Secara sederhana kita bisa mendefenisikan khianat dengan orang yan.g tidak menepati janji setelah dia mengikrarkan janjinya. Defenisi sederhana tersebut membawa kita pada pemahaman yang luas bahwa setiap apapun dan siapapun orangnya yang tidak menepati janji maka dia bisa disebut pengkhianat. Janji itu adalah kesepakatan dua pihak atau lebih. Seseorang tidak akan bisa berjanji sendirian. Adapun ketika berjanji pada diri sendiri itupun pada hakikatnya adalah perjanjian antara jasmani dan rohani. Dalam islampun ketika roh ditiupkan di dalam rahim ibu, kita sudah mulai melakukan perjanjian pertama dengan Allah. Perjanjian manusia dengan Allah itu dinukilkan dalam alqur’an surat al a’araf ayat 172.
“dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Inilah perjanjian pertama setiap pribadi manusia terhadap Allah. Dapat disimpulkan, pada dasarnya setiap manusia sudah melakukan perjanjian, dan berjanji adalah fitrah manusia. Diakhir ayat ini Allah juga menyidir dan memprediksi sifat buruk manusia yang akan menyalahi janji dan mencari pembenaran terhadap pengkhianatannya kepada janji Allah tersebut. Allah mengatakan, “agar dihari kiamat kamu tidak megatakan: “sesungguhya kami bani adam adalah orang yang lengah terhadap hal ini (keesaan Tuhan)”. Maka, mengkhianati janjipun adalah tabiat buruk manusia.
Kita baru berbicara tentang pribadi manusia yang masih murni kemanusiaannya, belum lagi diembel-embeli dengan manusia politik. Rumusnya sangat sederhana, semakin sesesorang mengharapkan sesuatu dari orang lain, semakin banyak seseorang itu berjanji kepada apa yang diharapkannya. Manusia yang tak lagi “utuh” sisi kemanusiaannya karena telah dilabeli dengan manusia politik, tak disangkal lagi akan semakin banyak mengumbar janji. Belum lagi dia menjadi manusia politik, bukankah tadi kita telah sebutkan bahwa fitrah manusia adalah berjanji.?? Akan tetapi yang perlu dan lebih perlu diingat adalah tabiaat buruk manusia juga tidak menepati janji bukan????
Politik tidak pernah salah, karena politik juga sunnatullah. Politik tidak untuk dimusuhi, tetapi harus dimanage dengan baik sehingga tidak terjerumus dalam lubang kenikmatan semu hasil politik. Mungkin kita semua pernah dengar oknum mahasiswa yang mengatasnamakan agama lalu membenci politik. Tanpa sadar terkadang oknum yang mengatasnamakan agama dan cenderung menjadikan dalih agama sebagai komoditas dagangan organisasi dikampus pun secara tidak langsung menjadi alat politik bagi orang yang memanfaatkan mereka. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap keberagamaan mereka dan apa yang mereka yakini, kita harus mengatakan jangan hanya menjadi alat partai politik tertentu. Itulah pentingnya pemahaman yang komprehensif tentang politik. Jangan menelanjangi idealisme dengan membenci politik.
Politik sangat erat kaitannya dengan masalah kekuasaan, kebijakan publik, dan alokasi, serta distribusi. Aristoteles menganggap bahwa politik sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik. Cukup panjang pembahasan para ahli dan pakar tentang definisi politik. Akan tetapi yang jelas penulis memaknai politik adalah seni. Seni untuk mendapatkan sesuatu. Memang ketika memaknai politik sebagai seni pun sifatnya masih multi interpretasi. Tapi dibalik multitafsirnya itulah pemahaman politik sebagai seni itu orang menjadi menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Termasuk seni mengumbar janji, seni berbohong, seni pencitraan, dll.
Orientasi politik yang terfokus pada kekuasaan akan membuat seseorang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan tersebut. Seorang filosof prancis, Albert Camus bersikap sinis terhadap politik kekuasaan, namun memiliki pandangan yang positif terhadap politik sebagai perjuangan. Etika politik dalam pemikiran Camus adalah pengakuan terhadap komitmen perjuangan, keterlibatan tanpa henti, dan ketabahan dalam perjuangan itu. Dari pernyataan Albert Camus yang menganggap etika dalam politik adalah sebuah istiqomah dalam perjuangan, maka penulis mengistilahkan politisi yang melacurkan dirinya demi kekuasaan semata sebagai pengkhianat politik. Seorang pengkhianat politik akan berpolitik dengan cara mengkhianati orang banyak.
Tidak jarang kita temukan politisi kutu loncat yang nomaden dalam jabatannya. Pada awalnya mencalonkan diri menjadi anggota DPRD, lalu terpilih. Belumlah masa jabatannya habis, sudah pindah mencalonkan diri menjadi bupati/walikota. Malahan ada salah satu tokoh yang track recordnya cukup mengkhianati konstituennya. Politisi kutu loncat yang penulis maksudkan, menjadi anggota DPRD selama 7 bulan, lalu menjadi Bupati 16 bulan, setelah itu menjadi anggota DPR RI 2,5 tahun. Dan sekarang dengan dalih bermacam-macam, tanpa rasa malu dia menjadi calon wakil gubernur. Fantastis memang jejak rekam politik pengkhianat ini. Pengkhianat politik yang kita maksudkan disini tidak hanya tentang politisi kutu loncat saja. Politisi yang bermental koruptif, ataupun yang sudah bertitel koruptor, adalah termasuk pengkhianat juga. Karena korupsi bukan saja sebagai extra ordinary crime, tetapi bisa dikategorikan dengan pelanggaram HAM berat (baca: kejahatan kemanusiaan) seperti genosida. Gara-gara korupsi, ribuan masyarakat menjadi kehilangan (baca: terbunuh) haknya. Bukankah ketika dulu waktu merebut simpati konstituennya mereka menjanjikan yang baik-baik.?? Atau adakah politisi yang berani jujur sewaktu kampanye, kalau ketika dia terpilih nanti dia akan korupsi.?? Disanalah letak pegkhianatan yang dilakukannya. Mental dan perilaku koruptif yang dilakukannya membuat konstituennya tersakiti hak-haknya. Seharusnya mereka yang terpilih melakukan yang terbaik untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik untuk DAPIL dan kosntituennya, bukan sebaliknya.
Berdasarkan penelusuran penulis, di dalam alqur’an terdapat 11 ayat yang menggunakan akar kata kha>na-yakhu>nu-khiya>natan. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, ada berbagai cerita menarik untuk kita pelajari dan kita ambil i’tibar. Hal ini merupakan sebagai upaya pembanding untuk mendeskripsikan keadaan para pengkhianat negeri ini. Sebagai contoh perbandingan yang penulis maksud, kita bisa mulai membicarakan surat al anfal ayat 27, “ya> ayyuha> alladzina amanu la takhunu allah wa arrasula wa takhunu amanatikum wa antum ta’lamun”. Ayat ini sangat menarik bagi penulis ketika kita bicara pada titik, pengkhianatan politisi dengan sikap koruptifnya. Kita tentu masih ingat dengan statemen salah satu tokoh yang berasal dari salah satu partai besar, yang mengatakan kalau dirinya terbukti dalam sebuah kasus korupsi, maka dia siap “digantung di monas”. Penulis ‘curiga’, statemen ini terinspirasi dari surat ayat ini. Dalam tafsir Ibnu Katsir kita bisa baca, bahwa ayat ini berkenaan dengan seseorang yang bernama Abu Lubabah bin Abdul Mundzir. Dia diutus oleh Nabi untuk menemui bani Quraizhah, sesampainya di sana, Abu lubabah mengkhianati nabi. Lalu turunlah ayat ini. Abu lubabah sadar dan segera bertaubat dengan cara mengikatkan diri pada sebuah tiang mesjid. Dia bersumpah akan mengikatkan dirinya pada tiang tersebut selamanya dengan tidak makan dan tidak minum sampai dia mati untuk menebus rasa berdosanya karena telah mengkhianati nabi. Lalu Allah mengabulkan taubatnya, dan para sahabat yang lain menyampaikan hal itu kepada Abu Lubabah. Akan tetapi Abu Lubabah tetap tidak mau melepaskan diri dari tiang itu kalau bukan rasulullah yang melepaskannya. Lalu rasulullah melepaskan ikatan itu dan memberi tahu bahwa taubat Abu lubabah telah diterima oleh Allah. Peristiwa pengikatan diri oleh abu lubabah pada sebuah tiang mesjid terbut berlangsung selama 9 hari. Nah, inilah yang penulis maksud dengan ‘kecurigaan’ penulis. Abu Lubabah mengikatkan dirinya tentu karena rasa bersalahnya karena telah mengkhianati Allah, Rasul, dan amanah yang diberikan kepadanya. Lalu apakah tokoh yang penulis maksudkan ini sudah siap-siap mengakui kesalahannya jika saja keterlibatannya terbongkar dengan cara mengikatkan diri di monas sampai rakyat Indonesia memaafkan dan menerima perlakuan koruptifnya.? Wallahu a’lam. Yang jelas dalam ayat ini berbicara tentang larangan melakukan pengkhianatan. Jabatan dan kekuasaan adalah amanah rakyat, maka salah dalam menggunakan amanah tersebut adalah bentuk pengkhianatan yang akan dibalasi oleh Allah.
Perbuatan khianat secara terang-terangan (politik nomaden jabatan) dan perbuatan khianat secara sembunyi-sembunyi (bersikap koruptif), substansinya tetap sama. Substansi dari kedua bentuk pengkhianatan itu adalah melanggar janji dan tidak menjalankan apa yang dikatakannya. Penulis ingin mengingatkan dengan bersandar kepada surat al hajj ayat 38, “innallaha la yuhibbu kulla khawwani kafur”, sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat khianat dan kafir. Penegasan khianat dalam ayat ini adalah, orang yang berbuat khianat dalam perjanjian dan tidak menunaikan apa yang dia katakan. Sedangkan kafir yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah pengingkaran terhadap berbagai nikmat dengan tidak menggunakannya sebagaimana mestinya.
Kondisi ril wajah perpolitikan yang kita temui adalah, musim kampanye adalah musim seni mengumbar janji. Janji yang diucapkan para politisi yang ingin merebut hati konstituennya adalah sebuah komitmen yang terikat dengan sebuah nilai. Setelah mereka mendapatkan jabatan yang diinginkannya, sangat sedikit sekali yang bisa menunaikan amanah jabatannya dengan baik, dan menunaikan amanah yang diberikan oleh konstituennya. Dengan arti kata, politisi semacam itu telah kafir karena telah mengingkari dan tidak menggunakan nikmat jabatan yang telah diamanahkan kepadanya (bukan pemahaman kafir secara sempit). Memang perbuatan khianat yang dilakukan terhadap konstituen tersebut tidak punya sanksi secara konstitusi. Akan tetapi perbuatan itu telah melanggar sebuah nilai yang dibangun (trust), dan sanksi nyata yang akan diterima adalah sanksi moral dan sanksi sosial.
Ketika dalam satu waktu, seorang telah melakukan pengkhianatan politik, baik dengan nomaden kekuasaan, ataupun dengan perbuatan koruptif yang dilakukannya, maka rusaklah kredibilitasnya karena sanksi moral. Namun apabila perbuatan khianat itu dilakukan berulang-ulang, sangat tercelalah bagi kita sebagai rakyat untuk kembali mempercayainya. Sangat lebih tercela lagi adalah menjadi pendukung dan pembela pengkhianat tersebut (ingat: anggota DPRD 7 bulan, Bupati 16 bulan, DPR RI 2,5 tahun.!!!). Celaan terhadap orang yang membela pengkhianat yang terbukti berulang-ulang melakukan perbuatan itu bisa kita baca dalam surat an nisa’ ayat 107. Kata-kata khawwanan atsima, artinya berulang-ulangnya pengkhianatan dan dosa yang dilakukan. Sedangkan yakhta>nu>na artinya orang yang sengaja dan tekun serta terus menerus mengkhianati dirinya. Pada hakikatnya, mengkhianati orang lain sama dengan mengkhianati diri sendiri. Walau serapat apapun perbuatan khianat itu dilakukan, namun Allah mengetahui semuanya, ya’lamu kha>>>>>>>inati al a’yuni wa ma> tukhfi as sudhur (surat mukmin ayat 19). Setiap pengkhianat akan terbongkar pengkhianatannya, kenyataan mengajarkan kepada kita, biasanya yang paling pertama meninggalkan pengkhianat ketika hampir terbukti pengkhianatannya, adalah bekas pembela-pembela pengkhianat tersebut (ingat peristiwa jatuhnya raja ORBA).
Penting rasanya untuk membuat sebuah konsensus nasional yang benar-benar mengatur etika politik secara esensial dan sarat nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat. Akan tetapi banyak pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun." "Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?
Kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan? Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus konstitusional", menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja. (wallahu a’lam).