Mohon tunggu...
KOMENTAR
Vox Pop

Penggunaan UCAV Sebagai Elemen Pemukul dan Intai TNI AU

23 Mei 2010   09:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:01 1037 0
[caption id="attachment_148031" align="aligncenter" width="300" caption="MQ-9 Reaper, UCAV buatan Genaral Atomics Aeronautical Systems, Sumber: Wikipedia "][/caption] Pada masa kini, seperti yang telah diketahui, dalam suatu pertempuran, kekuatan udara merupakan salah satu asset militer yang sangat penting. Konsep menggunakan kekuatan udara untuk kepentingan militer sesungguhnya telah ada jauh sebelum ditemukannya pesawat terbang bermesin oleh Wilbur dan Oliver Wright pada 17 desember 1903, di tahun 1783 para petinggi militer di Eropa telah melontarkan ide mengenai penggunaan balon udara untuk kepentingan intelijen Baru pada 1789 konsep tersebut terealisasi pada perang Russia-Perancis Pada masa itu Balon udara digunakan untuk menuntun tembakan artileri, sehingga dengan demikian tembakan artileri menjadi lebih akurat dan efesien. Dalam perkembangannya ide penggunaan kekuatan udara untuk kepentingan militer turut di sempurnakan, salah satunya adalah memlalui penggunaan teknologi pesawat terbang yang digunakan untuk menjalankan fungsi militer. Dengan sifatnya yang dapat bergerak bebas di udara, pesawat terbang selain sebagai sarana untuk keperluan intai mulai dikembangkan untuk keperluan lain, yakni menyerang sasaran yang berada di darat. Hal ini diawali oleh Letnan Giulio Gavotti, seorang pilot Italia pada perang Italia-Turki di tahun 1911-1912, pada saat itu ia menjatuhkan sebuah granat tangan sebarat 4,5 pon di atas kota Ain Zara dan Oasis Tanguira. Semenjak itulah para petinggi militer menyadari bahwa begitu besar potensi yang dimiliki oleh teknologi dirgantara yang dapat digunakan untuk kepentingan militer. Memasuki era Perang Dunia Pertama, teknologi dirgantara memberikan matra baru dalam pertempuran, pada perang sebelumnya pertempuran hanya didominasi oleh kekuatan di darat dan laut, namun dengan adanya teknologi dirgantara, matra udara juga digunakan dalam kepentingan kampanye militer, hal ini ditandai dengan munculnya teknologi militer baru yakni pesawat pembom dan pesawat tempur, dan semenjak saat itu teknologi pesawat tempur terus dikembangkan, hingga pada masa kini telah muncul berbagai jenis pesawat militer yang memiliki kemampuan bertarung dari jarak yang lebih jauh, terbang lebih cepat dan tinggi, hingga memiliki kemampuan stealth. Pada perkembangan terkini, terdapat salah satu teknologi dalam bidang dirgantara adalah pesawat udara tempur nir awak atau dalam bahasa inggris dikenal sebagai UCAV (Unmanned Combat Aerial Vehicle). Apa Itu UCAV ? Dilihat berdasarkan pengkategorian Menurut UAV Roadmap 2002 Unmaned Combat Aerial Vehicle (UCAV) atau Pesawat udara tempur nir awak terdiri dari pesawat yang berkemampuan tinggi dalam melakukan manuver, selain itu dapat melakukan pertempuran udara (air to air combat) serta melakukan pengerahan senjata secara presisi ke permukaan sasaran. Dibandingkan pesawat udara nir awak jenis lain UCAV biasanya memiliki kecepatan jelajah yang lebih tinggi, namun memliki daya tahan yang lebih pendek. Tujuan rancangan UCAV adalah melakukan serangan di belakang garis pertahanan lawan (deep strike) menggunakan rudal atau bom, melengkapi kekuatan pesawat tempur atau pembom berawak, memiliki kemampuan tinggi untuk beadaptasi dalam perubahan kondisi pertempuran, serta dapat memberikan serangan elektronik selama 24 jam. Selain bertempur UCAV juga dapat digunakan untuk misi pengintaian beresiko tinggi, pengawasan, dan pengumpulan data intelijen. UCAV dapat beroperasi secara independen, terintegrasi dengan operasional pesawat tempur berawak, atau melakukan operasi multi matra yang terkoordinasi. Secara garis besar terdapat dua tugas utama yang diemban oleh angkatan udara yang mampu dilakukan oleh pesawat tempur nir awak, yakni: 1.    Pengintaian, dari ketinggian tinggi atau rendah. Dimana UCAV dapat digunakan untuk untuk keperluan mengindentifikasi target militer yang beresiko tinggi , seperti memburu situs pertahanan udara, hingga mengawasi pergerakan posisi lawan. 2.    Fungsi bertempur, meliputi: bantuan serangan udara jarak dekat (Close Air Support), penyekatan medan pertempuran (Interdiction of Battle Field), memberikan bantuan langsung bagi pasukan yang tengah bertempur di darat, penyekatan rute suplai lawan di belakang garis pertahanan (Interdiction Strike), serangan udara terhadap lapangan udara lawan untuk mengurangi kemampuan udara lawan, serangan jauh di belakang garis pertahanan lawan terhadap sasaran-sasaran strategis, seperti: depot bahan bakar dan amunisi, pusat komunikasi, serta menyerang sistem pertahanan udara lawan. Bagaimana Legalitas Penggunaanya ? Terdapat berbagai perjanjian dalam Hukum Internasional yang mengatur mengenai pengerahan dan penggunaan senjata, baik dalam penggunaan pada saat perang dan damai. Dalam penggunaan UCAV, setidaknya terdapat beberapa pengaturan yang mengaturnya, yakni: 1.    UN Charter UN Charter adalah piagam yang menjadi dasar pembentukan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Dalam UN Charter terdapat berbagai prinsip-prinsip yang telah diakui sebagai prinsip umum hukum internasional. UN Charter mengatur mengenai adanya larangan menggunakan cara-cara yang membahayakan dan melanggar keamanan dan perdamaian (Pasal 2 ayat (3)), juga memberikan larangan untuk mengancam dan menggunakan kekerasan terhadap kedaulatan wilayah dan kebebasan politik yang di anut Negara lain (Pasal 2 ayat (4)). Penggunaan kekerasan yang meliputi pengerahan kekuatan militer, hanya diperbolehkan dalam angka melakukan tindakan bela diri (Pasal 51), atau dalam usaha yang dilakukan Dewan Keamanan dalam rangka menjaga perdamaian dan keamanan, apabila langkah-langkah yang bersifat tanpa menggunakan kekerasan dinilai tidak cukup untuk menjaga keamanan dan perdamaian (Pasal 42). 2.    Outer Space Treaty 1967 Outer Space Treaty adalah perjanjian dalam hukum Internasional, yang menjadi dasar dalam mengatur aktivitas yang dilaksanakan pada ruang angkasa. Dapat diterapkannya Outer Space Treaty 1967 dalam penggunaan UCAV, adalah dikarenakan satelit yang digunakan untuk memandu UCAV, beraktivitas dan berada di ruang angkasa. Terdapat beberapa prinsip yang membatasi aktivitas militer di ruang angkasa. Pertama adalah Prinsip penggunaan ruang angkasa untuk tujuan damai, prinsip tersebut termuat dalam pembukaan dan pada Pasal 4 Outer Space Treaty 1967. Prinsip tersebut menyatakan bahwa penggunaan ruang angkasa haruslah ditujukan untuk tujuan damai. Namun pada Outer Space 1967 tidak termuat penjelasan mengenai ruang lingkup dan definisi mengenai implementasi dari  “pengguaan ruang angkasa untuk tujuan“. Sehingga hal tersebut akhirnya memanuculkan dua pengertian yang dominan, yakni “non-millitary” yang menjadikan ruan angkasa harus bersih dari segala hal yang berhbungan dengan perang maupun kemiliteran, yang kedua adalah “non aggressive” yang berarti pelarangan teknologi militer di ruang angkasa sifatnya adalah partial, yakni ruang angkasa boleh digunakan untuk militer, sejauh hal tersebut tidak digunakan untuk hal-hal yang ditujukan untuk kepentingan agresi. Dalam prakteknya negara-negara dalam melakukan aktivitas di ruang angkasa, mengartikan “peaceful uses of outer space” sebagai “non aggressive”, sehingga perangkat yang militer yang dioperasikan di ruang angkasa adalah perangkat yang sifatnya hanya sebatas membantu kinerja perangkat militer yang ada di bumi. Prinsip Lainnya dalam Outer Space Treaty 1967 yang menerapkan mengenai pembatasan aktivitas militer adalah asas rule of law pada pasal 3 dari perjanjian ini. Pasal 3 Outer Space Treaty menyatakan bahwa hukum yang mengatur ruang angkasa dalah hukum internasional termasuk piagam PBB, sehingga aktivitas yang dilaksanakan di ruang angkasa tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang berlaku dalam hukum internasional dan piagam PBB. Oleh karena adanya prinsip tersebut maka aktivitas yang dilakukan di ruang angkasa tidak boleh ditujukan untuk kepentingan-kepentingan yang dapat mengancam keamanan dan perdamaian internasional. Prinsip lainnya yang membatasi adalah larangan penggunaan senjata nuklir dan pemusnah masal lainnya di ruang angkasa (Pasal 4), dan dalam melakukan aktivitas rang angkasa dilarang untuk menimbulkan kerusakan di ruang angkasa maupun pada benda-benda angkasa (Pasal 7). 3.    Hukum Perang dan Humaniter. Hukum perang dan Humaniter pada dasarnya adalah perangkat dalam hukum internasional yang mengatur mengenai tata cara dan tanggung jawab pihak-pihak yang bersengketa dalam konflik bersenjata. Terdapat prinsip-prinsip dalam hukum humaniter yang dapat diterapkan dalam pengerahan suatu senjata. Antara lain: a)    Prinsip kebutuhan militer (Military necessity), yakni prinsip yang mengharuskan kebutuhan dari suatu tindakan yang di ambil, adalah merupakan tindakan yang perlu untuk mengamankan akhir perang, sehingga tindakan tersebut haruslah sesuai hukum berdasarkan hukum yang berlaku dan ketentuan perang. Salah satu aspek dalam prinsip ini adalah keharusan dalam membedakan baik sasaran sipil maupun sasaran militer. Dengan kata lain pihak yang memerintahkan penyerangan haruslah dapat membedakan sarasaran yang bersifat militer, dimana serangan tersebut haruslah secara langsung memberikan konsekuensi terhadap musuh, untuk mencegah pihak musuh melanjutkan peperangan. b)    Prinsip proposionalitas, prinsip ini mengharuskan bahwa pengerahan kekuatan bersenjata haruslah proposional dengan tujuan misi yang hendak di capai. 4.    Hukum Kebiasaan Internasional. Hukum kebiasaan internasional, adalah suatu tindakan yang telah dilakukan secara terus menerus oleh negara-negara, tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak lain, sehingga pada akhirnya diakui sebagai hukum kebiasaan. Salah satu hukum kebiasaan yang mengartur aktivitas militer adalah dalam hal aktivitas pengintaian atau pengamatan. Dalam prakteknya mengenai aktivitas tersebut, negara-negara mengakui bahwa mengenai tindakan pengamatan udara untuk kepentingan militer di masa damai adalah diperbolehkan, namun bentuk pengamatan dan atau penyelidikan tersebut harus dilakukan dari luar wilayah udara negara yang di indra (pengamatan pinggiran), yakni dengan bentuk pengamatan yang dilakukan adalah mengamati suatu Negara dengan terbang atau melintas di pinggiran batas wilayah negara tersebut, dan obyek yang melakukan aktivitas pengamatan berada di luar kedaulatan suatu Negara yang sedang di amati. Sementara itu bentuk pengamatan dan atau penyelidikan yang dilakukan dengan  cara melakukan penerobosan ke dalam wilayah udara negara yang di amati adalah illegal menurut hukum internasional, sehingga tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindakan melakukan agresi yang dilarang berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB. Sehingga, berdasarkan hukum-hukum internasional tersebut, maka penggunaan UCAV, haruslah: 1.    Tidak boleh digunakan dalam rangka tujuan yang dapat membahayakan keamanan ataupun untuk tujuan agresi terhadap Negara lain yang bertentangan dengan piagam PBB. 2.    Penggunaan satelit militer yang digunakan sebagai pemandu pesawat udara tempur nir awak adalah satelit yang tidak dilarang OST 1967, yakni satelit militer yang digunakan adalah yang tidak bertentangan dengan pasal-pasal pada OST 1967, dan bentuk tindakan-tindakan yang bertujuan damai serta tindakan bela diri yang menggunakan satelit tersebut adalah harus sesuai dengan ketentuan pada Piagam PBB dan Hukum Internasional yang berlaku. 3.    Penggunaannya pada sengketa bersenjata haruslah terhadap sasaran kombatan lawan, dan harus digunakan secara proposional sesuai dengan tujuan dari obyektif militer yang hendak dicapai. 4.    Dalam rangka digunakan sebagai elemen pengintai pada masa damai, maka aktivitaspengintaian oleh UCAV harus dilakukan dari luar wilayah udara negara yang di indra. Fungsinya dalam TNI AU ? Dari kemampuan yang dimiliki oleh UCAV, fungsi utama yang dapat di lakukan oleh UCAV adalah kemampuan untuk bertempur. Dalam kondisi konflik bersenjata dengan pihak lain, UCAV dapat digunakan untuk meyerang sasaran lawan yang sifatnya beresiko tinggi, contohnya wilayah musuh yang banyak terdapat pertahanan anti serangan udara, atau menyerang secara langsung system pertahanan udara lawan. Selain itu UCAV juga penggunaannya dapat di integrasikan dengan elemen pesawat tempur atau pesawat serang milik TNI AU, untuk keperluan menandai atau mengindentifikasi sasaran yang akan diserang oleh satuan pesawat tempur TNI AU. Sementara itu dalam kondisi damai, UCAV dapat digunakan oleh TNI AU untuk mengawasi/patroli secara terus menerus terhadap berbagai titik yang rawan pelanggaran wilayah atau rawan penyelundupan, hal ini dikarenakan UCAV  memiliki  daya tahan operasi yang lebih lama dibandingkan pesawat berawak. Sebagai contoh di operasikan secara terus-menerus untuk mengawasi wilayah ambalat  yang rawan pelanggaran oleh pihak Angkatan Laut Malysia, atau pada wilayah-wilayah semenanjung malaka yang merupakan rute penyeludupan suplai bagi teroris yang beraktivitas di Indonesia. SUMBER: Bourbonniere, J Michel and Louis Haeck, “Jus in Bello Spatiale”, AIR & Space LAW,VOL. XXV, NUMBER 1, 2000. Gray, Christine, International Law and the Use Of Force, Oxford  University Press, New York, 2000. Gunston, Bill, dan Mike Spick, Modern air Combat: The aircraft, tactics and weapons employed in aerial warfare today, Salamander Book, London, 1986. Majalah Angkasa edisi No. 3 desember 2003 Th.XIV 100 Tahun Penerbangan Wright Bersaudara,PT Gramedia Majalah Angkasa: Edisi Koleksi Angkasa Spyplane Misteri & Misi Rahasia,PT Gramedia Majalah Angkasa: Edisi Koleksi Angkasa Unmanned aerial Vehicle Pemburu Sakti Tak Berawak, PT Gramedia, Jakarta.

Marietta Benko, Willem De Graaf dan Gijsbertha C.M. Reijnen, Space Law In United Nations, Martin Nijhoff Publishers Netheland. 1985.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun