Dibandingkan dengan hak atas tanah lainnya dalam sistem agraria Indonesia, hak sewa tanah memiliki karakteristik yang berbeda. Menurut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, hak-hak ini tidak termasuk dalam kategori hak yang didaftarkan karena sifatnya yang hanya sementara dan tidak memberikan kepemilikan sepenuhnya kepada penyewa. Selain itu, hak sewa tanah tidak dapat digunakan sebagai jaminan utang dengan tanggungan (Perangin, 1986). Selain itu, hak sewa hanya dapat diberikan kepada pihak yang memenuhi syarat, yaitu warga negara Indonesia atau badan hukum yang berbasis di Indonesia. Badan hukum asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki hak sewa atas tanah, tetapi dengan batasan tertentu, menurut Pasal 45 UUPA. Hal ini menunjukkan bahwa hak sewa tanah memungkinkan pengaturan yang fleksibel sambil tetap di bawah pengawasan hukum yang ketat agar pihak yang tidak berhak tidak memanfaatkannya.
Hak sewa tanah di Indonesia bergantung pada kepemilikan tanah oleh negara. Negara memiliki kekuasaan atas tanah, yang berarti negara memiliki wewenang untuk mengelola dan memanfaatkan tanah untuk kepentingan umum dan untuk kemajuan negara. Dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPA disebutkan bahwa negara memiliki hak untuk menguasai kekayaan alam seperti tanah, air, dan air untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, dalam kehidupan nyata, banyak penyimpangan dari ketentuan ini ditemukan. Ini terutama berlaku untuk persewaan tanah negara yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah (PEMDA) (Hardiyanto, 1998). Seringkali, PEMDA menyewakan tanah negara kepada pihak ketiga tanpa memenuhi syarat-syarat hukum, bahkan dengan peraturan daerah yang memberikan izin penggunaan tanah dengan pembayaran tertentu. Namun, tanah negara yang tidak dilekati dengan alas hak tidak boleh disewakan atau diberikan kepada pihak lain menurut UUPA.
Kebingungan di kalangan masyarakat dan pemangku kepentingan disebabkan oleh perbedaan peraturan yang ada mengenai hak sewa tanah ini. Sebaliknya, karena negara hanya memiliki hak untuk menguasai dan mengelola tanah, pasal 44 dan 45 UUPA melarang persewaan tanah negara. Sebaliknya, Peraturan Menteri Agraria No. 15 Tahun 1959 memungkinkan penyewaan tanah negara dalam situasi tertentu. Ketentuan yang lebih fleksibel untuk persewaan tanah negara dimungkinkan oleh ketentuan ini, yang dapat diinterpretasikan secara berbeda oleh berbagai pihak yang berkepentingan (Sutedi, 2007). Untuk mencegah tumpang tindih dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat terkait, diperlukan kejelasan hukum mengenai hak sewa tanah, terutama dalam konteks otonomi daerah. Hal ini sangat penting untuk menjaga stabilitas hukum agraria Indonesia.
Â
Referensi:
Harsono, B. (1983). Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan Peraturan Hukum Tanah). Jakarta: Djambatan.
Hardiyanto, A. (1998). Agenda Land Reform di Indonesia Sekarang. Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bekerja sama dengan INPI-Pact.
Permadi, I. (2016). Kedudukan Hukum Persewaan Tanah Negara. Perspektif Hukum, 16(2), 139-153.
Perangin, E. (1986). Hukum Agraria di Indonesia (Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum). Bandung: Alumni.
Sutedi, A. (2007). Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar Grafika.