Hari-hari setelah pertemuan dengan Ghean terasa lebih cerah bagi Fira. Setelah ditinggal pergi, ia terus merenungkan percakapan mereka di kafe. Kata-kata Ghean, tentang hal-hal kecil yang membawa perubahan, mengisi pikirannya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Fira merasa ada harapan untuk menyelesaikan naskahnya.
Minggu itu, Fira memutuskan untuk mencoba hal-hal baru. Ia mulai menjadwalkan waktu menulis di tempat-tempat berbeda. Senin, ia pergi ke taman kota; Selasa, ia mencari sudut di perpustakaan; Rabu, ia mencoba kafe lain yang direkomendasikan oleh teman. Dengan setiap perubahan suasana, ide-ide baru mulai bermunculan.
Di tengah kesibukan menulis, Fira tidak bisa menghilangkan kenangan tentang Ghean. Meskipun mereka hanya bertemu sekali, ada sesuatu yang membuatnya merasa ingin bertemu lagi. Fira merindukan obrolan ringan dan cara Ghean melihat dunia. Ia bahkan teringat dengan baik detail tentang pria itu—suaranya, senyumnya, dan cara dia berbicara tentang kopi seolah itu adalah hal terpenting di dunia.
Suatu sore, saat Fira duduk di sebuah kafe baru, ia teringat pada saran Ghean. "Dua orang asing yang bertemu di kafe." Ia mulai menulis tentang karakter yang terinspirasi dari mereka berdua. Fira membayangkan seorang penulis yang terjebak dalam kebuntuan, kemudian bertemu dengan seorang desainer grafis yang memberinya semangat baru. Perlahan, tokoh-tokoh itu mulai hidup dalam imajinasinya, dan ceritanya mengalir seperti air.
Di tengah proses menulis, Fira mendapati dirinya tersenyum. Ia tidak pernah menyangka bahwa pertemuan sekejap itu akan membawa dampak sebesar ini. Begitu asyik menulis, ia bahkan tidak menyadari waktu berlalu. Ketika ia melihat jam di ponselnya, sudah hampir larut malam. Fira menyimpan laptopnya dan keluar dari kafe dengan perasaan yang lebih ringan daripada sebelumnya.
Di luar, udara malam yang sejuk menyambutnya. Fira berjalan pulang sambil memikirkan kemungkinan untuk menghubungi Ghean lagi. Akankah dia merasa tertarik untuk bertemu lagi? Dengan rasa ragu yang mendalam, Fira membuka aplikasi pesan di ponselnya dan mulai mengetik. "Hai, Ghean! Ini Fira. Aku ingin mengucapkan terima kasih untuk obrolan di kafe kemarin. Aku mulai menulis lagi, dan rasanya sangat menyenangkan. Bagaimana kabarmu?"
Fira menatap layar sambil menunggu balasan. Detak jantungnya berdebar, merasa cemas dan bersemangat sekaligus. Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, ponselnya bergetar. Ghean membalas, "Hai, Fira! Senang mendengar kabarmu. Aku baik-baik saja. Bagaimana tulisanmu? Ada kemajuan?"
Fira tersenyum. Mereka mulai berbalas pesan, berbagi pemikiran dan pengalaman. Obrolan itu mengalir dengan mudah, seolah-olah mereka sudah berteman lama. Dalam beberapa hari ke depan, Fira merasa semakin dekat dengan Ghean. Ia berbagi cuplikan naskahnya, dan Ghean dengan antusias memberikan masukan yang konstruktif. Ternyata, Ghean bukan hanya seorang desainer grafis, tetapi juga seorang pengamat yang baik.
Suatu sore, mereka sepakat untuk bertemu lagi di kafe tempat mereka pertama kali bertemu. Fira merasa sedikit canggung, tapi juga bersemangat. Saat Fira masuk ke kafe, ia melihat Ghean sudah duduk di meja yang sama. Pria itu mengenakan kaos berwarna cerah dan jeans yang terlihat rapi. Ia tersenyum lebar ketika melihat Fira.
“Hey, penulis kita! Gimana, sudah berapa banyak yang kamu tulis?” tanya Ghean, bersemangat.
Fira duduk dan mengeluarkan laptopnya. “Bisa dibilang, aku sedang berusaha mengejar ketinggalan. Sudah ada beberapa bab, meskipun masih banyak yang perlu dirapikan.”
Ghean mengangguk dengan penuh perhatian. “Bagus! Aku ingin sekali mendengarnya.”
Fira merasakan semangatnya menyala kembali. “Sebenarnya, aku mulai menulis tentang dua orang asing yang bertemu di kafe. Terinspirasi dari kita, tentu saja!”
Ghean tampak terkejut dan tersenyum lebar. “Wow, aku harus berbangga. Mungkin aku bisa jadi karakter favorit di novel itu?”
Fira tertawa. “Kita lihat saja nanti. Tapi aku harap karakternya lebih rapi dari dirimu yang asli!”
Mereka terus bercanda dan berbagi cerita, dan suasana kafe terasa hangat dan penuh tawa. Fira mendapati dirinya semakin nyaman dengan Ghean. Percakapan yang dulunya ringan kini terasa lebih dalam, dan ia bisa merasakan koneksi yang semakin kuat antara mereka. Setiap kali Ghean tertawa, hatinya bergetar. Ada sesuatu dalam diri Ghean yang membuatnya merasa diterima, seperti sahabat yang sudah lama hilang dan kini kembali.
Selama pertemuan itu, Fira merasa terinspirasi lebih dari sebelumnya. Ghean bukan hanya memberikan dukungan, tetapi juga menjadi pemicu semangatnya untuk terus berkarya. Ia mulai melihat masa depan naskahnya dengan lebih optimis.
Setelah beberapa jam berbincang, mereka menyadari waktu sudah larut. Fira dan Ghean beranjak dari meja, dan saat mereka melangkah keluar kafe, suasana malam yang tenang menyelimuti mereka.
“Jadi, kapan kita bertemu lagi?” tanya Ghean sambil menatap Fira dengan penuh harapan.
“Bagaimana kalau minggu depan? Aku ingin membagikan beberapa bab yang sudah kutulis,” jawab Fira, merasakan harapan baru tumbuh dalam dirinya.
“Deal!” Ghean menjawab dengan semangat. “Aku tidak sabar untuk membacanya.”
Saat mereka berpisah di depan kafe, Fira merasa hatinya berdebar. Mungkin, pertemuan tak terduga ini bukan hanya memberi inspirasi untuk menulis, tetapi juga memberi jalan bagi sesuatu yang lebih. Fira pulang dengan perasaan penuh harapan, menyadari bahwa hidup sering kali memberi kejutan terbaik ketika kita membuka diri terhadap kemungkinan yang ada.