembuktian
a. Bukti Tertulis Sebelum diajukan bukti tertulis harus ada aslinya, kemudian difotokopi dan masing-masing satuan bukti tertulis harus ditempeli materai Rp6000.00, lalu dibawa ke kantor pos untuk distempel oleh bagian nazegel. Lalu masing-masing bukti tertulis diberi tanda penggugat atau tergugat. Bila bukti tertulis oleh penggugat maka masing-masing diberi tanda P.1, P.2, dst. Artinya
b. Pembuktian dengan Bukti Sumpah Pembuktian dengan bukti sumpah ini adalah sama dengan pembahasan bukti sumpah tersebut di atas.

5. Tahap Kesimpulan
Setelah acara pembuktian berakhir, persidangan berikutnya adalah kesimpulan, tahap kesimpulan dimaksudkan agar masing- masing pihak membuat kesimpulan sidang. Membuat kesimpulan dalam hukum acara perdata tidak wajib, artinya boleh membuat atau tidak, namun dalam praktik, hakim tetap memberikan kesempatan kepada para pihak untuk membuat kesimpulan sidang. Kesimpulan dimaksudkan adalah kesimpulan yang berisikan semua peristiwa persidangan, terdiri dari gugatan, jawab-menjawab, pembuktian, pertimbangan hukum, dan lainnya.

BAB 5
PUTUSAN

A. Pengertian Putusan (Vonis)
Putusan disebut vonis (Belanda) Al Goda'u (Arab), yaitu model peradilan agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara. Dua pihak dimaksud adalah bila bentuknya gugatan, maka terdapat penggugat dan tergugat. Apabila berbentuk perlawanan, maka terdapat pelawan dan terlawan. Produk peradilan semacam ini biasa diistilahkan dengan "produk peradilan yang sesungguh- nya" atau "Contiteuse Jurisdictie" (Roihan A. Rasyid, 2000: 199).

B. Jenis-jenis Putusan
Pasal 185 Ayat (1) HIR, 196 Ayat (1) RBg., membedakan antara putusan akhir dengan putusan yang bukan putusan akhir. Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkat peradilan tertentu.Adapun jenis-jenis putusan akhir, yaitu:
1. Putusan Condemnatoir (Menghukum)
Putusan condemnatoir (menghukum) adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Hukuman semacam ini hanya terjadi pada perkara atau sengketa yang berkaitan dengan perikatan yang bersumber dari perjanjian atau undang-undang.
2. Putusan Constitutif (Menciptakan)
Putusan constitutif (menciptakan) adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Misalnya, pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, pemberian pengampuan, pernyataan pailit, pemutusan perjanjian (Pasal 1266, 1267 BW) dan sebagainya, dalam diktum atau amar putusannya misalnya "menyatakan per- kawinan antara penggugat dan tergugat putus karena perceraian."
3. Putusan Declaratoir (Menerangkan)
Putusan declaratoir (menerangkan atau menyatakan ada ) adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau yang sah, misalnya anak yang disengketakan adalah anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah.

C. Bukan Putusan Akhir (Putusan Sela)

Dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan di samping ada putusan akhir, menurut Sudikno Mertokusumo (1998: 194), ada juga putusan yang bukan merupakan putusan akhir, maksudnya putusan yang bukan merupakan putusan akhir untuk mengakhiri suatu perkara, namun hanyalah putusan-putusan yang diperlukan untuk memperlancar jalannya suatu proses perkara; bukan putusan akhir atau disebut juga putusan sela atau putusan sementara, yang fungsinya tidak lain untuk memperlancar pemeriksaan perkara. Menurut Pasal 185 Ayat (1) HIR, Pasal 196 Ayat (1) RBg., putusan sela ini harus diucapkan di muka persidangan dan tidak dibuat secara terpisah, tetapi ditulis dalam berita acara persidangan. Bila ada pihak yang tidak puas atas putusan tersebut maka dapat diajukan upaya hukum banding, menurut Pasa. 190 Ayat (1) HIR, Pasal 251 Ayat (1) RBg, pengajuan banding atas putusan sela dapat dimintakan banding bersama-sama dengan permintaan banding atas putusan akhir.

D. Kekuatan Hukum Putusan

1. Kekuatan Putusan Akhir

Keputusan akhir biasanya bersifat condemnatoir, constitutif, dan declaratoir. Menurut Sudikno Mertokusumo (1998: 178), putusan mempunyai tiga macam kekuatan: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian. dan kekuatan untuk dilaksanakan.
Kekuatan Mengikat Putusan yang telah dijatuhkan harus ditaati oleh kedua belah pihak; salah satu pihak tidak bertindak bertentangan dengan putusan. Jadi, putusan mempunyai kekuatan mengikat kedua belah pihak (Pasal 1917BW), terikatnya para pihak terhadap putusan dapat mempunyai arti positif dan negatif.

BAB 6.
UPAYA HUKUM

A.Pengertian
    Dalam putusan hakim bisa jadi terdapat kekeliruan atau kekhilafan, bahkan bisa jadi bersifat memihak salah satu pihak yang berarti meru- gikan pihal lain. Karena itu, demi mencapai kebenaran dan keadilan, setiap hukum acara termasuk hukum acara peradilan agama mengatur setiap putusan dan penetapan suatu pengadilan dapat diperiksa dan diadili ulang (kembali), agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dan penetapan dapat diperbaiki. Upaya agar suatu putusan atau penetapan dapat diperiksa ulang disebut upaya hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo (1998: 195), upaya hukum adalah upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.

B. Macam-macam Upaya Hukum

Ditinjau dari macamnya, upaya hukum terdiri dari:

1. Upaya Hukum Biasa
Upaya Hukum Biasa yakni upaya atau alat untuk memperbaiki suatu kekeliruan atau kekhilafan dalam suatu putusan pengadilan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang (Sudikno Mertokusumo, 1998: 195). Putusan yang diajukan suatu upaya hukum biasa hanya bersifat menghentikan untuk sementara pelaksanaan (eksekusi) suatu putusan, kecuali putusan itu ada dic tum dapat dilaksanakan lebih dahulu walaupun ada upaya hukum banding, kasasi dan perlawanan (uit voerbaar bij voorraad) (Pasal 180 HIR). Macam-macam upaya hukum biasa yaitu perlawanan (verzet), banding dan kasasi.
a.Perlawanan (Verzet).
Pengaturan tentang Perlawanan
Perlawanan atau verzet adalah upaya hukum biasa dan merupakan hak tergugat (para tergugat) yang perkaranya diperiksa dan diputus oleh pengadilan tingkat pertama tanpa hadirnya tergugat (para tegugat) yang berupa putusan verstek.
b. Banding (Pengadilan Ulangan)
Dasar Hukumnya
Menurut Pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989 disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum.
c. Kasasi
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985. Yang dimaksud perubahan di sini hanya pasal-pasal tertentu dalam UU Nomor 14 Tahun 1985 diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 jadi UU Nomor 14 Tahun 1985 masih berlaku

2. Upaya Hukum Luar Biasa
Upaya hukum luar biasa (istimewa) yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan atau kekhilafan terhadap suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap/pasti (incrack Van gewisjde). Menurut Sudikno Mertokusumo (1998: 195) putusan memperoleh kekuatan hukum tetap yaitu terhadap suatu putusan hakim yang tidak tersedia lagi upaya hukum biasa. Hal ini terjadi karena tenggang waktu terhadap setiap masing-masing upaya hukum biasa tidak digunakan sehingga putusan telah mem- peroleh kekuatan hukum tetap.


BAB 7
PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM (EKSEKUSI)

A. Putusan yang Dapat Dilaksanakan

1. Pengertian Pelaksanaan Putusan (Eksekusi)
Pemeriksaan di pengadilan diakhiri dengan suatu putusan, akan tetapi dijatuhkannya putusan berarti peradilan masih belum selesai, karena itu suatu putusan harus dapat dilaksanakan. Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan.
2. Syarat Putusan Dapat Dilaksanakan

Tidak setiap putusan dapat dilaksanakan, suatu putusan dapat dilaksanakan apabila putusan tersebut memenuhi syarat-syarat:

a.Putusan di lingkungan pengadilan umum, kepala putusannya dimulai, "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" (Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009). Kepala setiap putusan di lingkungan pengadilan agama dimulai dengan kata-kata, "Bismillahirrohmannirrohim" dan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" (Pasal 57 UU Nomor 7 Tahun 1984).

b.Putusan telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap (In Kracht Van Gewijsde)Suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah suatu putusan yang tidak ada lagi upaya hukum biasa.

c.Isi putusannya bersifat condemnatoir Artinya, isi putusan tersebut dalam dictum (amar) putusannya bersifat condemnatoir yaitu isinya bersifat menghukum pihak- pihak tertentu yang kalah untuk melakukan suatu perbuatan atau prestasi tertentu sesuai isi putusan.

d.d. Pejabat pelaksana putusan hakim (Eksekusi)
Menurut Pasal 95 UU Nomor 7 Tahun 1989, ketua pengadilan wajib mengawasi kesempurnaan pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaan putusan (eksekusi) melalui penetapan ketua pengadilan agama, sedangkan yang melaksanakan penetapan dan keputusan pengadilan adalah panitera pengadilan agama (Pasal 98 UU Nomor 7 Tahun 1989).

B. Macam-macam Pelaksanaan Putusan Hakim (Eksekusi)

Dalam Hukum Acara Perdata terdapat tiga macam pelaksanaan putusan (eksekusi), yaitu:
1) Eksekusi atas putusan hakim yang berisikan menghukum sese- orang untuk membayar sejumlah uang prestasi yang diwajibkan. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 1976 HIR (Pasal 208 RBg.).
2) Eksekusi atas putusan hakim yang berisikan menghukum sese- orang untuk melakukan suatu perbuatan. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 225 HIR (Pasal 259 RBg.).
3) Eksekusi atas putusan hakim berisikan menghukum seseorang untuk mengosongkan barang tidak bergerak (eksekusi riil). Eksekusi Riil tidak diatur dalam HIR, tetapi diatur dalam 1033 Rv.

C. Prosedur Eksekusi

1) Yang berhak mengajukan permohonan eksekusi, yaitu:

a. Penggugat saja, apabila isi putusan hakim penggugat saja yang dimenangkan, misalnya dalam kasus wakaf, dalam putusan hakim penggugat yang dimenangkan atas obyek wakaf.

b. Penggugat dan atau tergugat, apabila isi putusan hakim tersebut berkaitan dengan pembagian hak di mana penggugat dan tergugat juga mendapatkan hak atas sesuatu benda, misal- nya perkara gono-gini, warisan, dan wasiat.

c. Ahli waris dari penggugat dan atau tergugat apabila penggugat dan atau tergugat meninggal dunia sebelum putusan peng- adilan dilaksanakan (eksekusi).

d. tingkat pertama setelah mempelajari berkas Ketua pengadilan tingkat pertama se perkara eksekusi, selanjutnya mengeluarkan surat penetapan eksekusi.

e. Sebelum eksekusi dilaksanakan didahului:

(1) peringatan (aan maaning) I

(2) peringatan (aan maaning) II

maksud dari peringatan (aan maaning) I dan II adalah pihak termohon eksekusi dipanggil untuk menghadap ke pengadilan untuk diperingatkan agar termohon eksekusi secara baik-baik menyerahkan obyek tereksekusi kepada pengadilan. Apabila termohon eksekusi tidak mematuhinya, maka dalam waktu minimal satu minggu panitera mengeluarkan peringatan (aan maaning) II secara tertulis disampaikan kepada termohon eksekusi.

f. Setelah peringatan (aan maaning) I dan II, termohon eksekusi masih belum mematuhi isi putusan pengadilan tersebut, panitera membuat surat pemberitahuan dilaksanakan eksekusi, isinya hari, jam, tanggal, bulan dan tahun serta tempat dilaksana- kannya eksekusi ditujukan kepada:

(1) pemohon eksekusi;

(2) termohon eksekusi;

(3) kepala desa atau kelurahan letak obyek tereksekusi;

(4) kepala camat setempat;

(5) kepolisian sektor setempat sebagai pengawas; (6) koramil setempat sebagai pengawas.

g. Waktu eksekusi

(1) Pelaksana eksekusi adalah pejabat pengadilan tingkat pertama; di lingkungan pengadilan agama, menurut UU Nomor 7 Tahun 1989 adalah panitera pengadilan agama. Dalam praktik adalah seorang hakim, panitera dibantu oleh panitera muda dan juru sita.

(2) Pertemuan semua pihak yang mendapat pemberitahuan tersebut di atas dipimpin seorang hakim, membacakan pene tapan pengadilan agama tentang eksekusi, kemungkinan eksekusi.

BAB 8
PEMBERIAN KUASA

Secara umum, pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1792-1819

KUH.Pdt. yang berisikan empat bagian penting, yaitu sifat pemberian kuasa, hak dan kewajiban pemberi kuasa dan penerima kuasa (si Kuasa), hak upah atau honor dalam pemberian kuasa, hak retensi, tanggung jawab penerima kuasa serta berakhirnya pemberian kuasa.

Surat kuasa juga dijumpai dalam dunia bantuan hukum di pengadilan yang diatur dalam Pasal 123 HIR, Pasal 54 KUHAP. Dalam hukum dagang, hal-hal mengenai makelar diatur dalam Pasal 62- 73 KUHD, mengenai komisioner diatur dalam Pasal 76-85.a KUHD.

A. Pengertian dan Sifat Pemberian Kuasa

Menurut Pasal 1792 KUH.Pdt., dijelaskan bahwa pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menye- lenggarakan suatu urusan.
Dalam pemberian kuasa, satu pihak sebagai pemberi kuasa dan di pihak lain sebagai penerima kuasa atau si kuasa (lastheber), penerima kuasa bertindak mewakili pemberi kuasa (vetegeng voordiding) yaitu mengenai urusan tertentu yang diamanatkan kepadanya. Kuasa dapat diberikan baik secara tertulis maupun secara lisan.

2. Penerima Kuasa (Lasheber)

a. Kewajiban-kewajibanya
Si kuasa berkewajiban menjalankan kuasanya sesuai dengan surat kuasa yang dibuat dengan pemberian kuasa. Jika penerima kuasa tidak menjalankan kuasanya sehingga mengakibatkan tim- bulnya kerugian, biaya, dan bunga, maka akibat itu merupakan tangung jawab si kuasa.
b. Hak-haknya
Dalam pemberian kuasa, si kuasa mempunyai hak-hak yaitu hak atas upah atau honor serta biaya-biaya, bunga, serta vorskot yang telah dikeluarkan dalam
c. Hak Retensi
Dalam setiap perjanjian pemberian kuasa, si kuasa karena hukum mempunyai hak retensi, yaitu hak untuk menahan suatu barang kepunyaan pemberi kuasa untuk sekian lamanya, sehingga segala apa yang merupakan hak si penerima
d. Tanggung Jawabnya

Si kuasa bertanggung jawab untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan surat kuasa yang diterimanya, akan tetapi jika si kuasa tidak menjalankan kuasanya sampai menimbulkan kerugian berupa biaya-biaya, kerugian dan bunga, maka si kuasa bertanggung jawab untuk menanggungnya sendiri (1800 KHU.Pdt.).

B. Surat Kuasa

1. Macam-macam Surat Kuasa

Ketentuan KUH.Pdt. tidak mengatur macam-macam surat kuasa. Pasal 1797 KUH.Pdt. hanya menyebutkan bahwa si kuasa (penerima kuasa) hanya boleh bertindak sebatas ketentuan yang tertuang di dalam surat kuasa yang dibuat bersama. Namun macam-macam surat kuasa hanya dikenal dalam praktik sehari-hari, dalam praktik

sehari-hari dikenal ada tiga macam surat kuasa, yaitu:
a) Surat kuasa umum;
b) Surat kuasa khusus (surat kuasa istimewa);
c) Surat kuasa mutlak.

2. Bentuk Surat Kuasa

Kuasa dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. Kuasa yang diberikan secara tertulis dapat dibuat dengan akta otentik dan/atau di bawah tangan (Pasal 1793 KUH.Pdt.). Tentu saja, kuasa secara tertulis dengan akta otentik dibuat di hadapan pejabat berwenang, dalam hal ini di depan pejabat Notaris. Lain halnya kuasa dibuat tertulis di bawah tangan, berarti surat kuasa itu dibuat tidak di hadapan pejabat berwenang, yaitu dibuat sendiri oleh para pihak.

3. Surat Kuasa dalam Praktik Peradilan

Dalam praktik peradilan, surat kuasa yang dipergunakan adalah surat kuasa khusus; dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 123 HIR, sedangkan dalam perkara pidana diatur dalam Pasal 54 KUHAP. Sedangkan, bentuk surat kuasa untuk membela perkara di pengadilan adalah selalu tertulis, dapat dibuat secara otentik maupun di bawah tangan.

4. Pemberian Kuasa untuk Membela Perkara di Pengadilan

a. Si Penerima Kuasa Bukan Advokat

1) Pemberian kuasa antara seseorang yang tidak dapat baca dan tulis atau dapat baca tulis (sebagai pemberi kuasa) kepada or- ang yang tidak punya ijin advokat (sebagai penerima kuasa), dalam praktik peradilan dibolehkan asal dipenuhi syarat-syarat:
a) Antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa masih ada hubungan keluarga yang dikuatkan dengan bukti surat keterangan dari kepala desa atau kelurahan.
b) Kemudian surat keterangan tersebut di bawah oleh Pemberi kuasa dengan penerima kuasa, lalu secara bersama-sama menghadap kepada ketua pengadilan tingkat pertama melalui kepaniteraan perdatanya, kemudian oleh ketua pengadilan menunjuk seorang hakim untuk dibuatkan surat kuasa khusus dengan dibubuhi materai sesuai ketentuan undang- undang, sekarang materai Rp6.000,- (enam ribu rupiah), lalu kedua pihak membubuhkan tanda tangan atau cap jempol pada surat kuasa khusus tersebut. Surat kuasa seperti ini disebut surat kuasa insidentil. Barulah surat kuasa khusus tersebut dipergunakan oleh si penerima kuasa untuk membela perkara- nya si pemberi kuasa baik sebagai penggugat atau tergugat atau lainnya.

2) Bila pemberi kuasa yang menyangkut badan hukum tertentu, baik badan hukum privat maupun publik. Bila suatu badan hukum berperkara di pengadilan, pimpinannya dapat mewakili badan hukumnya, atau menunjuk bawahannya untuk mewakili di depan pengadilan, meskipun bawahannya yang ditunjuk bukan sebagai advokat dibolehkan asal memenuhi syarat dan prosedur.

5. Ciri-ciri atau Syarat-syarat Surat Kuasa Khusus

a. Ditinjau dari macamnya merupakan surat kuasa khusus, karena itu dalam surat kuasanya ada kata-kata "Khusus".
b. Pihak-pihaknya tertentu dan harus ditulis secara keseluruhan. c. Kedudukan masing-masing pihak harus ditulis.
d. Pengadilannya tertentu dan harus ditulis secara jelas. Hal ini untuk menentukan ke pengadilan mana perkara akan diajukan. jelas dan keseluruhan.
e. Obyek perkaranya harus ditulis secara f. Kewenangan yang akan diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa harus ditulis secara jelas dan keseluruhan.

6. Kekuatan Hukum Surat Kuasa Khusus
Pada dasarnya kekuatan hukum antara surat kuasa khusus biasa dengan surat kuasa khusus yang bersifat insidentil adalah sama dan dapat dipergunakan mewakili pemberi kuasa di semua tingkat pengadilan. Namun dalam praktik peradilan ada sedikit perbedaan dalam hal berkaitan dengan bila surat kuasa khusus itu disubstitusikan (dilimpahkan) kepada orang lain, yaitu:
a.Surat kuasa khusus yang bersifat insidentil, pihak penerima kuasa tidak dapat melimpahkan (menyubstitusikan) kepada orang lain baik penerima limpahan kuasa itu seorang advokat atau tidak.
b.Surat kuasa biasa, penerima kuasanya adalah seorang advokat, ia dapat melimpahkan (menyubstitusikan) kuasanya kepada orang lain baik sebagian atau seluruhnya; hal ini dengan syarat dalam kuasanya harus ada perintah dapat disubstitusikan dan penerima kuasa substitusi harus seorang advokat.



BAB 9

TAKTIK DAN STRATEGI MEMBELA PERKARA PERDATA DI DEPAN PENGADILAN

A. Putusan Akhir Pengadilan

1. Mengenal Putusan Akhir Pengadilan

Kemungkinan-kemungkinan isi putusan akhir dari suatu pengadilan dalam perkara perdata, yaitu:
a. Gugatan Dinyatakan tidak Dapat Diterima Biasanya isi putusan pengadilan adalah gugatan dinyatakan tidak dapat diterima didasarkan atas alasan-alasan:

1) Gugatan tidak memenuhi formalitas gugatan. Misalnya keliru menentukan pihak dalam gugatan, keliru menulis identitas pihak dalam gugatan, penggugat tidak ada kepentingan hukum dengan obyek sengketa, gugatan yang diajukan tidak ditanda- tangani, obyek sengketanya berupa tanah yang batas-batasnya keliru atau tidak jelas, dan lain sebagainya.

2) Alasan-alasan dalam gugatan (fundamentum petendi/posita) tidak sempurna, antara posita dengan petitum tidak menun- jukkan hubungan satu sama lain, gugatan belum waktunya diajukan.

3) Keliru menentukan badan peradilan sebagai tempat mengajukan gugatan (keliru menentukan kewenangan absolut), keliru

b. Gugatan Dinyatakan Ditolak oleh Hakim

Gugatan yang dinyatakan ditolak oleh hakim adalah merupakan gugatan yang didasarkan atas alasan bahwa penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya.

c. Gugatan Dikabulkan oleh Hakim

Gugatan yang dikabulkan oleh hakim adalah merupakan gugatan yang didasarkan atas alasan bahwa penggugat dapat membuktikan dalil gugatannya. Perkara yang diperiksa di pengadilan meru- pakan perpaduan antara teori, dasar hukum, dan praktik

2. Menghadapi Perkara di Depan Pengadilan

a. Perkara Dihadapi Sendiri
Seorang atau suatu badan hukum yang akan/atau sedang ber- perkara di depan pengadilan dalam perkara perdata, baik berposisi sebagai penggugat atau pelawan, haruslah terlebih dahulu mem- persiapkan segala apa yang diperlukan agar perkaranya dapat dibuktikan dan akhirnya dimenangkan oleh hakim.

b. Memilih dan Menunjuk Seorang Kuasa
Bila seorang atau badan hukum untuk menghadapi perkara di pengadilan baik sebagai penggugat atau pelawan maupun sebagai tergugat atau terlawan, akan menunjuk seorang kuasa. Penulis sarankan menunjuk seorang advokat sebagai kuasanya dengan pertimbangan tentu mereka memahami hukum acaranya serta sudah pengalaman praktik di pengadilan.

B. Membuat dan Mengajukan Gugatan atau Permohonan
Sebelum memilih untuk menyelesaikan perkaranya melalui perantaraan putusan hakim, seseorang haruslah memikirkan secara matang untung dan rugi, baik materiil maupun immateriil.

C. Menghadapi Pemeriksaan Perkara di Persidangan

1. Mengenal Pihak-pihak di dalam Persidangan

Saat menghadapi pemeriksaan perkara perdata di depan persidangan, haruslah diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a.Harus lah dipahami secara benar apa yang menjadi pokok persoalan atau perkara antara para pihak.
b.. Mengenal betul pihak lawan atau kuasanya, yaitu mengenal dan menganalisa bukti apa yang dimiliki dan akan diajukan sebagai bukti di depan persidangan, demikian juga menghadapi pihak tergugat yang beritikad kurang baik yakni sering tidak hadir di persidangan, maka penggugat harus sabar sepanjang sesuai dengan hukum acara dan haruslah bersikap tegas kalau telah memenuhi hukum acara.
c.Mengenal masing-masing hakim yang mengadili dan memeriksa perkara tersebut. Dalam hal ini untuk mengetahui apakah hakim tersebut pandai dan jujur, pandai tetapi tidak jujur atau bodoh dan jujur.
d.Mengenal seorang panitera yang mendampingi majelis hakim memeriksa perkara.
e.Pemanggilan sidang serta pemberitahuan putusan pengadilan atau surat-surat lain yang sifatnya merupakan pemberitahuan dari pengadilan kepada para pihak yang berperkara dilaksanakan oleh seorang juru sita pengadilan tingkat pertama.

2. Menghadapi Perkara dalam Persidangan

Pada asasnya hakim bersikap pasif. Karena diajukan gugatan oleh pihak penggugat ke pengadilan, barulah hakim sebagai pejabat negara wajib memeriksanya. Dimulainya suatu persidangan diketahui dari isi surat panggilan resmi dari pengadilan yang dilaksanakan oleh juru sita pengadilan tingkat pertama.

3. Menghadapi Perkara dalam Acara Jawab-menjawab

Secara umum, dalam membuat serta isi jawaban atau tanggapan seharusnya memperhatikan bukti yang telah dipersiapkan. Strategi dalam membuat jawaban dan/atau tanggapan setidak-tidaknya harus memperhatikan ha-hal sebagai berikut:
a. Bagi Pihak Penggugat atau Pelawan
Pihak Penggugat atau pelawan dalam menghadapi pemeriksaan perkara haruslah memahami serta menguasai secara benar serta menyeluruh, yaitu: Pertama, isi dalam gugatannya, pokok perma- salahan, persiapan pembuktian, atau harus membuat perencanaan secara matang mengenai pembuktian, yaitu perencanaan pem- buktian tertulis serta saksi dan lainnya. Kedua, dalam menanggapi jawaban pertama dari tergugat (repliek) harus simpel dan jelas. Jawablah atau tanggapilah sesuai apa maksud dalam gugatan, tidak perlu panjang lebar, yang penting tanggapilah sesuai keten- tuan yang berlaku serta bukti yang telah disiapkan, jangan mudah terpancing oleh jawaban tergugat.

b. Bagi Pihak Tergugat atau Terlawan
Pihak tergugat atau terlawan dalam menghadapi pemeriksaan perkara haruslah memahami serta menguasai secara benar serta menyeluruh, yaitu: Pertama, isi dalam gugatannya, pokok perma- salahan, persiapan pembuktian, atau harus membuat perenca- naan secara matang mengenai pembuktian, yaitu perencanaan pembuktian tertulis serta saksi dan lainnya. Kedua, dalam membuat jawaban pertama atas gugatan penggugat, jawaban atau tang- gapan haruslah menyesuaikan dengan bukti yang telah diper- siapkan.

4. Menghadapi Perkara dalam Acara Pembuktian

Yang dijadikan obyek pemeriksaan di depan persidangan dalam perkara perdata pada intinya adalah gugatan, permohonan, perlawanan (verzet), perlawanan pihak ketiga (derdentverzet) yaitu terutama dalam alasan-alasan atau dalil-dalil apa yang ada di dalamnya. Mengenai pembuktian dapat dipelajari dan dipahami dalam bab pembuktian buku ini. Siapa yang harus membuktikan adalah siapa yang men- dalilkan suatu hak atau menolak hak orang lain? Penggugat atau pelawan wajib membuktikan mengenai dalil atau alasan apa yang dijadikan dasar suatu hak dalam gugatannya. Bisa terjadi tergugat atau terlawan dalam jawaban-jawabannya ia mendalilkan suatu hak atau menolak haknya penggugat, maka tergugat atau terlawan ada kewajiban membuktikan haknya atau menolak hak pihak penggugat.

5. Membuat dan Mengajukan Kesimpulan

Di dalam hukum acara perdata tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai cara membuat dan mengajukan kesimpulan sidang, berarti tidak ada kewajiban pagi para pihak untuk mengajukan kesimpulan. Meskipun tidak ada kewajiban, namun dalam praktik peradilan, setelah selesai acara pembuktian, hakim selalu memberikan kesempatan bagi para pihak untuk membuat dan mengajukan kesim- pulan agar disampaikan pada persidangan akan datang. Karena tidak ada kewajiban maka para pihak boleh atau tidak membuat kesimpulan. Menurut penulis sebaiknya para pihak membuat dan mengajukan kesimpulan sidang, dengan pertimbangan mungkin dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam membuat putusan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun