Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Reinkarnasi Hantu Paneleh

21 Januari 2014   07:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:38 117 2
Judul: Reinkarnasi Hantu Paneleh
Written: Ain Saga


Pukul dua dini hari, aku terbangun oleh bunyi alarm hape Androidku di atas meja belajar. Rasa kantuk yang dahsyat, membuatku enggan membuka mata. Tapi dering hapeku kian melolong membuat gaduh suasana. Setengah hati, kubangkit menuju benda kesayangan itu. Kuraih, dan tuts, hape kumatikan. Tanpa berpikir rumit, segera kujatuhkan lagi tubuh bongsorku pada spring bed empuk dan mencoba kembali terlelap. Maklumlah, dua hari aku sibuk mencari bahan untuk kelengkapan reportaseku tentang skripsi yang kuusung di semester akhir kuliah jurnalisku. Semua foto yang kuliput, sudah kubundel dalam file khusus. Tinggal editing besok pagi, pikirku setengah ngelindur.

Baru saja, setengah menit mataku terpejam, seperti ada tangan halus menyentuh lenganku. Dingin, kurasakan jemari itu menyentuh kulitku. Tanpa sadar, kutepiskan, sekali, dua kali, ia kembali melakukan hal yang sama, bahkan lebih gila lagi, indera penciumanku kini seperti ditarik-taarik bau busuk menyengat, seperti bau yang sering kuindera di ruang formalin kamar jenasah di rumah sakit tempat aku pernah meliput berita kriminal.

Ah, aku tak kuat lagi untuk tak membuka mataku, tak ada siapa-siapa. Ruang kamarku sepi dan semua tampak normal, tanpa ada tanda-tanda ada orang masuk diam-diam. Aku bangkit sejenak, menuju kulkas dan meneguk Coppucino dingin. Kukitari sudut-sudut kamar dengan mata siaga. Gorden putih bermotif bunga-bunga di dekat ranjangku tampak bergerak tertiup angin. Padahal ruangan kamarku full AC. Aneh, pikirku, meski masih juga tak menyiutkan nyaliku untuk kembali terlelap, kalau saja, hape Androidku mendadak menyala sendiri. Loh, Bukankah telah ku-off-kan sedari tadi? Aku merasa bertindak ceroboh karena tak sempat lagi memastikan hal itu.
Segera kuraih benda berisi semua data hasit riset dan observasiku beberapa hari lalu, serasa menyalakan lagi layar di dalamnya.

“Adam…!” sebuah suara teramat halus seperti berbisik di ujung gendang telingaku. Aku mengernyitkan dahi, mencoba berkonsentrasi, dari mana sumber suara itu.

“Kemarilah, Adam….” Kembali suara halus bernada setengah merintih memaku pikiranku. Kurasakan hawa dingin di belakang tengkukku. Kakiku tiba-tiba seperti terkunci, tak bisa kuberlari apalagi berteriak sekuat daya. Ah, ada apa ini, kenapa kurasakan tubuhku seperti ditarik ke sebuah lorong panjang, terus dan tak berujung. Aku menjerit histeris, tapi suaraku seperti membentur dinding gua nan jauh.

“TIDAKKKKK…!”

kupaksakan berteriak sekali lagi. Berharap ada orang yang mendengar dan menolongku saat itu. Tapi, aku seperti terlempar ke sebuah dataran hijau dan bangunan tinggi menjulang di abad lalu. Aku terjatuh di sebuah makam kuno yang tak kumengerti, apa, dan milik siapa itu?

Sesosok makhluk berlumur darah di mulut dan tangan, segera menjamah tubuhku dengan kasar. Tawanya mendirikan bulu kudukku.

“Akhirnya kutemukan juga engkau, Johan, ha…ha…ha….”

“Sekian abad kucari dirimu, ternyata kau tumbuh besar dan cukup berotot untuk menjadi tumbal para arwah leluhur Paneleh … ha…ha …!” terdengar pekik tawa memekakkan gendang telingaku. Aku terhuyung dalam cengkeraman kuku panjang dan hitam dengan bau anyir tak karuan menyebar ke pusat sarafku. Perutku terasa mual. Kakiku beku tak bisa tergerak lagi. Apakah aku sudah mati? Pikirku setengah pucat pasi. Mata mahkluk serupa drakula dalam film horror yang sering kutonton pun terasa nyata kini. Sorot matanya penuh api. Dendam dan kemarahan. Entah apa yang membuatnya begitu membenciku, dan siapa orang yang ia sebut sebagai Johan? Aku tak punya waktu untuk berpikir wajar, tenagaku bagai terhisap habis dan nyawaku terasa di ujung tanduk.

“Siapa kau? Apa maksudmu memanggilku Johan? Aku Adam, bukan Johan! Paham? Kau salah Tuan!” susah payah kuteriakkan identitasku sebenarnya, meski kepalaku seperti gasing terputar tujuh keliling. Pusing dan nyeri sekali.

Makhluk jelek itu hanya tertawa menyeringai seraya memamerkan dua taring runcing dalam mulutnya. Rambutnya yang hitam tertutup jubah berwarna gelap pula.

Tangan makhluk itu berlumur darah, matanya berkilat merah, menyala bak bara api dari neraka. Suaranya begitu berdentum seperti bom atom dijatuhkan dari atas kepala. Menggetarkan, membuat telingaku sakit bukan main.

“Kau Johan, reinkarnasi pembunuh warga Paneleh abad 1800, hahaha…!”

“Mau mengelak lagi,he?” ejek makhluk jelek rupa itu lagi seraya bersiap mengayunkan pedangnya ke arahku. Aku mundur beberapa langkah. Tubuhku bergetar hebat menahan rasa sakit dari ketakutan yang mulai memenuhi dadaku. Peluh membanjir di pelipis.
Di bawah sinar bulan temaram, angin dingin seakan menjadi saksi kematianku. Detik-detik nahas yang tak pernah kusadari bakal menimpaku dengan penuh tragedi.

Tiba-tiba, hape di saku kemejaku berbunyi. Persis di saat tubuh buruk rupa itu telah menempelkan ujung pedangnya ke urat leherku. Tak kusiakan kesempatan ini. Secepat kilat ku berlari menempuh gundukkan tanah makam, entah di mana itu. Aku tak sempat lagi berpikir. Tapi naluriku seperti meyakinkan aku pernah di sini, berabad lalu, saat jaman penjajahan Hindia Belanda.

Kudengar langkah berat makhluk jelek itu mengejarku lamat-lamat. Jumlah mereka tak hanya satu, melainkan puluhan. Dan aku terus berlari, tak peduli kakiku berdarah, lututku perih menginjak reranting dan kerikil tajam di tanah setengah berbatu itu. Ponselku kembali berdering, aku membuka layar dan, aarrrghhh….kembali tubuhku melayang ke lorong gelap, panjang tanpa bisa kuhindari. Seperti ditarik oleh sosok ghaib kematian.

BUKK!!!

Aku jatuh di sebuah area empuk, wangi dan memabukkan. Sesaat, kubiarkan tubuh lelahku terdiam dan pulas entah untuk berapa lama. Aku terkapar diam! Hingga napas pagi membangunkanku, aku masih masih tak percaya ini sebuah mimpi! Inginnya ini sekedar nightmare belaka.

***
Untuk pertama kalinya mataku basah oleh air mata. Darahku terasa menggigil mengingat kejadian semalam yang antara mimpi dan kenyataan.

Aku terbangun, kusiapkan perlengkapan foto amatirku. Pikiranku, jujur, kusut! Jantungku masih bergolak ngeri membayangkan andai pedang terhunus itu memenggal kepalaku semalam. Kuhela napas berat, sambil memesan secangkir kopi panas. Mungkin dengan meneguk secangkir kopi pikiranku akan sedikit jernih. Arrrghhh!!!!

Baru saja kuingin menyeruput kopi yang terhidang oleh Pramusaji cafe, tiba-tiba berita di televisi menarik perhatianku.

HANTU PANELEH MEMINTA KORBAN LAGI. AREA PEMAKAMAN DIPADATI PUBLIK DENGAN DITEMUKANNYA POTONGAN TUBUH TERPENGGAL DARI KEPALA. POLISI MASIH MENGUSUT PERISTIWA GHAIB TERSEBUT. SEJUMLAH ANJING PELACAK DIKERAHKAN UNTUK MEMBANTU MENGUNGKAP KASUS YANG SUPER LANGKA INI.
KORBAN ITU BERNAMA: ADAM KUSUMA; SEORANG PENELITI MUDA YANG TENGAH MENYELESAIKAN TUGAS KAMPUSNYA DI PEMAKAMAN WINGIT TERSEBUT!

Tiba-tiba tubuhku terasa ringan sekali. Seperti kapas, aku melayang dan tak lagi menapak bumi. Peluh berleleran sekujur tubuh. Entah aku seperti terhisap lagi ke dalam lorong yang panjang, hening dan gelap! Aku mencoba berteriak, namun hanya angin memapahku dalam getir bercampur tangisan. Arrghhh!!

Suara-suara berdentingan dari saku kemejaku. Ah, hape Androidku, tiba-tiba menyala sendiri, lalu jatuh dan … meledak dahsyat. Sesosok bayang mirip aku meluncur masuk ke dalam tubuhku. Aku membeku, bersamaan kulihat begitu banyak orang memadati pemakaman.

BRUKK …!

Kini benar-benar gelap. Hanya kerumunan makhluk aneh mengitariku, mendekat dan terus mendekat. Lalu semua menjadi kabur untukku. Untuk hidup sementaraku. ARRRGGHH …!

SELESAI

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun