Hasan Aspahani berhasil mengemas buku ini dengan riset yang mendetail dan bahasa yang puitis, sehingga kisah hidup Chairil Anwar terasa lebih hidup dan dekat bagi para pembaca.
Melalui novel ini, Aspahani berupaya untuk menghidupkan kembali sosok Chairil yang penuh gejolak, menampilkan segala sisi kepribadiannya, dari seorang penyair yang pemberani hingga sosok yang memiliki kehidupan penuh konflik.
Buku ini mengisahkan perjalanan hidup Chairil Anwar sejak masa kecilnya, mengenalkan kita pada berbagai peristiwa yang membentuk dirinya menjadi penyair dengan karakter yang khas.
Chairil lahir di Medan pada tahun 1922 dan tumbuh dalam situasi yang cukup keras. Novel ini menunjukkan bagaimana ia tumbuh dalam keluarga yang konservatif, namun ia memiliki jiwa pemberontak yang besar. Chairil, sejak usia muda, sudah memiliki tekad untuk keluar dari norma-norma yang membatasi kreativitasnya.
Ia tidak ingin hidup dalam ketidakbebasan, dan inilah yang membuatnya akhirnya memutuskan pergi ke Batavia (Jakarta sekarang), meninggalkan kampung halamannya demi mengejar cita-cita dan kebebasan.
Di Batavia, Chairil menemukan dunianya dalam lingkaran seniman dan sastrawan. Ia menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh intelektual dan seniman pada masa itu, yang kemudian menjadi teman dekatnya.
Salah satu bagian paling menarik dari buku ini adalah saat Aspahani menjelaskan proses kreatif Chairil dalam menciptakan sajak-sajaknya yang penuh emosi dan energi. Beberapa sajak Chairil yang terkenal seperti Aku, Diponegoro, dan Krawang-Bekasi dibahas dalam buku ini dengan sudut pandang yang lebih mendalam.
Novel ini juga mengeksplorasi hubungan pribadi Chairil dengan orang-orang terdekatnya, termasuk hubungan dengan keluarga dan perempuan-perempuan yang hadir dalam hidupnya.
Meskipun dikenal dengan gaya hidup bohemian yang bebas, Chairil digambarkan sebagai pribadi yang seringkali merasa kesepian dan terasing. Ia merindukan penerimaan dan cinta, namun kerap kali tidak mampu mempertahankan hubungan yang harmonis.
Dalam novel ini, Hasan Aspahani menggambarkan sisi Chairil yang rapuh, seorang laki-laki yang sebenarnya juga membutuhkan afeksi, meskipun dalam kesehariannya ia selalu menampilkan kesan sebagai sosok yang kuat dan tak tergoyahkan.
Dalam hal persahabatan, Chairil juga memperkenalkan kita pada hubungan dinamis Chairil dengan sahabat-sahabatnya, seperti Asrul Sani dan Rivai Apin, yang juga dikenal sebagai seniman besar.
Kisah tragis kehidupan Chairil juga menjadi bagian tak terpisahkan dari buku ini. Hidupnya yang pendek, Chairil meninggal pada usia 27 tahun penuh dengan perjuangan dan konflik. Ia hidup dalam kemiskinan, kesehatan yang buruk, serta beban mental dari kegelisahan batinnya.
Namun, justru dalam situasi-situasi sulit itulah Chairil menemukan bahan untuk puisinya yang abadi. Hasan Aspahani menggambarkan Chairil sebagai sosok yang berani menghadapi kematian, sebagaimana yang tercermin dalam sajak-sajaknya yang sering berbicara tentang hidup, mati, dan keberanian untuk melawan takdir.
Secara keseluruhan, buku "Chairil" karya Hasan Aspahani adalah buku yang bukan hanya menawarkan kisah hidup seorang penyair, tetapi juga refleksi mendalam tentang perjuangan manusia dalam mencari kebebasan dan jati diri.
Novel ini adalah bacaan yang penuh emosi, yang membawa pembaca untuk lebih memahami siapa sebenarnya Chairil Anwar dan apa yang membuatnya menjadi legenda dalam dunia sastra Indonesia.