Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Aku Ateis dan Aku Bahagia

6 Juli 2012   08:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:15 678 5
Usiaku 31 tahun, namaku Dewi, just Dewi. Orangtuaku memberi nama Dewi Hidayani, namun setelah berusia 20 tahun aku menghilangkan nama Hidayani, karena nama itu bernuansa Islam, padahal aku tidak beragama, ya, aku seorang ateis.

Aku terlahir dari keluarga kebanyakan, keluarga yang tidak miskin dan tidak pula kaya, tidak terpandang dan tidak terlalu taat beragama, yahhh ordinary family gitulah...

Aku ateis bukan berarti aku tidak mempercayai adanya "Tuhan." Mengapa aku memberi tanda kutip untuk kata Tuhan? karena aku tidak setuju menamai suatu kekuatan yang mengendalikan alam semesta ini dengan Tuhan, bagiku istilah Tuhan terlalu spesifik.

Pemikiran ateis ini pertama kali muncul saat aku kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Salah satu dosennya sangat dekat denganku dan dia sangat percaya kepadaku. Selama kami berhubungan (hubungan normal loh, sahabatan, bukan affair) aku mengetahui kalau dia adalah seorang ateis, sebelumnya tidak ada seorangpun yang tahu karena menurutnya masalah itu sangat pribadi sekali.

Dia mau menceritakan kepadaku mengenai keateisannya karena memang aku yang menanyakannya. Karena selama kami berhubungan itu, tidak pernah sekalipun kulihat dia melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan. Saat dia menceritakan keateisannya tak satupun kata-katanya yang bersifat mengajak, tetapi entah bagaimana aku kepikiran dan mulai meragukan agama yang kuyakini saat itu, tiba-tiba pemikiranku sangat kritis dan skeptis terhadap agama.

Semenjak itu aku mempelajari dengan sangat tekun mengenai agama yang masih kuyakini saat itu, kemudian agama-agama lainnya, namun tidak satupun yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanku yang sangat mendasar. Aku tidak tahu mengapa aku terlahir di dunia ini, padahal aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Tidak satupun agama-agama yang kupelajari bisa menjelaskan dan membuktikan Tuhan yang mereka maksudkan. Semuanya hanya berlandaskan pada kata iman.

Pernah juga aku berdiskusi panjang lebar dengan anggota fanatik Jaringan Islam Liberal. Konsep yang mereka tawarkan sebenarnya menarik, tapi setelah mempelajarinya secara seksama, menurutku mereka menganut keyakinan yang tanggung, mereka meyakini agamanya tapi tidak mempercayakan agama bisa mengatur negara. Logikaku mengatakan kalau agama saja tidak bisa mengatur suatu negara, konon lagi ummat manusia. Kalau memang demikian sekalian aja tinggalkan agama tersebut seutuhnya.

Akupun juga mempelajari buku-buku pemikir-pemikir yang sangat terkenal, seperti Sigmund Freud, Nietczhe, Albert Einstein, Richard Dawkins, dan masih banyak lagi. Hingga aku berkesimpulan agama hanyalah sejenis organisasi yang dibuat oleh manusia, hingga saat ini aku hanya menyaksikan agama hanya jadi penyebab perpecahan, dan tak ada satupun agama yang bisa membuktikan dapat mensejahterakan suatu negara di dunia ini.

Bahkan negara-negara yang benar-benar memisahkan agama dari urusan-urusan kenegaraan terlihat sangat maju dan sejahtera misalnya Swedia, Prancis, Amerika, Kanada dan Singapura. See, tanpa agamapun semuanya bisa berjalan normal koq.

Satu hal yang paling tidak kumengerti adalah mengapa aku dikucilkan karena aku seorang ateis. Aku ketahuan ateis di lingkungan aku berada karena dikhianati seorang teman kuliah yang sangat kupercayai. Sebenarnya aku tidak tahu pasti apa dia sengaja atau tidak menceritakan tentangku kepada orang lain, yang pasti perlahan-lahan akhirnya semua kenalan-kenalanku mengetahui keateisanku.

Semenjak itu satu demi satu setiap orang yang mengenalku menjauh dan tidak mau lagi berhubungan denganku. Entah siapa yang memberitahu, orangtuakupun akhirnya mengetahuinya, mereka marah besar dan tidak menganggapku sebagai anak mereka lagi, merekapun tidak mau membiayai kuliah dan kebutuhanku sehari-hari.

Aku merasa seperti anjing gila yang harus dihindari, sungguh sangat menyakitkan. Padahal aku tidak ada menyerang satu agamapun, masih mending kalau yang dihindari atau dibenci orang yang menganut antichrist yang menyerang agama Kristen, atau Ahmadiyah yang bertentangan dengan Islam.

Hanya dosen itulah yang sangat perhatian dengan keadaanku, dia sungguh baik sekali. Diapun menyarankan kepadaku untuk keluar dari Jakarta, dan pindah ke Yogyakarta. Dia memberikan uang secukupnya untuk biaya kost dan kuliah di sana.

Selama tinggal di Yogyakarta, akupun benar-benar hidup mandiri. Pernah suatu waktu aku mengalami krisis keuangan, sempat hampir tergoda menjajakan tubuhku, namun harga diriku ternyata lebih kuat. Meskipun aku seorang ateis, aku menjalani hidupku dengan mengikuti norma-norma yang berlaku di masyarakat, taat kepada peratutan pemerintah.

Sekarang, hidupku sudah berjalan dengan baik. Aku memiliki usaha gerai batik yang kukelola sendiri. Aku memiliki seorang kekasih yang tidak menghiraukan apa yang kuyakini, bagi dia yang penting adalah saling memperhatikan, saling menyayangi, saling mencintai. Dia sendiripun punya keyakinan tersendiri, dia mempercayai Tuhan suatu agama, tanpa menjalani aturan-aturan agama itu. Bagi dia, meyakini Tuhan itu ada, sudah cukup baginya. Dia juga memiliki bisnis legal yang cukup sukses.

Kami berdua sepakat untuk hidup bersama, tanpa pernikahan resmi. Cukup hanya mengikuti urusan birokrasi, dan berbohong mengenai pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan agama, maka negarapun mengakui kami sebagai suami istri yang sah.

Hubungan sosial kamipun normal, karena kami memang sepakat untuk merahasiakan keyakinan masing-masing.

Sebelas tahun sudah berlalu semenjak aku memutuskan memilih ateis, sekarang hidupku bahagia dan sejahtera bersama kekasihku.

Aku ateis dan aku bahagia dengan pilihan hidupku.

-------------------------------------------------------------

Belajar memahami pemikiran yang berseberangan!

Salam Hangat Sahabat Kompasianers ^_^

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun