Mohon tunggu...
KOMENTAR
Worklife

Siapa Yang 'Mentraktir' Ketika Makan Bersama?

7 April 2021   07:00 Diperbarui: 12 April 2021   17:58 168 2
Ketika kami sesama rekan kerja, makan bersama, sudah jamak diantara kami bergantian untuk membayarkan tagihan makanan.

Entah saat dinas luar, makan pagi atau  siang harian di warung yang jauh dari kantor, atau pada kesempatan lain kami bertemu.

Beberapa kali pindah kantor, berganti rekan kerja, bertemu teman-teman yang berbeda, kebiasaan itu semacam aturan tidak tertulis.

Kebiasaan gantian mbayari makan maksudnya.

Soal mbayari makan segitu saja rasanya ndak perlu dimasukkan kode etik kepegawaian. Ndak rentan dengan praktek gratifikasi, tapi bisa jadi delik kolusi.

Haaahh?! Kolusi apaan?!?!
Ya kolusi untuk mbayari makan temannya, dengan asas pertemanan, keguyuban, solidaritas, dan berbagi.

Kami (terlanjur) percaya, hal itu tidak memberatkan karena setiap kali makan, umumnya, tak lebih dari dua-lima orang.

Yang penting gantian, ya kan?

Sampai suatu ketika saya (sok-sokan) mikir, perlu kode etik ngga sih, traktir-mentraktir begini?
Jangan dibayangkan klausul yang rumit-rumit sampai harus dilaporkan ke KPK atau ke unit Kepatuhan Internal.

Lha wong ini cuma makan bareng teman seseksi, atau teman sekantor, atau teman lama yang baru ketemu lagi.

Yang bikin saya (sedikit) mikir itu, memperhatikan pola sikap teman-teman ini.

Selama ini, kebanyakan rekan kerja saya di satu seksi didominasi laki-laki.

Mungkin sudah pembawaan laki-laki untuk lebih ewuh pakewuh, welas asih, tidak tega atau mbelani rekan kerja perempuan.

Terlebih terhadap saya, yang sering jadi satu-satunya perempuan di kelompok kami, tapi paling mudah lapar. Kemana-mana wajib bawa bekal!

Jadi satu-satunya perempuan di kelompok kerja itu menerbitkan empati lebih bapak-bapak dan mas-mas hingga mereka selalu sigap setiap kami makan rame-rame (baca:rame-rame).

Kadang sendok baru saja saya taruh di piring, mereka sudah 'lari' ke kasir menyodorkan isi dompet.

Bahkan sering, kalau saya bilang,
"Tunggu, jangan buru-buru....,"
Eh, mereka malah gercep (gerak cepat) mengacungkan dompet bahkan kartu debit ke hadapan pramusaji.

Sampai saya tersedak meneguk minuman. Paling sering jus melon atau es jeruk sih. Ndak neko-neko kok (minumnya) .

Padahal, sesekali saya yang mbayar kan ndak papa to?
Masa harga diri mereka akan tercabik dengan begitu?

"Ngga...ngga....udah, pakai ini saja!" seru mereka (berseru beneran ini).

Ternyata dalam perjalanannya, tidak semua (rekan kerja) laki-laki punya pembawaan jiwa ksatria. Ahaaiii!!

Dalam suatu kesempatan, saya dipertemukan juga dengan teman satu kelompok kerja yang rupanya menganut paham berbeda.

Setiap dinas luar, atau saat makan siang bareng, meski isi piring sudah tandas, bahan rasan-rasan sudah habis, kami dikejar waktu untuk melanjutkan perjalanan, doi bergeming.

Bukan cuma sekali dua kali lho ya, bolak-balik kak! Atau terus-terusan selama kami makan bersama.
Sekalipun belum pernah mbayari.

Moso tak tunggu sampai warungnya tutup?

Penasaran, misal saya buka forum diskusi dengan teman-teman sebelumnya yang selalu sigap.

Apa mereka akan mengganggap si fulan ini melanggar kode etik pertemanan kelompok ya?

Selamat mentraktir!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun