Ada yang menarik di pemilu tahun 2014 ini. Hampir seluruh partai membuka diri melalui media massa, baik lokal maupun nasional, baik cetak, audia visual maupun dunia maya, untuk "menawarkan" kursi politiknya kepada seluruh masyarakat. Bahkan partai sebesar PDIP pun ikut dalam promosi kursi politiknya ini. http://news.detik.com/read/2013/01/08/173201/2136513/10/eh-pdip-buka-lowongan-bakal-caleg-2014-nih, apalagi partai yang baru diloloskan oleh KPU tentunya lebih pontang-panting dalam memenuhi daftar Bakal Caleg pemilu 2014 http://www.merdeka.com/politik/lolos-jadi-peserta-pemilu-2014-pbb-buka-039lowongan039-caleg.html.
Kenapa hal ini dilakukan oleh partai-partai tersebut. Dalam analisa sederhana, saya coba sampaikan disini :
1. Kaderisasi telah gagal. Sebagai organisasi politik, apalagi yang sudah mapan sekelas PDIP, harusnya memiliki mekanisme yang otentik atau standar untuk melahirkan calon2 singa legislator. Kegagalan ini bisa bersifat menyeluruh artinya partai memang tidak memiliki program-program kaderisasi atau kegagalan sebagain yatu program kaderisasinya ada tapi kader-kader yang selama ini mengikuti program pembekalan tidak memiliki nilai jual di masyarakat. Sehingga banyak "kutu loncat" dari orang-orang "buangan" dari partai sebelumnya yang dinilai masih memiliki nilai jual di masyarakat dengan bujuk rayunya direkrut menjadi Caleg. Atau dengan cara pintas merekrut orang-orang yang memiliki popularitas tinggi dengan sedikit mengabaikan kapasitas dan intelektualitasnya.
2. Alergi Politik dari masyarakat. Tingkah polah politikus serta doktrin-doktrin negatif seputaran politik telah menjadikan antipati dari masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari semakin tingginya angka "golput" dalam setiap pilkada dan mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh setiap konsestan pemilu.
3. Demokratisasi telah mendorong partai untuk membuka peluang kepada setiap warga negara untuk berperan aktif melalui pemilu anggota dewan. Ini satu alasan "positive thinking' kenapa partai itu perlu menawarkan kursi politiknya secara terbuka kepada khalayak ramai. Hal ini merupakan kesadaran bahwa kader partai tentunya memiliki keterbatasan jumlah serta adanya kader yang memang tulus tidak mau dicalonkan, sehingga wajar bila partai membuka peluang kepada masyakarat.
4. Peraturan yang mendorong obral kursi ini harus dilakukan oleh kontestan pemilu. Ketika suara terbanyak menjadi ukuran keterpilihan calon telah mengeliminir nomor urut calon, mendorong partai mencari orang-orang yang memiliki elektabilitas tinggi. Hal ini menuntut partai untuk menjadikan kadernya lebih layak jual di kalangan eksternal dan perlunya partai memberikan pendidikan politik yang memadai tentang visi dan misi partainya bagi para calon yang memiliki nilai elektabilitas tinggi namun masih "minim" pengalaman politiknya.
Secara umum saya mengatakan bahwa obral kursi politik ini sebagai indikator lemahnya kaderisasi di masing-masing partai serta belum berhasilnya pendidikan politik secara menyeluruh.