Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Korban Politik Sholahudin Al Ayyuby

12 November 2010   20:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:40 178 2
Seperti biasanya Sultan Solahudin datang setelah sholat ashar. Terik matahari sudah agak redup. Gegap gempita pekerjaan masih terdengar di lokasi pembangunan. Mereka paham betul bahwa pada saat ini adalah waktu kunjungan rutin sang Sultan. Saat itu pula Bahauddin Carcush pejabat yang bertanggung jawab atas pembangunan benteng menaiki menara pengawasan, berjaga-jaga bilamana mereka para pekerja bersiap mengadakan kekacauan bersama tawanan-tawanan romawi dan pekerja-pekerja yang bersekongkol memberontak.

Sudah menjadi kebiasaannya pula, beliau selalu datang sendirian. Menaiki gunung Muqotom dengan mengendari kudanya yang dapat berlari secepat kilat. Sejurus kemudian beliau sampai. Beliau berdiri, termenung, memikirkan ratusan pekerja yang bekerja dari terbit fajar sampai matahari terbenam, batang-batang bata yang belum lagi meninggi, pekerja-pekerja, penggali tanah, tukang batu, semuanya dalam keadaan pucat pasi. Pandangan Sultan menelanjangi wajah-wajah mereka, raut-raut wajah yang tersembunyi di balik topeng berdebu putih.

"Apakah wajah-wajah yang lelah itu mampu membuat benteng yang kokoh?'
"Apakah kehawatiran yang tergurat pada pandangan mata mereka akan segera sirna? terbebas dari serangan- serangan musuh untuk selamanya?".

Musuh tak terhitung, Romawi di utara, sisa-sisa dinasti Fathimiyah di selatan, dan tentara-tentara penghisap datang dari dataran Asia jauh.Tidak akan ditemukan tempat berlindung yang aman sebelum benteng ini selesai, tapi kapan?

Para pekerja tidak henti-hentinya memecah batu dari gunung Muqotom, sampai sisinya tak dapat di pandang, penuh dengan orang, seperti mata yang ketakutan, kemudian mereka menariknya, menurunkan pada kaki bukit. Sebelum mereka sampai, ada kelompok lain yang menyambut untuk membentangkan dan merobohkannya.

Di sisi lain di arah sungai Nil, rombongan-rombongan bighol hilir mudik mengangkut pemancang, lumpur-lumpur mengeras yang diambil dari tempat-tempat peribadahan dinasti Fir'aun sebelum para pengangkut membawanya dari dasar tanah. Tumpukan batu merubah wajah benteng, dan nyata, benteng dalam proses penyempurnaan.

Bahauddin Carcush bersegera menghadap, berkelebat melompati bebatuan dengan postur tubuhnya yang pendek dan badan memerah terkena debu. Ia membungkukan badan sebagai tanda hormat pada sang Sultan. Sejurus kemudian merangkai laporan hasil pelaksanan pekerjaan hari ini. Ia menunjukan tawanan-tawanan Romawi yang sedang menggali pondasi, tukang pancang yang memasang soko guru, para petani yang sedang menggali sumur yang dalam, agar aliran airnya menyambung dengan air sungai Nil.  Akan tetapi sang Sultan tidak terlalu memperhatikannya, malah beliau berkata kepadanya dengan suara terputus-putus:
" Aku ingin kau membangun penjara"
Carcush tak dapat mencegah rentetan kata yang mengusik hatinya.
" Penjara.... tentu tuanku, akan saya laksanakan.  Akan tetapi semuanya belum beres, benteng-benteng, tempat perlindungan, bedeng-bedeng, dan..... "

Sultan bersikeras: " Bangunlah dimana saja.... dahulukan dari yang lain!"

Tiada ia memiliki kuasa kecuali membungkuk taat. Sang Sultan memutar kekang kudanya beringsut pergi. Carcush berdiri dalam kegalaun. Ia berbisik:
"Penjara yang bagaimana, pesakitan mana yang akan meringkuk didalamnya, ah, yang pasti sang Sultan akan menghadapi musuh besar"

Dengan cepat Carcush mengumpulkan asisten-asistennya, mereka mengembalikan kertas-kertas, kulit pohon bersketsa benteng dan menentukan tempat mana yang dijadikan tahanan baru.

SEORANG TAWANAN

Selayang pandang. Saat itu seorang tawanan sedang melewati gurun pasir. Dibalik punggungnya tersembunyi dataran Palestina dan sebelumnya baju kebesaran tanah Syam, meninggalkan kebinasaan dan pohon-pohon zaitun. Sepanjang mata memandang hanya pasir-pasir gersang dan bebatuan renta, kesemrawutan alami, tergambar ufuk menyerupai garis tercerai berai. Ia berjalan didepan dengan mengendarai bighol, dibelakangnya pengawal mengikuti di atas kuda-kuda mereka dengan pandangan waspada. Umurnya baru separuh baya. Tetapi, keletihan dan kekurusan merubah roman mukanya yang perkasa. Jenggotnya memanjang, bajunya compang-camping, bau busuk menyembul dari gombal yang melekat d tubuhnya. Ia datang dari penjara yang menghadap arah lain, tidak ada yang memisahkan keduanya kecuali padang pasir ini. Namun tak satupun pengawal yang melihat seberkas senyum keridoan yang tersungging tersembunyi di balik wajahnya, sudah barang tentu dengan lapar yang melilit dan borgol yang mengiris pergelangan tangan. Ia bahagia dengan perjalanan yang teramat sangat berat itu, suatu perjalanan yang mengantarkan pada ujung ketiadaan. Seakan nyawanya menggejol-gejol merindukan cakrawala baru, dimana ketenangan dan kebebasan tersedia didalamnya. Jasadnya seperti bintang terang d langit, setiap sisi yang dituju memisahkan diri, dalam perjalan abadi menuju sumber cahaya ilahy dan ma'rifat

Semenjak beranjak dewasa dikota SUHROWARD, ditengah-tengah pegunungan Persia, ia mulai mengawali perjalanan kehidupannya itu, melewati berbagai dataran dan tanah-tanah tak berpenghuni. Tiada ia berhenti kecuali pada awal masjid yang ia jumpai. Selang beberapa waktu orang-orang tertarik, mereka berombongan sepakat melakukan perjalanan, tiada yang di pakai kecuali secarik kain wol, tiada makan kecuali sedikit dari makanan remeh temeh, dan pada wajah-wajah mereka terpancar lingkaran cahaya takut terhadap Alloh.

Namun gurun yang ia lewati sekarang berbeda, tak pernah terlihat padanan ancaman kebinasaan yang mengintai, disitu kaum nabi musa terlunta-lunta selama empat puluh tahun atau lebih, tetapi ia yakin akan sampai pada batas alam, sewaktu tampak jelas dihadapannya pegunungan QOf*, sebelas puncak mengitari dari segenap penjuru. Tiada mungkin orang menjelajahinya kecuali setelah jiwa terobati dan terlepas dari kotoran-kotoran yang membelenggunya dalam alam raya fana ini.

Dari arah belakang terdengar suara salah seorang pengawal memanggil " Wahai syaikh Suhrowardy... kita akan berhenti dan bermalam di sini... "

Lebih baik berjalan di dinginnya malam dan beristirahat pada terik siang, tetapi siapa yang mau mempertaruhkan diri dengan berjalan di gelapnya gurun ini, matahari sebentar lagi terbenam, tiada yang diketemukan kecuali beberapa pohon bidara yang berserakan. Tak layak huni, tidak sepatut rumah dalam melindungi, tetapi cukup untuk memberikan rasa aman seseorang ditengah hamparan alam terbuka ini.

Para pengawal membantu syeikh turun, membuka borgolnya, dan salah seorang darinya cepat-cepat mengambil kesempatan turunnya malam, memberanikan diri memandang wajah syeikh Suhrowardy. Kemudian ia berkata pada beliau:
" Kami diperintahkan untuk memindahkan tuan ke penjara lain, bukan untuk membunuh dengan menggerogotkan kelaparan, sudilah kiranya menerima sebagian dari bekal kami, tuan... "

Beliau berkata:

" Semoga di berkahi, wahai anakku.... cukuplah bagiku seiris roti dan seteguk air".

