Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Birahi Menulis

15 Juli 2013   13:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:31 136 1
Dorongan kuat berahi menulis ku meletup-letup merota untuk dituntaskan, memaksa jemari menekan tots-tots keyword komputer dihadapan ku. Apa yang harus ditulis…..? bagaimana menulis…? dari mana mulai menulis…? pertanyaan-pertanyaan itu menyerang ku bertubi-tubi, menyingkap miskinnya ide dan sempitnya wawasan ku. Aku ditelanjangi oleh kebodohan ku sendiri. “Malu”, malu pada tembok yang saling berbisik dengan angin, “Lihat sibodoh itu ia tak tahu harus menekan huruf apa, untuk memulai tulisanya”. Bisik angin pada tembok yang terjungkal-jungkal menahan tawa. “Ia, dia itu sarjana loh, tapi gak bisa nulis, payah hahahahahaha”. Jawab tmbok dengan susah payah karena tawanya yang semakin menjadi-jadi.


Ditengah kegalauan itu, aku merasa semakin sesak dihimpit omelan langit-langit kamar yang tidak karuan, hal itu wajar karena usianya yang sudah tua. Kalau saja dia manusia, dia sudah seumuran nenek tetangga yang juga suka mengomel.omelan itu begitu mengganggu, dia membuyarkan konsentrasi ku untuk megumpulkan guratan sisa-sisa uapan pengetehuan dalam otak yang ingin ku rangkai menjadi sebuah ide utuh dalam satu tulisan.


“Tulis, pokoknya menulis”, hasrat itu kian kuat memaksa, mungkin karena sudah berada dipuncak horni sebab terus-menerus memandangi kelap-kelip seksi kursor yang semakin erotis menari mengoda. “Ayo lakukan aku pasrah padamu, jamahlah setiap tuts keyword ku, lepaskan semuanya, seluruh hasrat yang terkungkung dalam penjara sanubari mu”. Rayu komputer dengan sangat manja.


Tak kuasa jua aku menahan konaknya letupan-letupan hasrat menulis yang sejak tadi meraung-raung. Akhirnya dengan sangat hati-hati dan canggung ku jamah tots demi tuts keyword kompuer yang sudah mulai lelah merayu ku. Terdengar desahan halus saat ku tekan huruf demi hurufnya. Mungkin ia meraskan sensai berbeda, karena biasanya ku cumbui dia hanya untuk memasang status-status galau di facebook serta kicauan-kicauan hambar di akun tweeter ku.

Jantung ku semakin kencang, detakannya laksana ketukan palu hakim ketika memutus perkara sang bocah pencuri sandal jepit. Ia seakan tak peduli pada Pembuluh darah ku yang telah menyempit akibat timbunan nikotin yang ditularkan iblis kecil berkepala merah yang telah lama menjadi teman setia ku. Pembuluh darah ku rasanya tak sanggup menahan aliran darah yang semakin deras, sederas kasus-kasus hukum yang membelit para petinggi partai-partai politik dinegeri ini.


Ku perkenalkan, iblis kecil berkepala merah adalah dosa warisan kolonial yang dipertahankan karena dia adalah jimat manjur untuk memeras tetesan keringat petani tembakau yang akan dipersembahkan untuk minuman dewa-dewa sesat bernama kapitalisme. Saat ini sahabat ku, iblis kecil berkepala merah sedang galau. Dunia sedang menabuh genderang perang melawannya. Katanya, ada iblis lain berupa produk kesehatan berbentuk obat-obatan pengganti nikotin membagun konspirasi dengan berbagai elemen disetiap negara untuk menyebar fitnah. Menurutnya, apa yang digembar-gemborkan bahwa ia adalah penyebab kangker tidak benar “justru aku mengandung protein pencegah kangker”, ucapnya sambil terisak menahan tangis. Meskipun tak percaya pada ucapannya, sebagai sahabat yang baik, aku pura-pura memberinya dukungan dengan menarik asbak kearah ku. Dalam hati aku membatin, “kalian sama saja, sama-sama jimat kapitalisme”.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun