Saat musim pemilihan umum, khususnya pemilihan legislatif (Pileg). Dalam satu parpol, sebelum mencalonkan diri sebagai calon yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap (DCT) di KPU (Komisi Pemilihan Umum), tentunya orang-orang dalam parol itu merupakan sesama kader. Terlepas kader itu statusnya senior, baru, hebat, biasa, kaya, miskin dan lainnya. Dan mereka adalah kader parpol.
Setelah mencalonkan diri menjadi calon legislatif (caleg) terlebih sudah terdaftar dalam DCT, mereka tetap merupakan kader partai. Namun, pada saat  momen itulah para kader parpol itu "diadu". Ibarat, seorang Peternak Ayam Bangkok Aduan, dalam kandang ada sekian banyak ayam. Tentu dari sekian banyak ayam itu ada beberapa ayam yang menonjol yang layak untuk dijadikan petarung hebat. Ayam pilihan itu dilatih, ditempa, dipakani hingga menjadi ayam 'super'.
Demikian halnya dalam suatu parpol, ketika para kader parpol itu mencalonkan diri sebagai caleg dan sudah terdaftar dalam DCT di KPU, itu pertanda "pertarungan" siap dihelat. Masing-masing person harus memiliki tak-tik, tipu daya muslihat dan sebagainya untuk mempengaruhi orang-orang (masyarakat) agar bisa terpengaruh. Objek yang dijadi perbincangan ketika "jualan omongan" itu bisanya mulai dari sektor ekonomi (by mikro to the makro), pendidikan, pariwisata, kebudayaan, pertanian, perkebunan, infrastruktur bahkan sektor agama pun menarik untuk "dijual".
Alatnya? Konsepnya? Caranya?
Seperti pada kenyataan yang terjadi sekarang, salah satu cara untuk bisa mempengaruhi agar bisa jadi berpengaruh selain dari "jual" omongan adalah materi. Banyak rupa atau bentuk dari materi itu. Mulai dari bentuk produk, jasa maupun uang khususnya.
Kata orang, politik itu kotor?
Bisa jadi alias tidak menutup kemungkinan. Karena sederhananya begini. Kader parpol itu akan menggunakan beragam cara untuk mempengaruhi siapapun agar dia menjadi berpengaruh. Jadi wajar saja terkadang untuk membuat orang-orang jadi terpengaruh, si pembuat pengaruh yang notabene akrab disapa politikus itu melakukan apapun cara. Terlepas itu dengan cara positif, negatif, wajar, tidak wajar dan lainnya, politikus itu tetap menggunakan password-nya "demi rakyat".
Lucunya dalam parpol yang menelurkan kader
Bermula dari sesama kader yang ketika itu merasakan senasib sepenanggungan, ketika "berperang pada pesta perjudian demokrasi" sesama kader yang mulanya merasa "satu hati" itu bisa jadi menjadi "musuh besar". Lucu kan? Yang paling tidak masuk akal lagi, ketika sedang dalam "pesta perjudian demokrasi", kader parpol itu rela atau bahkan sangat ikhlas membuat konflik dengan anggota keluarga (kandung), kerabat, famili, tetangga bahkan bisa jadi se lingkungan RT, desa/kelurahan. Sehingga tidak sedikit juga ending dari perjalanan "pesta perjudian demokrasi" itu memisahkan tali silaturahmi. Coba pikir, itu logis gak? Hanya karena terobsesi untuk menjadi orang yang berpengaruh, rela memutuskan tali silaturahmi? Sehatkah demikian?
Sebaliknya, si kader parpol yang telah duduk di kursi di gedung wakil rakyat itu, pun belum usai. Meski sama-sama merasakan sejuknya AC (air conditioner) di ruangan itu, merasakan enaknya makan dengan garpu dan pisau di meja makan hotel berbintang, masih sikut-sikutan untuk tetap menjadi "nomor satu" alias yang paling berpengaruh di parlemen. Â Ini juga berlaku pada "game" perebutan kekuasaan dalam suatu daerah bahkan negara.
Dikhawatirkan, dari "pesta perjudian demokrasi" di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ini akan meleraikan abjad NKRI. Karena logika sederhananya, dalam satu parpol selalu dan terus berupaya untuk mencari massa sebanyak-banyak (dengan cara vote). Ini sama saja dengan menceraikan ke-Bhinekaan Indonesia yang Tunggal Ika menjadi semakin solid perbedaan.
Dan yang paling menyayat hati, pemerintah (terkadang) yang notabene sebagai penyelenggara "pesta perjudian demokrasi ini", entah itu di tingkatan desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi bahkan pusat  terlibat dalam "merestui" perceraian NKRI.
Apa sih yang mereka (politikus) kejar? Mengalahkan TUHAN-KAH?
NB.
Versi saya Pemilu di Indonesia ini lebih cocok dinamakan "Pesta Perjudian Demokrasi".
Kenapa demikian, karena berjudi itu tidak terlepas dari "taruhan".
Demikian juga dengan dunia politik  di Indonesia ini, ada yang ditaruhkan guna mendapatkan "sesuatu" itu.