Seorang penjaga menjawab:

" ini tidak mencukupi untuk perjalanan seberat ini "

Beliau berkata:

" Anakku, lapar tidak jadi masalah, selagi pikiran masih terpaut pada kebesaran jagat raya ini, bilamana kau tundukan jiwa, beribadah diwaktu malam dengan khusyuk, berserah diri, maka kau akan secepat kilat menuju peraduan tersembunyi, maka bawalah aku kesana ya rab...., benamkanlah aku didalamnya, bentangkanlah aku, kemudian lipatlah."

Pengawal tidak memahami sesuatupun, ucapan syeikh sulit dicerna, barang tentu karena tipis dan segarnya, malahan sekeping sangkaan tersembul darinya bahwa syeikh merasa berdosa dan berhak mendapat ganjarannya. Lebih baik menjauh dan meninggalkan sang syeikh sendirian yang terlihat terbuai menekuri turunnya malam.

Sudah banyak daerah yang dilalui syeikh Suhrowardy sebelum sampai di kota yang jauh itu " Cairo ". Jauh sekali jarak antara beliau dengan pegunungan Persia. pada mulanya beliau turun ke Isfahan untuk belajar fiqh dan ushul syari'ah. Keluasan ilmunya tergambar pada orang-orang yang berada dalam ceruk-ceruk (ruwak) masjid, puluhan kitab dan catatan tertata pada tengah-tengah rak, sampai-sampai ditengah pengajiannya tidak mungkin dapat mencegah lalu lalang. Guru beliau - syeikh Fakhru Rozy - adalah guru para pengembara, beliau tidak mencegah orang lalu lalang diantara ceruk-ceruk masjid padahal beliau sedang mengajarkan pokok-pokok filsafat.

Sempurna, seperti halnya guru besar Ibnu Sina yang mengambil metode-metode filsafatnya dari aristoteles, seorang filosof awal. Dari selayang pandang ini, di ketahui bahwa pengetahuan tidak tersusun kecuali dari celah-celah pergerakan, semakin banyak pengetahuannya berlipat ganda pula pertanyaannya, setiap jawaban memunculkan pertanyaan baru, perlombaan-perlombaan (debat) itu mengingatkannya pada gurunya, beliau bergumam:

" Bahaslah pertanyaan-pertanyaanmu dalam rimba raya ini, niscaya tiada memberimu kepuasan kecuali jawaban akhir pada keragu-raguan."

Dari Isfahan naik ke dataran tingi Anatholia, mukobalah dengan ahli tasawuf di DIYAR BAKR, dari mereka sang syeikh belajar agar menghabiskan seluruh malam dalam keadaan terjaga, mengintip isarat-isarat alam dan perputaran cakrawala. Di Mardiny, beliau memutuskan beribadah dalam pondok-pondok pertapa, bersekutu dengan para darwisy dalam meratapi malam-malam panjang bilamana terbit bulan baru, kemudian setelah itu turun bersama air sungai Furot, yang arus derasnya bermuara pada satu tujuan. mengelilingi pelataran daerah Damsyik lama, daerah yang lekat dengan luka-luka peperangan yang tak berkesudahan dengan tentara salib. Beliau duduk di bawah sokoguru terdepan dalam masjid Umawy, disekelilingnya melingkar orang-orang yang haus ilmu. Dari situlah berita tentang syeikh terdengar sampai telinga penguasa Aleppo, Al Malik Al Dzofir bin Sultan Sholahudin. Al malik memohon dan mengundang beliau agar berkenan memasuki kerajaan sehingga ia dapat menimba ilmu, dan sang syeikhpun masuk dalam penjagaan dan perlindungannya.

"Apakah kesanggupan beliau memenuhi undangan sang penguasa merupakan kesalahannya yang agung, puncak pertemanan dengan sang penguasa yang menjadikannya goyah dalam menuju gerbang perjalanan abadi?"
"Ataukah kesalahannya adalah  ketika mengganti gombal kezuhudan dengan jubah kekuasaan?"

