Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Ramadan, 17 Agustus, Lebaran, dan Bung Karno

17 Agustus 2012   06:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:38 223 0
Pengibaran bendera 17 Agustus 1945 (foto: id.wikipedia.org) Bulan Juli dan Agustus ini ada 3 even besar yang menyita perhatian kita. Pertama, puasa ramadan yang sudah berlangsung sejak akhir Juli. Kedua, peringatan HUT Kemerdekaan RI tgl 17 Agustus. Dan ketiga, lebaran Idul Fitri tgl 19 Agustus 2012. Bagi umat muslim puasa ramadan dan lebaran adalah rangkaian hari keagamaan yang penting. Maka selama satu bulan umat muslim disibukkan dengan persiapan dan menjalankan ibadah puasanya. Lalu dilanjutkan dengan kemeriahan merayakan Idul Fitri. Walau perayaanya hanya 1-2 hari, tapi persiapan dan seluk beluknya termasuk perjalanan mudik ke kampung halaman bisa memakan waktu lebih lama. Disamping itu, di bulan Agustus juga ada peringatan HUT Kemerdekaan RI. Tapi yang saya rasakan, peringatan HUT Kemerdekaan ini sepertinya kalah seru, jika dibanding dengan kemeriahan rangkaian puasa – lebaran. Setidaknya ini kita rasakan sejak tahun lalu, dimana peringatan HUT Kemerdekaan RI bertepatan dengan bulan puasa. Hanya pegawai negeri atau aparat pemerintah lainnya yang melakukan upacara peringatan. Sehingga acara-acara dalam menyambut peringatan “Agustusan” yang biasanya meriah, kini bisa dikatakan tidak terlihat. Padahal kalau tidak berbarengan dengan bulan puasa, biasanya cara-acara ini meriah dimana-mana. Kita bisa melihat perlombaan yang diadakan untuk anak-anak kecil di lingkungan kita. Atau kegiatan-kegiatan unik lainnya, seperti lomba panjat pinang atau pertunjukan kesenian. Saya jadi berfikir, apakah seharusnya peringatan “Agustusan” itu sederhana saja seperti 2 tahun belakangan ini, karena bertepatan dengan bulan puasa, dimana tidak terlalu meriah acara-acara untuk menyambutnya. Atau sebaliknya, apakah peringatan “Agustusan” itu dirayakan dengan meriah dengan segala acara-acara, seperti saat tidak bertepatan dengan puasa dan lebaran. Menurut sejarah, Proklamasi Kemerdekaan RI terjadi pada bulan ramadan, tepatnya 9 Ramadan 1364 H. Pembacaan proklamasi dan upacara dilaksanakan dengan sederhana dan dalam suasana puasa ramadan. Ini tentu kontras dengan saat ini, dimana perayaan dan upacaranya dilakukan dengan wah. Acara-acara dalam menyambut peringatan agustusan pun marak dan meriah dimana-mana. Tentu saja hal ini tidak ada salahnya, asalkan kita tetap bisa memaknai nilai-nilai kemerdekaan. Maka tidak terlalu penting sederhana atau meriah dalam peringatan “Agustusan”, tapi bagaimana kita bisa memaknai arti kemerdekaan negara kita dan mengisinya sesuai dengan bidang masing-masing. Lalu apa hubungannya dengan Bung Karno seperti pada judul tulisan ini? Saat saya browsing mencari info tentang kemerdekaan dan lebaran, saya menemukan tulisan yang menarik di sebuah blog sejarah. Yaitu seruan lebaran Bung Karno di majalah M.I.A.I, 1 Oktober 1943. Isinya seperti ini:

LEBARAN - PEPERANGAN Inilah lebaran diwaktu perang yang kedua, sejak pecahnya peperangan saat ini. Insyafkah kita benar-benar akan arti lebaran yang sekarang ini? Peperangan makin memuncak! Kita menghadapi klimaksnya (memuncaknya) peperangan sekarang ini! Insyafkah kita akan arti lebaran kita itu? Di dalam pidato radio saya pada tanggal 15 september, saya anjurkan supaya kita semua tahan menderita di dalam peperangan ini. Saya katakan, bahwa tiada satu bangsa yang tidak menderita dimasa perang, dan bahwa tiada bangsa dapat mencapai kemenangan, kalau tiada tahan menderita. “Inna maal usri yusro” – kebahagiaan sesudah kesusahan! Kita harus merayakan lebaran sekarang ini didalam semangat tahan menderita itulah! Satu bulan lamanya kita berpuasa! Melatih diri tahan menderita! Marilah kita hadapi 'tahun yang baru' ini sebagai satu bangsa, yang benar-benar telah terlatih tahan menderita di dalam bulan ramadan. Latihan telah kita kerjakan, marilah kita pakai hasil latihan itu seterusnya! Maka kemenangan akhir pasti di pihak kita! Jakarta, Lebaran 1362 H Soekarno
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun