"Ceritakan padaku, cara untuk bertahan di atas semua ini...."
Aku menghela nafas, tiba-tiba saja dadaku kembali terasa nyeri, jari-jariku ngilu.
"Tidak."
"Tidak..."
"Aku tidak pernah kuat!"
"Tapi kamu bisa bertahan sejauh ini!" timpalnya lagi.
Mungkin ia tak percaya, melihatku yang masih terlihat tegak dan berlari ribuan kilometer, tanpa tersungkur di kubangan.
"A-aku melakukan banyak hal...untuk menyembuhkan luka. Menetesinya dengan obat penghibur ... menjahitnya dengan harapan palsu ... mengganti perban dustanya secara berkala..."
Aku tahu sudut matanya pasti sudah berkabut di ujung sana. Kalau saja kami bertukar suara, pasti isakan terdengar seperti derasnya hujan yang berdentam.
"Aku tak akan sanggup, jika menjadi dirimu."
"Jangan...jangan kau pindahkan luka ini ke jiwamu. Biarlah kita bersama-sama saling membalutnya. Sampai kering sempurna."
"Apakah semua akan terlupakan?"
"Bukan...ingatan kita tak akan menghapusnya."
Kuteguk segelas kehangatan, demi menguatkan jari-jari ini mengirimkan pesan.
"Ingatan kita hanya akan mendorongnya ke tempat terujung. Sebagai pengingat bahwa kita adalah pejuang."
Sebuah emotikon pelukan terbaca. Emotikon itu sejak lama mengusikku. Wajahnya tersenyum .