Sudah barang tentu, kabar kematiannya membuat umat berduka. Umat datang menghormati beliau dengan melayat serta mendoakannya.
Saya pun termasuk yang terkesan dengan semangat beliau. Namun, lantaran sibuk, saya tidak sempat melayat ke rumah duka Gatot Subroto. Saya baru sempat melayat ketika jenazah almarhumah disemayamkan di gereja Paskalis. Itu pun, saya datang terlambat.
Ya sudah, akhirnya saya putuskan berdoa sejenak dan bertemu dengan keluarga bapak Iemawan, suami almarhumah. Saya menyampaikan salam hormat sekaligus turut berduka cita yang mendalam.
Setelah upacara selesai sekitar jam 09.00 WIB saya ikut rombongan mengantarkan jenazah ke krematorium. Dalam bayangan saya, krematoriumnya seperti yang ada di daerah Cilincing. Beberapa tahun lalu ketika saya pertama kali datang, proses kremasi jenazah rekan saya masih menggunakan kayu bakar. Proses itu memakan waktu yang cukup lama.
Krematorium Cilincing seperti rumah atau bangunan tua zaman dahulu. Tak cuma itu, suasananya membuat bulu kuduk saya agak merinding.
Setiba di Krematorium Heaven di daerah Pluit, tempat pembakaran jenazah Ibu Indrawati, saya agak terkejut. Ternyata bayangan saya keliru. Bangunan krematorium itu justru tampak megah layaknya gedung perkantoran. Tidak tampak menyeramkan.
Saya lihat dari kaca, mbak-mbak petugasnya cantik dan pakai seragam rapi.
Belum lagi, lantai serta dindingnya pakai keramik lebar. "Mahal pastinya,"gumam saya.
Terus, jangan tanya pintu liftnya! Kayaknya, lalat bisa terpeleset kalau menyenggol pintu lift saking kinclongnya.
Begitu masuk lift yang ternyata muat cukup banyak orang terdengar perintah,“Lantai lima…lantai lima. Pencet lima!” maksudnya tombol angka lima.
“Tinggi juga gedungnya ya.” Dalam hati terkagum-kagum.
Saya masih memerhatikan tombol-tombol lift. Kok angkanya tidak berurutan?
Ada tombol dengan angka satu sampai dengan tiga terus kemudian loncat ke angka lima, enam dan tujuh. "Lha empatnya mana? tanya saya dalam hati.
Saya baru ingat, pasti gedung ini punya orang Tionghoa. Soalnya, angka empat dalam bahasa Mandarin pengucapanya terdengar mirip dengan kata "mati".
Yang saya dengar dari teman-teman Tionghoa, kata "mati"dihindari agar tidak merambat ke bisnis.
“Lha tapi ini kan gedung untuk ngurusin orang mati. Kok malah tidak berani pasang angka empat?” tanya saya lagi.
Setiba saya di lantai lima ternyata sudah penuh orang yang datang. Ada satu ruangan besar yang dipisahkan dengan tirai menjadi dua ruangan. Namun, keduanya penuh dengan orang orang yang mendoakan jenazah untuk dikremasi.
Saya perhatikan suasana upacara penghormatan jenazah tersebut. Ternyata untuk menghormati jenazah perlu ada master ceremony alias MC pemandu jalannya upacara.
Belum lagi ruangannya yang bersih ber AC membuat saya agak kedinginan. Peti jenazah juga bagus dan berhias dengan rangkaian bunga yang indah. Belum lagi speaker yang melantunkan instrument lagu lagu yang membuai. Saya malah tidak merasa seperti sedang melayat.
“Bu Yo.” Saya potong obrolan Bu Yohanes dan Cik Onny yang kebetulan duduk di belakang saya.
“Serasa tidak sedang melayat ya bu,” kata saya.
Bu Yo tersenyum,"Kenapa?”
“Kita ini kan sedang melayat tapi suasananya beda. Gedungnya bersih pakai AC. Terus, ada bunga. Bunganya juga enggak kalah sama pengantin. Ada MC-nya lagi. Malah seperti kondangan,” kata saya.
“Hehehe… tapi kan MC-nya enggak pakai jas,” kata Bu Yo.
“Iya sih bu. Tapi, kan pakai safari, lengan panjang lagi. Tetap aja rapi,” kata saya lagi.
“Hehehe… iya ya,” Bu Yo terkekeh.
“Pakai lagu segala. Jadi bener-bener lupa kalo sedang berduka,” kata saya.
“Ya memang itu tujuannya Ji. Biar yang sedang berduka itu terhibur. Malah di gereja mana itu, kalo ada anggota keluarga yang mati tidak boleh nangis, harus bergembira,” terang Bu Yo.
“Bener juga sih bu. Biar tidak larut dalam duka."kata saya setuju pendapat beliau.
Sementara, Cik Onny tersenyum sedikit mengangguk. Pasti tandanya setuju juga.
Orang yang tadinya berduka, karena terhibur oleh suasana yang nyaman menjadi tersentuh dan tersadar bahwa duka itu bukan sesuatu yang harus ditakuti.
Wah ini jadi bisnis rumah duka sekaligus menghibur orang yang sedang berduka. Ini bisnis yang menarik. Pantas saja di tombol lift tidak ada angka empat. Takut bisnisnya mati. Kalau bisnisnya mati itu baru benar benar berduka.
Tiba-tiba saja Bu Yo bilang “Ji, kenapa kamu enggak kerja di sini saja, jadi MC?”
Saya terharu mendengar pertanyaan sekaligus saran beliau. “Bu, kalo saya jadi MC di sini, yang sedang berduka malah semakin berduka,” celetuk saya.
Bu Yo dan Cik Onny hanya tersenyum melihat saya.