PENJARA

Malam telah larut, obor-obor tetap dinyalakan pada tempat pembangunan, para pekerja bergantian tiada henti memindahkan bebatuan, mereka berjalan dalam keadaan setengah tidur. Gemuruh ter dalam ketel memecah kesunyian, panasnya berasal dari tumpukan batu kapur yang disiram air. Carcush masih terjaga, disekelilingnya arsitek-arsitek hebat dan mandor-mandor, ia selalu memikirkan penghuni sekaligus penjara yang disiapkan khusus untuknya, siapakah dia?
- salah satu dari panglima Romawi?
Kalau di siapakan untuknya, harus temboknya tinggi dan panjang supaya dapat menanggulangi serangan apapun yang mungkin di lakukan bala tentara Romawi
- Ataukah pendurhaka dari sisa-sisa dinasti Fatimiyah?
Mencegah mereka kabur mustahil rasanya kecuali dengan menggali lorong panjang bawah tanah yang memungkinkan mereka masuk tanpa dapat keluar. Ini sesuai, watak mereka senang bersembunyi.
- Atau pula tanggunganku adalah para penghisap dari Asia jauh?
Yang paling tepat bagi mereka adalah penjara dengan udara panas mencekik, supaya berlawanan dengan udara tempat asal mereka yang dingin. Akibatnya mereka tidak dapat merancang strategi, tidak juga berlari menuju peperangan.

Carcush ingin memuaskan hati sang Sultan, hanya saja ia tak berpengalaman dalam membangun penjara. Ia membangun beberapa bangunan, karena ia belum pernah menjumpai penjara mutakhir. Penjara selama ini ya itu-itu saja, bagian dari relief-relief alam, seperti pegunungan,  goa, lorong-lorong, seperti keadaannya sejak ribuan tahun yang lalu. Ia tidak langsung menerima rancangan dari arsitek yang menyodorkan gagasannya. Berharap ada arsitektur bangunan yang belum pernah ada sebelumnya.

Lama Carcush memikirkan, sampai ia tak lagi dapat berpikir. Orang-orang disekelilingnya mengamati dengan seksama. Akhirnya ia berkata:

" Hendaknya kita buat penjara luas yang menjadi bagian dari sesuatu, sehingga si tawanan tidak menyangka bahwa ini adalah kuburan dan akhir hayatnya. Bilamana sang Sultan ingin melepaskannya, cukuplah bagi beliau membuka celah kecil di atas tembok, celah yang akan memberinya sedikit cahaya, bukan memberika secercah asa. Suatu keharusan langit tak terlihat, sehingga tak terbesit keinginan untuk lari melepaskan diri, biarkan dindingnya telanjang tanpa tembok, agar kekasarannya membangkitkan aroma kesedihan atas kenikmatan yang tertinggal diluar, biarkan pula tanahnya gundul, agar serangga dan cacing-cacing tanah merayap di kakinya, dengannya ia tahu makna akan hidup yang tersia-sia dan kehinaan."

Semuanya bergegas menyiapakan pembangunan penjara yang diinstruksikan.

KOTA CAIRO

Setelah beberapa hari, sampailah sang tawanan di dataran tinggi Cairo, gelap menyelimuti. Namun kota dengan penahanan kolosal itu menjelma seperti hewan melata dirongga kegelapan, kerlap-kerlip lampu temaram mengelilingi, bayangan bepuluh-puluh menara tampak memanjang, rongga dadanya penuh sesak bau harum kota Cairo, percampuran dari udara lembab, air sungai Nil, kolam-kolam, pepohonan, dan sisa-sisa tulang manusia. Akhirnya, sampailah ia pada kota yang sudah lama didengar perbincangkan, kota yang akan jadi akhir dari pengembaraannya.  Akan ia langkahkan kakinya menuju perkemahan-perkemahan universitas Al Azhar sampai kepayahan, kemudian duduk di salah satu tiangnya untuk berdiskusi dengan imam-imam empat madzhab, akan menaiki undakan-undakan gunung Muqotom, merenungkan peredaran cakrawala dan mengetahui bagaimana berputarnya zaman. Sudah selayaknya, perjalanan dengan berbagai halangan dan rintangan mengantarkannya kepada kota ini. Ia yakin malapetaka ini akan sirna, borgol pada kedua tangannya akan terlepas, sebentar lagi ia akan bertemu dengan sang Sultan, sang Sultan akan mengukuhkan kebenaran kata-katanya dan menemukan kebohongan tukang adu domba beserta fitnahnya, menghadiahkan kebebasan dan kesempatan untuk hidup di kota ini.

Disaat yang lain seorang pengawal mendekat, ia memegang penutup mata, dengan segan ia berkata:

'' Ma'af tuan, ini perintah. Saya akan menutup kedua mata tuan sebelum tuan memasuki kota."

Syeikh berkata dalam kedukaan:

" Kamu sekalian akan menghalangiku dari melihat pemandangan yang sudah lama aku idam-idamkan? tidak apa-apa, akan ku lihat pemandangan kota ini dengan pandangan hatiku

PERMOHONAN AMPUNAN

Malam ini sang Sultan tidak dapat memejamkan mata, beliau lelah, merasa bahwa sepanjang beberapa umur manusia telah di lewatinya dalam peperangan. Disetiap peperangan ia yakin bahwa ini adalah perang terakhir, tetapi nyala api yang tersembunyi dibawah abu menyalakan api baru, yang diidam-idamkan hanyalah secepat mungkin merampungi pembuatan benteng itu, hingga rakyat dapat tidur memperoleh rasa aman diantara tembok-temboknya, tidur yang nyenyak. Tetapi bagaimana bisa? Pasukan besar itu tak mau berkompromi di daratan eropa yang dingin, semenjak mengalahkannya di Khathin dan memukul mundur dari Baitul Maqdis, mereka tidak mau berhenti berteriak-teriak menuntut balas atas kekalahannya.

Terdengar ketokan pintu. Siapa orang yang berani mendatangi kamarnya selarut ini, pasti malapetaka yang mengantarkannya, menganggu ketentraman istirahat sang Sultan. Sultan bangkit berdiri membuka pintu, tak nampak olehnya pelayan yang biasa meladeninya, yang datang adalah seorang pemuda kurus yang menyerupai spektrum, membawa roman muka Sholahudin, hanya saja kentara lebih muda. Sultan memandanginya dengan tatapan bingung:

- " Wahai pemuda asing, apa yang membuatmu meninggalkan kekuasaanmu dan pergi sembunyi-sembunyi dibawah keremangan malam?"

Pemuda itu memegang tangan Sultan dan menggapainya hendak mencium, akan tetapi sang sultan bersegera membangkitkannya dan memeluknya, tampak tubuhnya gemetar, seakan kembali jadi anak kecil yang mencari perlindungan dibuaian sang ayah. Sang sultan berkata:

- " Tenang anakku, tenanglah wahai Al Malik Al Dzofir, tidak biasanya kau gegabah seperti sekarang ini, tak bisa aku bayangkan kau meninggalkan kekuasaanmu dan datang dalam keadaan seperti ini bagaimanapun sebabnya."
Al Malik Al Dzofir berkata:
- "Ananda datang dengan tujuan menyelamatkan nyawa seseorang ayahanda, yaitu seorang ulama besar. Ananda meminta beliau datang ke Alepppo dan memberikan jaminan keamanan serta perlindungan, pantang bagi ananda melanggar janji, ayahanda...

Sang Sultan berang: " lihatlah apa yang ditimbulkannya!"
Sultan menunjuk salah satu tiang kamar, disitu terdapat meja, diatasnya tertumpuk puluhan tumpukan, dari berbagai bentuk dan macamnya, dari kulit, kertas, kain katun, lingkaran yang saling melekat, seperti mata cekung yang memandang tanpa bosan.

Sultan berkata:

- " Inilah para pelapor yang yang sampai kepadaku dari setiap penjuru daerah Syam, dari syeikh, 'alim, faqih, dari masjid-masjid, sekolah-sekolah, dan sudut-sudut kota, mereka semua mencurigainya dengan kekafiran dan kekufuran".

- " Sungguh mereka telah menipu anda wahai ayahanda, mereka memasang perangkap di sela-sela perkataannya."

- " Semua pelapor berkata bahwa ia kufur, inkar bahwa nabi Muhammad adalah akhir para nabi."

Al Malik Al dzofir berkata memberikan perlindungan.

'' Sama sekali beliau lepas dari tuduhan... ulama-ulama Aleppo, Syiria, telah berdebat dengan beliau dalam berbagai masalah fiqh, manthiq, dan kalam, beliau mengangkangi semuanya dengan keluasan ilmu dan kecerdasan yang beliau milki, dan kebodohan mereka yang dipertontonkan dimuka umum mengobarkan kebencian didada. Oleh karena itu, mereka memperdaya beliau, mereka mengajak debat terbuka dimasjid Aleppo, dan salah satu dari mereka bertanya:
" Apakah Alloh mampu menciptakan nabi lain setelah diutusnya nabi Muhammad?"
Sang syeikh tidak menjawab kecuali dengan perkataan " TIADA BATAS PADA KEKUASAANNYA"

Sultan berkata:

" Jawaban samar itulah yang menyebabkan fitnah agung ini"

-" Beliau berkata tentang kekuasaan Alloh yang tanpa batas, akan tetapi mereka menafsirkan dengan mengatakan bahwa Suhrowardy memperbolehkan pandangan "Boleh saja tercipta nabi lagi setelah diutusnnya nabi akhir zaman.... mereka bersepakat menuliskan laporan tentang beliau, dan mengirimkannya pada ananda, bilamana ananda tidak segera menindak, dibawalah pengadu-pengadu ini ke hadapan baginda".

Sultan berkata:

" Ini bukan hanya sekedar pengaduan, ini merupakan awan fitnah yang tersemai di bumi, dan sudah tugasku untuk memberangusnya sebelum kita semua binasa. Dengan dalih itulah aku mendatangkan ia ke sini.Sungguh kau telah terperosok pada satu kesalahan besar pada zaman yang tidak mau memaafkan kesalahan."

Al Dzofir berkata:

" Berjanjilah pada ananda, ayahanda... ayahanda tidak akan memepercayai pengaduan mereka... laki-laki itu telah merubah hidupku, menjadikanku dapat melihat alam raya tidak sebagaimana hari-hari sebelum bertemu dengan beliau. Jangan renggut hidupnya, ayahanda...

Sultan berkata:

" Kecil kemungkinan aku mampu berjanji padamu, anakku..."

Keheningan melanda, masing-masing terpekur, memasuki alam pikiran lawan bicaranya, mengulang kembali pertimbangan masing-masing. Al Dzofir berpikir " Jikalau tidak mampu menepati janji pemberian suaka pada laki-laki ini, kekuasaan apakah yang ia miliki? mana fungsinya?". Sementara sang Sultan berpikir bahwa " Anaknya yang masih terpejam matanya akan menginjakan kaki pada sarang kehancuran, para masyayikh tak dapat mencegah dengungan-dengungan itu kecuali setelah menjatuhkannya dari atas singgasana".

PERTEMUAN

Pada saat Carcush menyaksikan sang pesakitan, perasaan pertama yang terlintas adalah: "orang ini tidak semestinya mendapatkan penderitaan, tidak pantas baginya tahanan, tidak pula tembok-tembok, cukuplah baginya ceruk kecil yang ia tempati sampai membusuk, tak berani ia keluar darinya barang satu langkahpun". Tetapi sewaktu sang Syeikh mengambil tempat, penjaga melepaskan borgol dan penutup mata, wajahnya yang lelah terlihat nyata, butiran-butiran pasir yang yang melekat di jenggotnya jatuh berguguran, seberkas kilat terpancar dari matanya yang baru terbuka, perasaan takut yang tak dapat dipahami merayap, menjalar di hati Carcush. Ia ingin menyambutnya sembari menunnduk, menggeleparkannya, kemudian menyepaknya sembari berbungah, mencicipkannya kepahitan penjara semenjak hari pertama.Tetapi jiwanya menolak kehadiran orang yang ada di hadapannya. Ia memegang tembok pada jalan keluar yang tak lekas lunak, tak ia sentuh bebatuannya sesudah itu, dan takkan berlama-lama dihadapannya...

