[caption id="attachment_111690" align="alignleft" width="332" caption="H-5/Setahun Ngeblog di Kompasiana"][/caption] Selalu berpikir positif atau
positive thinking, itulah salah satu tips agar tulisan kita lebih mudah dimuat di media cetak. Sebagai penulis tentu kita dituntut untuk bisa beropini yang sehat, cerdas, dan konstruktif, sehingga dapat memberi solusi dan pencerahan bagi tatanan kehidupan masyarakat. Salah satu tips menulis yang penulis lakukan, hendaknya tidak langsung apriori (buruk sangka) terhadap suatu kasus yang terjadi di masyarakat. Dibalik sisi negatif, pasti tersembunyi aspek keunggulan berupa sisi manfaat yang bisa digali untuk mencerahkan publik. Hal ini merupakan garapan yang dinilai menarik oleh Redaksi suatu media sehingga berkenan memuatnya. Sebagai contoh tentang
"Liburan Sekolah".
Liburan long week end "identik"dengan acara
santai-santaiatau
bermalas-malasan/mengganggurkan diri dan ajang
pemborosananggaran rumah tangga. Bila penulis bermindset
negatif seperti itu,
sulit artikel kita
dimuat. Akan tetapi, bila sebuah liburan
dimaknai positif seperti: (a)
bermanfaat dalam mengendurkan ketegangan sehingga dengan relaksasi membuat semangat bekerja berlipat ganda; (b)
merajut kehangatan dengan keluarga, suatu hal amat sulit dilakukan di masa sekarang ini; atau (c)
mengisi dengan liburan yang edukatif, bisa tempat tertentu seperti: outbon, menonton bioskop, ke lokasi wisata atau yang murah meriah bagi anak-anak, seperti: berkunjung ke lokasi petani atau industri kecil, bersih-bersih rumah atau jogging bersama; tentu ini amat positif dalam memaknai liburan, sehingga faktor dana dan waktu berapa pun yang terpakai, tidak menjadi soal selama liburan memberi dimensi kualitas dan berkesan, bukan? Tips ini
amat mujarab, meski kupasannya berbahasa sederhana, tidak ilmiah banget, tetapi mampu membuat Redaksi
Kompas memuatnya di media cetak, 1 Juli 2009. Klik
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2010/06/09/memaknai-liburan Contoh kedua,
permainan layang-layang. Bila yang digali hanya bayangan kecemasan dan kekhawatiran bahayanya anak terperosok, tertabrak atau tersengat aliran listrik, dan menganggap permainan layang-layang tidak dibutuhkan lagi oleh anak-anak generasi sekarang, media cetak sulit menempatkan artikel bertema seperti ini. Tetapi bila dimaknai secara
positif, seperti: Permainan layang-layang, sesungguhnya melatih fisik anak lebih
tangkas dan lincah dengan berlari dan mengejar layang-layang putus. Ini amat berguna untuk mereduksi gejala penyakit hipokinetik, timbul akibat gaya hidup statis tren anak-anak masa kini. Begitu pun
nilai-nilai kolektivitas pun di kalangan sebaya terbangun seperti: menghormati aturan di kalangan mereka, menghukum yang berbuat curang, dan sikap kebersamaan lain, seperti: ikut memasangkan tali timba, membantu membawa golongan benang, atau tukar-menukar gelasan, dan lain-lain. Sedangkan bermain di ruang terbuka, anak-anak leluasa untuk berteriak secara spontan, selain berguna melekatkan jiwa korsa secara emosional, juga menjadi sarana interaksi sosial, pelega emosi dan penyingkap bawah sadar mereka mengeluarkan unek-unek hatinya. Pendeknya, mereka bisa menikmati masa anak-anak dengan suka cita. Dan pemberian solusi bijak bagi mereka dibutuhkan agar
hobi mereka tidak tersumbat, permainan tetap bisa dinikmati tanpa membahayakan dirinya. Artikel sederhana di atas dapat ditayangkan di media
Kompas, 15 Nov 2008. (klik
http://kompasajka.blogspot.com/2009/03/ngadu-langlayangan-permainan-penuh.html) . Satu lagi, pada kasus sering dijumpai rutinis kehidupan yakni sebut saja Hari Raya kurban. Biasanya hampir semua warga mendapat bagian jatah kurban sehingga pedagang daging sapi atau domba harus beristirahat satu atau dua hari. Bila ditinjau secara ekonomis tentu
merugikan, namun bila ditinjau dari makna psikologis, justru
anugrah kemurahan Allah SWT bagi keluarga pedagang daging untuk menikmati kehangatan mentari pagi bersama anak-anak dan tetangganya (sesuatu yang langka) atau merencanakan mudik ke kampung halaman beberapa saat tanpa perlu dibayangi oleh kehilangan langganan. Berbeda dengan Idul Fitri, di masa itu pedagang daging tidak bisa istirahat, karena sedang "marema" diserbu pelanggan, bukan? Yuk, berpikir positif atau
husnudzon billah, karena Alloh bersama persangkaan hambanya, bukan?
KEMBALI KE ARTIKEL