“Akan datang suatu masa di mana ummat-ummat lain akan memperebutkan kalian bagai orang-orang yang memperebutkan makanannya”. Salah seorang sahabat bertanya; “Apakah karena sedikitnya kami ketika itu?” Nabi menjawab, Bahkan, pada saat itu kalian banyak jumlahnya, tetapi kalian bagai ghutsa’ (buih kotor yang terbawa air saat banjir). Dan pasti Allah akan mencabut rasa segan yang ada di dalam dada-dada musuh kalian, kemudian Allah campakkan kepada kalian rasa wahn”. Kata para sahabat, “Wahai Rasulullah, apa Wahn itu? Beliau bersabda: “Cinta dunia dan takut mati”. (Shahih – HR. Abu Daud, Kitab al-Malahim, Bab, Fi Tadaa’al Umam ‘Alal Islam)
Peringatan tersebut sangat terasa ketika musim pemilihan umum, sejak jaman Orde Baru samapai hari ini. Sesungguhnya ketika Rezim Orde Baru tumbang dan reformasi bergulir saya berharap kondisi umat Islam yang hanya jadi obyek perebutan suara tidak lagi terjadi. Namun apa mau dikata, karena penyakit Al Wahn yang diisyaratkan Nabi Muhammad SAW tadi rupanya sudah berurat berakar di dalam tubuh umat Islam, khususnya para elit dan pemimpinnya, sehingga ummat Islam dan Islam di Indonesia sampai hari ini masih menjadi komoditas yang diperebutkan.
Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari nafsu mereka yang menyebut dirinya sebagai tokoh dan pimpinan Islam, yang tidak berhasil membentuk satu kekuatan politik Islam pasca tumbangnya Rezim Suharto. Bahkan kekuatan politik Islam terpecah menjadi beberapa partai Islam yang tragisnya belakangan menyebut sebagai partai berbasis masa Islam dengan menghilangkan Islam sebagai ideologinya. Demi mendapat tambahan suara PAN, PKS, PKB menjadi partai terbuka. Sementara yang konsisten menyebut dirinya partai Islam adalah PPP dan PBB. Namun tetap saja setiap pemilu jumlah suara partai-partai tersebut jika digabungkan masih kalah oleh partai-partai nasionalis.
Sebenarnya ada secercah harapan ketika pada Pemilu 1999 partai-partai Islam berhasil menggalang kekuatan yang dikenal sebagai Poros Tengah, yang berhasil mendudukan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Presiden RI. Namun, lagi-lagi karena ambisi nafsu pribadi tokoh dan pimpinan Poros Tengah yang tidak terakomodasi oleh Gus Dur, mereka terpaksa melengserkan Gus Dur dan MENGHALALKAN Megawati yang sebelumnya DIHARAMKAN menjadi Presiden hanya karena MEGAWATI seorang PEREMPUAN. Segala dalil pun dikeluarkan oleh partai-partai Islam untuk melakukan manuver politik tersebut.
Pemilu Legislatif 2014 bulan April lalu ternyata tidak juga membuat partai-partai Islam atau berbasis masa Islam mendapatkan kepercayaan mayoritas dari rakyat Indonesia. Memang ada kenaikan perolehan suara Partai-partai Islam atau berbasis masa Islam dari sekitar 26 persen pada pemilu 2009 menjadi sekitar 32 persen pada Pemilu 2014. Namun, lagi-lagi mereka gagal membentuk Koalisi Ideologis untuk betul-betul mewujudkan aspirasi pemilih dalam pemilu legislatif.
Seperti kemudian sama-sama kita ketahui, koalisi yang terjadi untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden pun terbentuk bukan karena landasan ideologis. tetapi lebih kepada kepentingan politik yang sifatnya pragmatis. Hal tersebut tentu sah-sah saja, karena kalau bicara konteks politik tentu tidak lepas dari : siapa mendapatkan apa? kapan dan bagaimana caranya?
Hal yang mengusik saya adalah ketika kemudian dari koalisi yang ada saling tuduh dan saling klaim tentang Islam dan Umat Islam, yang disadari atau tidak telah membelah umat Islam menjadi dua saling diperebutkan. Apakah yang akan didapatkan oleh umat Islam sesungguhnya? Kalau cinta dunia (haus kekuasaan) dan takut mati masih menjadi paradigma pemimpin umat, maka lagi-lagi umat Islam hanya akan menjadi seperti tukang dorong mobil, yang diperlukan ketika belum berkuasa dan akan ditinggalkan ketika sudah berkuasa.
Melawan penyakit AL WAHN itulah yang saya pahami sebagai REVOLUSI MENTAL yang mestinya kita lakukan untuk kemaslahatan umat.