Minggu-minggu setelah pertemuan mereka yang kedua, Fira dan Ghean mulai rutin bertemu di kafe. Setiap pertemuan selalu dipenuhi dengan tawa, cerita, dan diskusi mendalam tentang penulisan dan seni. Fira merasa inspirasi mengalir deras dari percakapan mereka, dan setiap kali Ghean menyentuh laptopnya, ia merasakan detak jantungnya bergetar.
Di antara tawa dan cerita, mereka berbagi impian dan ketakutan masing-masing. Fira mengungkapkan ketakutannya tentang masa depannya sebagai penulis—apakah karyanya akan diterima? Apakah ia bisa menyelesaikan novel ini? Ghean mendengarkan dengan penuh perhatian, memberi dukungan yang selalu Fira butuhkan.
“Fira, setiap penulis pasti meragukan kemampuannya. Yang terpenting adalah terus menulis. Jangan biarkan ketakutan itu menghentikanmu,” Ghean memberi semangat.
Fira mengangguk, merasa diperkuat oleh kata-kata Ghean. “Kamu benar. Setiap kali aku mulai menulis, aku merasa hidup. Dan aku tidak ingin kehilangan perasaan itu.”
Satu sore, setelah menyelesaikan satu bab baru, Fira merasa sangat puas. Mereka duduk di kafe, menyeruput kopi yang baru disajikan. “Aku rasa aku mulai menemukan suara karakternya,” kata Fira dengan semangat. “Mereka mulai hidup dalam kepalaku.”
Ghean tersenyum. “Itu luar biasa! Ceritakan lebih lanjut. Aku ingin tahu.”
Dengan antusias, Fira menjelaskan perkembangan cerita dan bagaimana karakter-karakternya mulai saling berinteraksi. Ghean mendengarkan dengan seksama, memberi saran yang membuat Fira merasa lebih percaya diri. Setiap kali Ghean memberikan masukan, Fira merasa semangatnya semakin menggelora.
Namun, di balik semua kebahagiaan itu, Fira juga merasa sedikit cemas. Ia mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Ghean lebih dari sekadar teman. Ada ketertarikan yang semakin dalam, tetapi ia juga takut untuk mengungkapkannya. Apa yang akan terjadi jika hubungan ini berubah? Apakah persahabatan mereka akan tetap sama?
Suatu hari, saat mereka duduk di kafe dengan kopi di tangan, Fira merasa ada sesuatu yang berbeda di udara. Suasana itu tegang, dan Fira bisa merasakan getaran dalam hatinya. Ghean menatapnya, seolah menunggu Fira mengatakan sesuatu.
“Aku...,” Fira mulai, tetapi suaranya terhenti. Ia menelan ludah, berjuang dengan kata-katanya.
“Ya?” tanya Ghean, penasaran.
“Aku ingin mengucapkan terima kasih. Selama ini, kamu telah membantuku lebih dari yang bisa aku ungkapkan. Kamu membuatku merasa berharga dan terinspirasi,” Fira akhirnya mengungkapkan perasaannya.
Ghean tersenyum, dan Fira bisa melihat kilau di matanya. “Aku senang mendengar itu. Kamu juga memberiku perspektif baru tentang penulisan. Setiap kali aku mendengarkan ceritamu, aku merasa bersemangat untuk menciptakan sesuatu juga.”
Mereka berdua tersenyum, tapi Fira masih merasakan ketegangan itu. Ia ingin berbagi lebih banyak tentang perasaannya, tetapi kata-kata terasa terjebak di tenggorokannya. Mungkin itu bukan waktu yang tepat.
Seiring waktu, Fira mulai lebih percaya diri dengan tulisannya. Ia menambahkan elemen baru, mengembangkan karakter, dan bahkan mulai menggambarkan suasana yang lebih mendalam. Ghean selalu ada untuk memberinya umpan balik, dan Fira merasakan hubungan mereka semakin kuat.
Suatu malam, setelah mereka selesai menulis di kafe, Ghean mengajaknya untuk berjalan-jalan di sekitar taman. Fira merasa senang, tetapi juga cemas. Langkah mereka terasa ringan, tetapi Fira bisa merasakan ketegangan di dalam dirinya.
Saat mereka berhenti di sebuah bangku taman, Fira menatap Ghean, dan detak jantungnya semakin cepat. “Ghean, aku… aku ingin bertanya tentang sesuatu.”
“Ya?” Ghean menatapnya dengan penuh perhatian, membuat Fira merasa seolah dunia terhenti sejenak.
“Apa kamu percaya pada cinta yang tumbuh dari persahabatan?” Fira akhirnya mengeluarkan pertanyaannya, merasa berani.
Ghean terdiam sejenak, kemudian tersenyum. “Aku percaya bahwa cinta bisa tumbuh dari mana saja, termasuk dari persahabatan. Kadang, hubungan terbaik dimulai dari saling memahami dan mendukung satu sama lain.”
Fira merasa jantungnya berdegup kencang. “Jadi, kamu setuju bahwa kita bisa lebih dari sekadar teman?”
Ghean tersenyum, menatap Fira dengan lembut. “Aku pikir kita sudah lebih dari sekadar teman. Kita saling mendukung, berbagi mimpi, dan melihat satu sama lain tumbuh. Aku menikmati setiap momen bersamamu, Fira.”
Fira merasakan getaran aneh di dalam dadanya. Ada harapan dan keraguan bercampur aduk. “Jadi, apa kita bisa mencoba menjadi lebih dekat? Aku tidak ingin kehilangan apa yang kita miliki sekarang.”
Ghean mengangguk. “Aku juga tidak ingin kehilangan ini. Kita bisa mencoba, lihat ke mana ini akan membawa kita.”
Dengan kata-kata itu, Fira merasa seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya. Ada sesuatu yang indah yang mulai tumbuh di antara mereka, dan Fira merasa siap untuk menjelajahi perasaan itu.
Malam itu, saat mereka berjalan pulang, Fira merasa seolah dunia baru terbuka di depannya. Mungkin, kebetulan-kebetulan kecil yang membawa mereka bertemu itu memang memiliki makna yang lebih dalam. Ia merasa bersemangat untuk melanjutkan penulisannya, kali ini dengan perasaan baru yang mengalir dalam setiap kata.