Aroma rasa pahit dari kopi yang aku pesan sudah mulai terasa, imbas dari obrolan mereka tentang kepahitan hidup, akibat BBM non subsidi Naik lagi, padahal mereka sendiri sebetulnya tidak menerima pengaruh yang banyak dari kenaikan tersebut, karena mereka menikmati BBM yang bersubsidi.
Menggibah dengan gegabah sudah menjadi kebiasaan mereka sehari-hari saat berada diwarung kopi. Menurut mereka menikmati kopi tanpa gibah itu tidak mempunyai kenikmatan apa-apa. Mereka ini adalah Sibuta, Situli dan Sipandir yang sok tahu.
Diwarung kopi kalau mereka sudah bicara politik sangat asyik, sehingga kadangkala sampai lupa mencari nafkah untuk kebutuhan anak isteri mereka dirumah. Perdebatan mereka mengalahkan perdebatan politisi disenayan. Mereka tahu segalanya, namun mereka sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.
Situli bisa seperti orang yang mendengar seluruh persoalan Negeri ini, Sibuta pun seperti melihat kebenaran yang tidak dia lihat sama sekali. Begitu Juga Sipandir yang sok tahu, dia sangat mudah melihat kebodohan orang lain, sehingga dia merasa cuma Dialah yang paling pintar dimuka bumi ini.
Pagi ini kopi yang kuminum benar-benar terasa pahit rasanya, kapahitan hidup semakin pahit mendengar pembicaraan mereka. Tadinya aku berharap SI Abah pemilik warung mau menengahi perdebatan mereka yang tidak ada ujungnya, eh ternyata Abah cuma mendengar dengan tabah sambil mengelus dada.
Padahal Abah sangat tahu, kalau Gibah yang gegabah itu adalah bagian dari fitnah, dan mencegah orang yang berbuat Gibah itu adalah bagian dari Ibadah. Ternyata dugaaanku salah, Abah cuma bisa mendengar dengan tabah tanpa Ada keinginan until mencegah.
Sisa kopi dicangkir yang tinggal setengah, segera kuteguk habis sampai keampas-ampasnya. Aku hanya ingin segera lepas dari mendengarkan perdebatan yang tidak ada manfaatnya tersebut. Meskipun kopi terakhirku terasa pahit, tapi dengan segera pergi dari Warung Abah bisa meninggalkan semua kepahitan tersebut.