Pada saat sang Sultan datang pada hari berikutnya, tembok-tembok masih tetap sedia kala, si pesakitan tertidur karena kelelahan dan lapar yang menyayat, Carcush heran dengan perhatian sang Sultan, ia membuka pintu penjara, berupaya mendahului Sultan, hingga membangunkan si pesakitan, namun sang Sultan mengisyaratkan agar ia tetap berada diluar.

Suhrowardy terbangun mendengar suara gaduh, tetapi ia tetap berda ditempatnya, ia mengambil posisi seperti orang sholat, sehingga tak tampak tubuhnya bersedeku dan menghinakan diri didepan seseorang. Sang Sultan termenung sebentar, apakah ini orang yang di perbincangkan semua pelapor? apakah ini cuma sisa-sisanya? dalam hatinya ia berbisik: "Wahai jasad lemah yang mampu mengobarkan fitnah yang agung".  Syeikh juga ikut memandang, ia menyadari bahwa Sultan seorang diri sedang berdiri berhadapan dengannya, tidak nampak padanya tanda-tanda enggan dengan keadaan ini. Syeikh berkata pelan:

" Tidakkah anda ucapkan salam padaku wahai paduka.... tidak pula tuan mengetahui diriku tanpa bantuan orang lain?'

Sultan merasa jengkel, "orang tua yang cerdik berpura-pura bodoh" desis sang Sultan sambil terdengar bunyi gemeretuk giginya.

- " Mungkin hanya aku satu orang yang tidak mengetahui sultan Sholahudin.."

Tidak nampak perubahan pada posisi tubuh sang syeikh, ia tak berupaya bangun, duduk sebagaimana bersiap-siap untuk sholat. Selanjutnya ia berkata:

"Aku akan memperlihatkan kepada tuan, tidak menyaksikan dengan mata mata telanjang, pandanganku tiada berpindah kecuali melihat posisi remeh dari tuan, aku tidak melihat kecuali jasad tuan yang rapuh dan kekuasaan tuan yang terbatas, dibatasi dengan kekuasaan Alloh yang tunggal lagi maha menang.

Sang Sultan berkata dengan ragu:

- " Jangan kau persulit diri dengan bermain kata-kata, aku tidak suka dengan ahli ilmu kalam, orang-orang sufi, filosof, dan omong kosong apapun darinya, aku hanya seorang yang berperang dan berbuat, dan kau berdiri dijalanku, merobohkan apa yang sedang ku upayakan".

Syeikh berkata:

- " Barang seharipun aku tidak berdiri di jalanmu, aku hanya memerangi kekufuran dengan jalanku, ku serang musuh-musuhmu, laskar-laskar penghisap yang merusak ciptaan Alloh, dan menghancurkan bejana yang akan dibuat sebagai wadah dari hasil pencapaiannya".

Sholahudin membentak, "Akan tetapi kau memecah belah umat! kau katakan bahwa akan datang nabi lain setelah terutusnya Muhammad...

- "Anda berbicara tentang kekuasaan Alloh, sedangkan rakyat butuh seseorang yang membenarkan perkaranya dan mengurusi sumber-sumber kerusakannya, seterusnya di perintahkan untuk memperbaikinya, tak ada seorangpun yang tahu tentang sesuatu yang dapat menyingkap waktu"

Dengan suara lantang sang Sultan berkata:
'' Akan aku beberkan sesuatu yang dapat menyingkap waktu, laskar-laskar baru dari Romawi. Diwaktu kecerdasan dan perhatian rakyat kebanyakan sibuk dengan teka-teki ini, mereka menentukan pajak di negaranya dengan label "pajak Sholahudin", dengan dalih itu mereka kumpulkan tumpukan-tumpukan emas, menyiapakan ribuan laskar kuda, melelehkan puluhan ribu baju besi dan pedang, tidak pecah juga tidak retak, akan ada kapal-kapal yang yang tak dapat tenggelam, benteng-benteng yang tak mempan api. Bagaimana mungkin aku dapat menandingi semunya dengan pasukan yang kau dan kroni-kronimu menjadikannya terpecah belah dengan sendirinya?"

Sang Sultan diam, ia memunguti nafasnya yang berserakan dengan susah payah. Ia telah mengungkapakan kekhawatirannya dengan jelas, suatu pengungkapan yang tak kuasa ia lakukan sebelumnya di depan siapapun. Ia menjadi seseorang yang di landa kekhawatiran dan kecemasan sepanjang waktu, setelah peperangan demi peperangan ia tidak mampu mengembalikan dirinya sendiri sebagai orang yang mempunyai kemampuan untuk mengalahkan keraguan".

Syeikh berkata:
-" Manusia dalam keadaan membutuhkan seseorang yang akan membawanya dalam perdamaian, bukan yang menuntun ke dalam medan pertempuran seperti orang buta, jangan berteriak-teriak memanggil dalam kerumunannya, akan tetapi datangilah mereka dan ajaklah berbicara, sebuah perkataan, jika sempurna akarnya, juga dikukuhkan dengan kesucian jiwa, maka badan akan tergoncang bergetar"

Sang Sultan berbisik seakan takut memperdengarkan suaranya sendiri pada dirinya
" Jikalau aku keluarkan kau dari sini, apakah kau akan berbincang dengannya? Apakah kau mampu membariskan semuanya dibelakangku?"

-" Alloh berkuasa atas segala sesuatu, akan tetapi hati manusia bermacam-macam, ada yang mu'min ada pula yang kafir, apabila tuan bersikeras memaksa mereka maka mereka akan semakin menjauh..."

Sultan Sholahudin terbangun dari keadaan lemah yang merasuki jiwanya, seharusnya ia tidak ajukan pertanyaan itu padanya, tidak membuka titik kelemahannya dan tempat-tempat persembunyian kekhawatirannya. Ia berkata: " aku tidak mengetahui akhir dari semua permainan ini dengan kata-kata, akan tetapi kata-kata itu membebani singgasana anaku, dan tak ku biarkan kata-kata itu membebani pertempuranku dengan bangsa Romawi"

Lelaki itu membuka mulutnya tanpa berucap, Sultan mengitarinya dan segera keluar dari penjara, Carcush mendengar lengkingan suara kemarahan, ia bergidig, bergetar, Sultan berjalan hingga akhirnya sampai di luar tahanan, dibawah matahari yang terik, ia hempaskan dadanya seakan menghilangkan petang yang ada di dalamnya, dalam hati ia bergumam, " lelaki ini tidak melakukan banyak kesalahan, akan tetapi ia datang pada saat yang tidak tepat". Ia menoleh, memandang Carcush lekat-lekat.
CEPAT KAU BUNUH DIA!

Carcush berkata dalam ketakutan:
" Sendiko dawuh tuanku, akan tetapi saya takut memandang kedua matanya...."

Sang Sultan memandanginya, ini bukan Corcush yang selama ini beliau kenal, bukan pula anaknya, sebagaimana pula sultan yang sekarang ini bukan sultan yang sebenar-benarnya, beliau wajib memutuskan arus agar banjir tidak meluap kemana-mana, beliau berkata:

" Tiada seorangpun yang mau melihat wajahnya, Carilah tali, kemudian cekik dari belakang"

* Gunung Qof merupakan istilah kaum shufi dalam menggambarkan rintangan menuju makrifat

Di terjemahkan dari karya Doktor Muhammad Mansy qindil, majalah AL 'ARABY edisi 607, Juni 2009. dengan judul asli YAUMA QUTILA AL SUHROWARDY.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun