Rasanya? Persis seperti harus mengajar mata kuliah untuk mahasiswa S1 padahal kita sendiri belum menguasainya. Â Selain harus memanajemen proyek penelitian; saya juga harus mencoba untuk menulis artikel ilmiah jika ada waktu luang (yang tentu saja harus dalam bahasa Inggris). Â Selain itu, saya juga berusaha untuk terlibat dalam penulisan proposal penelitian jika ada kesempatan. Â Praktis, selalu saja ada yang harus saya kerjakan.
Di satu sisi, saya cukup beruntung bahwa saya bisa mendapatkan pekerjaan sebagai peneliti di sebuah universitas papan atas di Inggris. Â Di sisi lain, terkadang saya merindukan masa-masa bekerja di dunia akademik Indonesia. Â Beban kerja rendah sekali, tidak ada tekanan dan tuntutan untuk menjadi "berprestasi". Â Karena banyaknya tekanan untuk berprestasi, konsep "work-life balance" santer didengungkan oleh manajemen universitas untuk menghindari "burn-out" karena beban pekerjaan.
Ada kursus-kursus yang ditawarkan oleh universitas untuk memberikan tips-tips bagi staf universitas untuk menghindari "burn-out", stress terkait dengan pekerjaan dan lain sebagainya. Â Dalam kenyataannya, tidaklah mudah untuk menerapkan apa yang diajarkan dalam kursus ini karena tuntutan pihak universitas.
Banyak cerita beredar bahwa saat sabtu-minggu, ataupun masa cuti, staf pengajar dan peneliti tetap diharapkan untuk memonitor email mereka dan menyelesaikan pekerjaan jika diperlukan. Beberapa staf bahkan secara ironis mengungkapkan bahwa universitas merasa berhak "memiliki" staf mereka.  Sisi positif-nya, banyak universitas-universitas di Inggris yang memiliki kualitas baik, bahkan dalam taraf internasional.
Jadi, bisakah sebenarnya staf di universitas terkemuka di Inggris memiliki work-life balance? Berdasarkan pengamatan saya, jawabannya mudah sekali: "tidak, jika yang bersangkutan ingin menunjukkan prestasi yang bagus ".