Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Bukan Tepat Waktu, Tapi Waktu yang Tepat

29 April 2013   01:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:27 581 1
Banyak tanya bergema dari orang-orang disekelilingku, "Kapan nikah?" Kujawab,"Rizqullah nggak akan kemana kok. Doain aja."

Hmmm... pertanyaan terakhir ini sedikit menggangguku. Kenapa? Bukankah itu wajar saja. Toh zaman sudah tak seramah dulu. Dan tentu saja siapapun yang sayang dan kasih padaku akan mencemaskan aku yang seorang perempuan dengan model pergaulan dan kondisi dewasa ini. Dan bukankah itu merupakan bentuk perhatian. Wajar saja ah menanggapinya.

Tentu saja akan biasa saja jawab dan sikapku, tapi bila yang bertanya itu mendekatiku dan mengajukan lamaran dengan segera dan perlu dijawab dengan cepat, ini yang memusingkanku. Pastilah masalah pernikahan tak semudah menentukan menu makan hari ini. Ini tentang hati. Tentang rasa. Kurasa tak ada yang mau dipaksa dan merasa terpaksa dalam hal ini, dan lagi, semua pasti mengharap yang terbaik.

Beberapa bulan terakhir ini aku dekat dengan seorang kakak tingkat di kampus. Bisa dibilang ia baru patah hati. Pun aku tak berharap mengisi kekosongan itu. Biar saja.
"Toh ini hanya perkenalan, pertemanan. Kalaulah nanti ada masa dimana kita berjodoh, biarlah itu urusan nanti. Bila tidak, biarlah kita tetap berteman." Kataku padanya.
Bukankah waktu yang akan menunjukkan bagaimana kenyataan yang ada. 'Mengharap dia datang tepat waktu seperti mengharap salju turun di bulan Juli', ini kutipan yang kusuka dari sebuah novel karya Ilana Tan. Maka aku tak berharap jodoh itu akan datang tepat waktu, karena aku sendiri tak tau kapankah waktunya, hanya saja kuharap ia datang di waktu yang tepat.

Beberapa teman dan kakak tingkat mengajukan ajakan nikah padaku. Memang keputusan itu kuserahkan pada orang tuaku, tapi tentunya aku tidak menipu diri bila akupun memiliki andil dalam penentuan keputusan diterima atau ditolak. Beberapa bulan terakhir ini aku hanya berkelit menghindar, menolak akan menyakiti perasaan seseorang, menerima hanya akan membuatku susah pada akhirnya karena hatiku tidak merasa yakin dengan pilihan dan keputusanku. Maka maaf bila aku masih menghindar. Bukan kabur, aku hanya menghindar.

Namanya Fathir. Ramah, santun, baik dan sholeh dalam pribadinya telah memikatku. Sikapnya, pribadinya, dia telah berhasil membuatku terkesan. Dan Robby, aku jatuh hati padanya. Bukan karena prestasinya, bukan karena kesuksesan yang digenggamnya, tapi karena pribadinya. Diantara banyak orang, kenapa dia? Dan apa yang harus kulakukan, haruskah kubilang, "Mas, Azka suka sama mas. Azka jatuh hati sama mas." Nggak deh. Malu rasanya.

Aku memintamu dari Robby-ku, bilalah engkau adalah orang yang akan menggenapkan kurangku. Aku memohon pada Robb-ku, bilalah engkau adalah bagian dari rizkiku. Aku tak meminta padamu untuk memilihku dan menerimaku, karena bagiku itu bukan hakku. Engkau bebas memilih, sebagaimana aku juga bebas memberikan keputusan dan menjatuhkan pilihan. Maka bagiku aku tak perlu memaksamu. Biarlah Robb-ku menunjukkan kuasaNya.

Fathir adalah salah seorang kawanku. Dan suatu ketika ia berkata, "Azka, tau nggak, Ibuku nyuruh aku nikah. Gimana pendapatmu tentang Naura?" Aku hanya tersenyum. Ia tak tau keterkejutan yang kusimpan. Ia tak tau bahwa aku memilihnya, berharap dialah orangnya. Pertanyaannya kujawab dengan segenap kejujuranku. Fathir merasa puas.  'Mungkin memang bukan Fathir', batinku.

Pun aku sedikit kecewa, tapi aku percaya Robb-ku akan memberikan yang terbaik bagiku. Maka tak apalah bila memang Fathir bukan untukku. Fikri dan Farhan masih bertanya, "Azka kapan siap?" Aku hanya tersenyum.

"Robby, Azka percaya, akan Kau kirim seseorang yang terbaik untuk menjadi pendampingku. Seseorang yang mampu menjagaku dunia akhirat. Seseorang yang mampu menerima kurang dan lebihku. Tapi Robby, akankah Kau memberi tahuku kapan itu akan terjadi?" Tanyaku diantara barisan kalimat doa setelah qiyamul lailku. Aku yakin, orang itu sama sepertiku, menunggu.

Ia dekat. Bahkan semakin dekat. Tapi siapa?

Setiap orang harus dan wajib berikhtiyar. Bila ada yang melakukan penyeleksian, sayembara dan kompetisi mencari jodohnya. Maka aku dengan caraku, maka aku dengan ikhtiyarku sendiri. Bila diamku ini dianggap ikhtiyar pasif, maka ia tak tau, bahwa aku sedang menilai. Berusaha membaca pribadi mereka yang muncul disekelilingku.

"Neng, cowok itu menang milih, cewek itu menang nolak." Kata Nadia suatu ketika.
"Tapi Nad, bukankah Khodijah menang milih ya?" Tanyaku nggak puas.
"Iya, tapi dia telah menilai Muhammad sebelumnya."
"Aku masih nggak puas Nad," protesku.
"Itu hanya kebenaran umum Az. Fakta yang ada dewasa ini."
"Berarti dalam konteks pembahasan kita ini, cewek atau cowok juga memiliki porsi dan posisi yang seimbang donk?"
"Bisa jadi. Adat menjadikan tabu atau kurang baik kalau perempuan yang maju duluan. Emansipasi ya emansipasi, tapi ada nilai-nilai yang tak bisa kita langkahi gitu aja. Dan pastinya keluarga memegang peran penting dalam keputusan final. Kamu bilang iya, dia bilang iya, kalau keluarga bilang nggak, tetep aja nggak bisa jalan. Batal."

Perlahan kutulis sebuah judul dengan diikuti beberapa susunan kata yang membentuk beberapa baris kalimat dalam buku harianku.

Dia bernama RINDU

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun