I. Pengantar: Perubahan Paradigma Ekonomi Dunia
Sebelumnya, ekonomi internasional digambarkan sebagai sistem yang harmonis dan terintegrasi secara luas. Pada awal abad ke-20, teori liberalisme ekonomi menjadi dasar bagi perkembangan perdagangan bebas antarnegara. Konvensi GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) tahun 1948 merupakan tonggak penting dalam upaya mengurangi tarif dan non-tarief barrier (NTB). Kemudian, setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, era kapitalisme laissez-faire pun dimulai, memberikan dorongan kuat bagi ekspansi ekonomi multinasional korporasi (MNC).
Namun, sejak tahun 2000-an, tren ini mulai bergeser. Banyak faktor yang menyebabkan pergeseran paradigma ini, salah satunya adalah resesi global tahun 2009 yang disebabkan oleh krisis keuangan subprime Amerika Serikat. Krisis ini menunjukkan bahwa interdependensi ekonomi sangatlah rapuh dan rentan terhadap keruntuhan sistem keuangan nasional.
Selain itu, geopolitik juga bermain peranan signifikan dalam pengaturan ulang arus perdagangan dan investasi. Negara-negara besar seperti Cina, AS, Rusia, dan India mulai menggunakan kekuatan mereka untuk merebut posisi dominan di panggung internasional. Hal ini tercermin dalam strategi "One Belt One Road" China yang bertujuan mengintegrasikan infrastruktur regional Asia-Pasifik dan Eurasia; atau kebijakan "America First" Presiden Donald Trump yang fokus pada perlindungan industri domestik.
Kedua fenomena ini---fragmentasi geoeconomic dan proteksionisme---saja sudah cukup untuk merubah wajah ekonomi internasional sepenuhnya.
II. Fragmentasi Geoeconomics: Era Baru Persaingan Kuota Pasar
Fragmentasi geoeconomics berasal dari prinsip bahwa suatu wilayah atau blok bangsa dapat mengembangkan model ekonomi sendiri tanpa harus terikat oleh aturan universal yang sama seperti sebelumnya. Contohnya adalah Blok Timur yang didominasi oleh Cina, Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat, dan Blok Indo-Afrika yang tengah maju bersama-sama.
Cina merupakan contoh klasik dari negara yang sukses dalam mengimplementasikan model ekonomi unik. Melalui program "Made In China 2025," Beijing berusaha mengembangkan teknologi tinggi dan meningkatkan kemampuan manufakturing domestik agar tidak lagi bergantung pada impor barang-barang elektronik dan otomotif dari luar negeri. Strategi ini juga didukung oleh investasi massal dalam proyek-proyek infrastruktural skala besar seperti jalur kereta api transkontinen dan port-container modern.
Di sisi lain, Amerika Serikat tampaknya tak mau tertinggal. Keputusan Presiden Joe Biden untuk meningkatkan anggaran pertahanan militer dan dukungan kepada sekutu-sekutu dekatnya seperti Jepang dan Australia menunjukkan ambisi Washington untuk tetap menjadi pemain utama di arena geopolitik dunia.
Sementara itu, Rusia juga tidak mau ketinggalan. Moscow terus-menerus meningkatkan kepentingannya di Mediterania Timur melalui serangkaian operasi militernya di Suriah dan Ukraina. Tujuan utamanya adalah mempertahankan akses ke laut Hitam dan menghindari hegemoni maritime AS di Samudera Atlantik Utara.
India pun tidak mau diam. New Delhi telah membangun hubungan diplomatik erat dengan kedua superpower tersebut---AS maupun Cina---sementara juga meningkatkan kerjasama strategis dengan Pakistan dan Bangladesh demi membalikkan kekuatan geopolitisnya di Subbenua India.
Dalam perspektif mikroekonomika individu negara-negara tersebut mungkin saja saling berebut market share produk-produk tertentu namun secara makroekonimika keseluruhan sistem perdagangan dunia masih relatif stabil karena adanya mekanisme adjustment automatik yang ada di dalamnya seperti harga komoditas yang fluktuatif dan migrasi modal yang fleksibel.
III. Proteksionisme: Ancaman Terhadap Integrasi Pasar Dunia?
Proteksionisme adalah praktik perlindungan domestik yang dilakukan oleh suatu negara melalui cara-cara formal seperti tariff pajak masuk atau informal seperti embargo dagang total terhadap importir tertentu. Praktek-praktek ini biasanya diketahui publik lewat implementasi kebijakan trade war antarsuku bangsa.
Contoh kasus nyata adalah konflik dagang antara Amerika Serikat vs Republik Rakyat Cina yang berlangsung selama dua tahun terakhir. Awalnya dimulai dari klaim hak paten Intel Corp., kemudian eskalasi menjadi larangan impor bijih besi dan baja dari Beijing sampai akhirnya presiden Xi Jinping mengancam akan menghentikan semua eksport logam-logam tersebut ke negara barat apabila Washington tidak mengakhiri sanksi-sanksi ekonominya terhadap pejabat senior Partai Komunis Tiongkok.
Konflik ini tidak hanya berdampak langsung pada industri automobil dan tekstil tapi juga menyebabkan inflasi global karena kenaikan biaya produksi yang dialami oleh produsen-manufaktur di seluruh dunia.
Meskipun demikian, tidak semua orang setuju bahwa proteksionisme benar-benar buruk bagi ekonomi internasional. Beberapa analisis akademis menunjukkan bahwa kebijakan perlindungan domestik dapat membantu meningkatkan pendapatan nasional dan mengurangi kesenjangan sosioekonomi di kalangan rakyat jelata.
Misalkan saja jika suatu negara mengalami defisit neraca perdagangan yang parah maka pemerintahnya mungkin akan membatalkan impornya sebanyak-banyaknya supaya mata uangnya tidak terjun terlalu cepat nilai tukarnya di pasar valuta asing.
Namun sayangnya metode ini cenderung kurang efektif dalam jangka panjang karena akan menyebabkan stagnasi pertumbuhan GDP dan meningkatkan risiko inflasi yang berkepanjangan.
IV. Solusi Alternatif Untuk Menghadapi Fragmenstasi Dan Protexionisme
Bagaimana kita bisa menghadapi fragmnetiasi dan protesionme secara simultan tanpa mengorbankan tujuan utama yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia secara umum? Berikut beberapa solusi alternatif yang dapat dipertimbangkan:
1. Integrasi Regional Lebih Erat: Salah satu cara untuk mengurangi dampak negatif dari fragmentasi geoeconomi adalah dengan meningkatkan integrasi regional. Misalnya, ASEAN dapat menjadi contoh ideal bagi negara-negara di Asia Tenggara untuk bekerja sama lebih erat dalam bidang perdagangan dan investasi.
2. Negosiasi Multilateral: Meski proses negosiasi multilateral seperti WTO kadang-kadang lambat dan sulit dicapai namun ia tetaplah penting untuk menjaga stabilitas sistem perdagangan dunia secara keseluruhan.
3. Investasi Di Sektor-Sektor Yang Strategis: Investasi di sektor-sektor yang strategis seperti energi hijau, teknologi informasi, dan infrastruktur digital dapat membantu meningkatkan daya saing nasional sambil juga mengurangi dependensi terhadap sumberdaya alam yang terbatas.
4.. Pendidikan Dan Pelatihan Kerja: Upaya-upaya pendidikan dan pelatihan kerja yang intensif dapat membantu meningkatkan keterampilan tenaga kerja domestik sehingga mereka siap menghadapi persaingan global yang semakin keras hari-hari ini.
5.. Fiskal Policy Yang Konsisten:Implementasi fiscal policy yang konsisten dan responsif terhadap perubahan lingkungan ekonomi global sangatlah penting untuk menjaga stabilitas fiskal nasional dan mengoptimalkan alokasi sumberdaya yang ada.
Dengan demikian maka kita dapat menghadapi tantangan-tantangan yang datang dari arah fragmentasi dan proteksionisme dengan lebih optimistis dan siap menghadapi masa depan yang penuh dengan peluang-peluang besar bagi kemajuan bersama-sama sebagai masyarakat dunia yang lebih sejahtera dan damai.