Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Berdua Menikmati Senja

23 Januari 2011   04:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:16 389 1

Ups! Dimana tadi kunci motorku kutaruh ya... kok di dalam tas tidak ada. Aku mengeluarkan isi tasku. Tidak ada. Kurogoh sakuku. Nihil. Tidak ada juga. Atau mungkin tadi terjatuh ya... Gawat nih!

“Cari ini ya...” Seorang laki-laki berkaos biru mengulurkan kunci motorku.

Dan saat itulah aku cuma bisa diam melihat... lelaki itu bicara. Sensasi ini... mengapa aku merasakannya? Sensasi debaran jantung kencang yang membuat darahku mengalir keras dan membuat perutku mulas begitu mendadak.

“Boleh aku duduk?” Tanyanya setelah melihat aku menguasai keadaan. “Maaf kalau tadi mengejutkan.”

“Silahkan... terima kasih kuncinya.” Jawabku mencoba tersenyum padanya.

“Menunggu seseorang?” tanyanya. Sepertinya dia mencoba menyelidik. Hmm... kalau diperhatikan lebih lama, orang ini ada miripnya dengan... mmm... siapa ya? Ah, lupa. Pokoknya manis. Ada garis wajah yang cukup kuat terpasang di sana.

“Menunggu senja.” Jawabku. “Karena itulah, aku sering kemari.”

“Pecinta senja?” tanyanya.

Aku tersenyum. “Kamu? Lagi nunggu juga?” aku balik bertanya.

Dia terdiam, alis matanya naik sebelah. “Hmm, nggak juga. Iseng aja main ke sini.”

Lama menilik garis-garis wajahnya, aku mencoba mengingat-ingat. Tunggu... aku sepertinya pernah akrab dengan suaranya. Tapi... tidak mungkin. Apakah dia...? Sepertinya bukan.

“Gitaris?” tanyaku melihat dia membawa gitar.

“Ya gitu deh.” Tiba-tiba saja, lelaki itu menatapku dengan tatapan tak terduga. “Mau dengerin aku main nggak? Sekalian minta penilaian kamu juga.”

“Boleh saja...”

Aku terus memusatkan perhatianku pada lelaki itu. Entah kenapa saat melihatnya memegang gitar membuat aku mau tidak mau sedikit terpana. Sejak dulu, aku selalu tertarik pada cowok-cowok yang jago main gitar. Dan, dari apa yang aku dengar sekarang, dia jago bermain gitar. Ada sesuatu dari permainannya yang membuatku terhanyut. Apalagi, saat itu, dia sedang memainkan lagu “Cinta Terakhir” dari Gigi.

Tak seharusnya ku merasa sepi, kau dan aku di tempat berbeda

Seribu satu alasan melemahkan tubuh ini

Aku di sini mengingat dirimu, ku menangis tanpa air mata

Bagai bintang tak bersinar redup hati ini

Lagu itu mengingatkanku pada... Ah, sudahlah... tidak mungkin... Tapi, suara itu sepertinya sangat akrab di telingaku.

“Nah, gimana?” tanya dia tiba-tiba. Aku gelagapan, merasa bingung karena tadi terlalu terhanyut.

“Bagus banget.” Jawabku.

“Terima kasih.” Dia tersenyum. “Lagu ini pernah dinyanyikan seseorang padaku dulu. Seseorang yang sangat berarti untukku.”

“Siapa? Pacar?”

Dia kembali tersenyum. “Dia bidadariku. Penyemangat hidupku. Dia mengenalkanku pada kasihNya. Sampai aku tahu bahwa ternyata di dunia ini masih ada orang baik. Dia.”

Deg! Kata-kata itu... Benarkah dia...?

“Dia suka warna biru dan jingga. Seperti warna senja. Dia suka bunga tulip. Suka menulis puisi. Pengidap insomnia sepertiku. Dia sensitif, pemaaf dan selalu meminta maaf.”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun