1. Pengertian Kemiskinan
Fenomena kemiskinan merupakan sesuatu yang kompleks, dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi saja tetapi juga dengan dimensi-dimensi lain diluar ekonomi. Namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan, yang mana semuanya berada dalam lingkup dimensi ekonomi. Kemiskinan tidak hanya berkenaan dengan tingkat pendapatan, tetapi juga dari aspek sosial, lingkungan bahkan keberdayaan dan tingkat partisipasinya.
Berikut beberapa definisi tentang kemiskinan. World Bank (2000) mendefinisikan kemiskinan sebagai berikut:
“ Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to go to school and not knowing to know how to read. Poverty is not having a job, poverty is fear for the future, living one day at a time. Poverty is powerlessness, lack of representation and freedom “.
Pada Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial (World Summit for Sosial Development) di Kopenhagen 1995, kemiskinan didefinisikan sebagai berikut:
“ Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses pada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman, serta diskriminasi dan keterasingan sosial; dan dicirikan juga oleh rendahnya tingkat partisipasai dalam proses pengambilan keputusan dan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya.”
Menurut Sen (1985) kemiskinan adalah kegagalan untuk berfungsinya beberapa kapabilitas dasar atau dengan perkataan lain seseorang dikatakan miskin jika kekurangan kesempatan untuk mencapai/mendapatkan kapabilitas dasar ini. Sen (1995) menyatakan bahwa kemiskinan jangan dianggap hanya sebagai pendapatan rendah (low income), tetapi harus dianggap sebagai ketidakmampuan kapabilitas (capability handicap).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum dikategorikan sebagai penduduk miskin. Nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2.100 kkal per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumahtangga dan individu yang mendasar lainnya. Besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan tersebut disebut garis kemiskinan (BPS, 2007).
Beberapa kriteria kemiskinan yang ditetapkan oleh instansi lainnya, antara lain: BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), World Bank dan UNDP (United Nations for Development Programs). BKKBN menetapkan kemiskinan berdasarkan kriteria keluarga pra sejahtera (pra KS) dan keluarga sejahtera I (KS I). World Bank menetapkan kemiskinan berdasarkan pada pendapatan per orang per hari. Biasanya ukuran yang digunakan US$ 1 atau US$ 2. Penduduk dengan penghasilan dibawah nilai nominal tersebut dikategorikan sebagai penduduk miskin.
UNDP pada tahun 1990 an memperkenalkan indeks pembangunan manusia (human development index – HDI) dan indeks kemiskinan manusia (human poverty index – HPI). Dibandingkan dengan kriteria kemiskinan Bank Dunia, maka pendekatan UNDP relatif lebih komprehensif. Pendekatan UNDP tidak hanya mencakup aspek ekonomi (pendapatan), tetapi juga pendidikan (angka melek huruf) dan kesehatan (angka harapan hidup).
2. Penghitungan Kemiskinan
Metode penghitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS sejak pertama kali hingga saat ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar.
Berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar, indikator yang digunakan adalah Head Count Index (HCI) yaitu jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada di bawah Garis Kemiskinan (GK). GK dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan dan non makanan per kapita pada kelompok referensi (reference population) yang telah ditetapkan. Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas marjinal, yaitu mereka yang hidupnya dikategorikan berada sedikit di atas perkiraan awal GK. Perkiraan awal GK ini dihitung berdasarkan GK periode sebelumnya yang diinflate/dideflate dengan inflasi/deflasi. GK dibagi ke dalam dua bagian yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
Batas kecukupan makanan (pangan) dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum energi 2100 kkalori per kapita per hari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Sejak tahun 1993 penghitungan kecukupan kalori ini didasarkan pada 52 komoditi makanan terpilih yang telah disesuaikan dengan pola konsumsi penduduk.
Batas kecukupan non makanan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk non makanan yang memenuhi kebutuhan minimum seperti perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lain-lain. Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun 1993 terdiri dari 14 komoditi di perkotaan dan 12 komoditi di perdesaan. Sementara itu sejak tahun 1996 terdiri dari 27 sub kelompok (51 jenis komoditi) di perkotaan dan 25 sub kelompok (47 jenis komoditi) di perdesaan. Penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin provinsi dibedakan menurut perkotaan dan perdesaan berdasarkan GK (GKM + GKNM) yang juga dibedakan menurut perkotaan dan perdesaan.