Mohon tunggu...
KOMENTAR
Analisis

Polemik Childfree di Indonesia, Apakah Perempuan Berhak untuk Memilih?

9 November 2024   22:22 Diperbarui: 10 November 2024   10:10 148 1
Dalam beberapa tahun terakhir, isu childfree telah menjadi perdebatan kontroversial, terutama di kalangan Generasi Z dan milenial di Indonesia. Dengan  kebebasan berekspresi dan paparan arus modernisasi membuat mereka berani mengungkapkan pandangan berbeda tentang peran anak dalam kehidupan. Berbagai platform media sosial, seperti TikTok, Instagram, dan Twitter, menjadi arena bagi berbagai opini yang menciptakan polarisasi di masyarakat. Isu childfree ini menjadi semakin menarik , mengingat Indonesia adalah negara konservatif yang membuat perdebatan ini semakin memanas.

Childfree, dikutip dari Cambridge Dictionary, diartikan sebagai kondisi di mana pasangan memilih untuk tidak memiliki anak dalam kehidupan pernikahan. Isu kontroversial mulai berkembang di akhir abad ke-20. Fenomena ini hadir seiring dengan kampanye politic of body atau politik tubuh yang beranggapan bahwa tubuh perempuan adalah miliknya. Tren ini tentunya mendukung akan hak progerative perempuan dalam hal mengandung atau mempunyai keturunan, sehingga childfree digolongkan dalam pilihan yang bersifat involuntary.

Dulu, isu ini sangat dibenci, namun seiring dengan berkembangnya penelitian mengenai childfree, topik ini perlahan menjadi lebih terbuka untuk dibahas dan diterima oleh masyarakat. Pilihan hidup childfree pun kian meluas di negara-negara di luar Eropa dan Amerika. Meskipun begitu, apakah perempuan di Indonesia memiliki hak untuk memilih di tengah budaya konservatif?

Perlu diketahui bahwa Indonesia adalah negara pro natalis yang memiliki tingkat kelahiran (total fertility rate) sebesar 2.26 dan sebesar 93% masyarakat percaya bahwa keberadaan anak dalam pernikahan adalah hal yang sangat vital dan sangat dinantikan kehadirannya. Oleh karena itu, sebagai negara yang pro natalis anak mempunyai arti penting dalam masyarakat Indonesia karena dapat memberikan manfaat terlebih dalam sosial, ekonomi, budaya, dan agama.

Dengan angka total fertilitas yang mendekati sempurna, kita harus berangkat dari kebudayaan tradisional yang mengharuskan perempuan untuk menjadi seorang istri dan ibu. Stigma masyarakat bahwa perempuan akan menjadi wanita seutuhnya hanya jika melahirkan anak memperkuat pandangan ini. Budaya patriarki secara tidak langsung menjadikan perempuan sebagai objek reproduksi dan menempatkan tanggung jawab keturunan sebagai beban perempuan semata.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun