Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Kepedulian Masyarakat: Modal Sosial dan Solusi Penanganan Bencana

11 Oktober 2010   06:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:32 360 0
ADA tiga kata kunci yang wajib hadir dalam formula penanganan bencana. Ketiganya menjadi jaminan atas keberhasilan dalam menangani bencana apapun. Tiga kata kunci itu adalah: Cepat, Total dan Tuntas. Jika setiap pihak yang terlibat dalam upaya menangani bencana melandaskan aktivitasnya pada tiga hal tersebut, niscaya para korban bencana dapat segera diselamatkan dan dipulihkan.
Kendati begitu, faktor-faktor yang menjadi landasan formula penanganan bencana yang cepat, total, dan tuntas merupakan keniscayaan atau konsekuensi dari dua hal ideal. Pertama, ketepatan memahami paradigma bencana dan penanganannya. Kedua ketepatan dalam strategi penanganan bencana.

Mari kita cermati paradigma yang pertama, yakni Paradigma Ideologi Bencana dan Penanganannya. Dalam sudut pandang ini, kita tidak bisa melepaskan kaitan antara bencana dan negara.

Bencana, apapun jenisnya, harus diletakkan dalam perspektif kenegaraan. Bencana dan penanganannya merupakan persoalan bangsa dan negara. Sebab, risiko bencana dalam skala besar, pastilah memiliki ”dampak sistemik” yang bisa mengancam eksisitensi bangsa dan negara.

Paradigma ini juga menempatkan bencana sebagai ancaman langsung terhadap kehidupan masyarakat dan rakyat secara luas. Padahal, inti dari fungsi manajemen negara adalah menjaga eksistensi rakyat, menjaga kesejahtraan masyarakat. Maka, sudah selayaknya jika upaya menangani bencana harus menjadi ukuran harga diri dan martabat negara. Artinya, sukses tidaknya menangani bencana menjadi ukuran kinerja manajemen negara.

Di sisi lain, setiap bencana memiliki nilai dan esensi yang membawa berjuta hikmah di dalamnya. Bencana adalah peristiwa kemanusiaan. Sebab, bencana menyebabkan risiko kemanusiaan yang luar biasa. Namun, bencana sekaligus juga sebagai anugerah kemanusiaan. Sebab, bencana juga bisa membangkitkan rasa kemanusiaan manusia, membangkitkan fitrah kemanusiaan, dan menjadi momentum bersatunya manusia.

Bencana juga merupakan modal sosial yang luar biasa. Ia mampu menggelorakan solidaritas kemanusiaan secara spontan, massive dan menerobos semua sekat  yang tak tertandingi oleh peristiwa apapun. Tak ada momentum sehebat bencana yang mampu menggelorakan dan membangkitkan kepedulian.

Dengan demikian, secara hakikiah, bencana sesungguhnya merupakan  stimulan Ilahiyah. Stimulasi yang diberikan Tuhan yang Maha Esa agar manusia memiliki momentum untuk bangkit menjadi kuat. ?Tugas kita adalah meresponsnya dengan baik, amanah, jujur dan  profesional. Hasil akhirnya adalah keseimbangan dan harmoni. Keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya dan keseimbangan hubungan manusia dengan manusia lainya. Memang selalu ada hikmah di balik musibah.

Sekarang mari kita cermati paradigma kedua, yakni Paradigma Strategi Penanganan Bencana. Dalam perspektif manajemen, menangani bencana adalah sebuah disiplin manajemen. Menangani bencana adalah sebuah rangkaian aktivitas berkesinambungan di atas perencanaan, pengorganisasian dan pengembangan strategis dalam koridor TDM (Total Disaster Management).  Maka, konten dan lingkup penanganan bencana haruslah terintegerasi, mulai dari manajemen  pencegahan sampai manajemen rekontruksi.

Secara komprehensif, lingkup manajemen penanganan bencana mencakup aktivitas pencegahan, mitigasi, perencanaan kesiapsiagaan, emergency, rehabilitasi, dan rekontruksi. Dengan demikian, menangani bencana bukanlah sekadar kegiatan teknis, seremonial, dan parsial.

Di sisi lain, masyarakat adalah inti pertahanan dan subjek utama penanganan bencana. Kita tak bisa memandang masyarakat sekadar sebagai kelompok rentan risiko. Meskipun secara objektif mereka memang rentan risiko bencana lantaran kemiskinan dan kebodohan struktural masyarakat kita secara umum, pada kenyataanya harus diakui bahwa masyarakatlah pahlawan sesungguhnya dalam penanganan bencana. Bukan yang lain. Bukan pula pemerintah.

Kepedulian masyarakat secara umum adalah sumber energi dan modal sosial yang besar artinya untuk mendukung penanganan bencana. Untuk itu, perlu gerakan edukasi kepedulian masyarakat secara lebih serius: terkonsep, intensif dan memiliki target yang terukur. Jika ini kita lakukan, percayalah, hasilnya akan  mampu mewujudkan kepedulian menjadi kultur masyarakat. Kepedulian akan menjadi sistem jaminan sosial masyarakat. Kepedulian bisa  menjadi solusi atas berbagai persoalan sosial kemanusiaan, termasuk bencana. Bahkan, kepedulian akan melahirkan sebuah peradaban baru.

Masyarakat, baik masyarakat secara umum maupun  masyarakat lokal (local society) korban bencana secara khusus, sesungguhnya merupakan  inti  pertahanan bencana. Ancaman bencana sesungguhnya mirip dengan serangan musuh terhadap bangsa dan negara. Maka secara alamiah, sistem pertahanan terbaik adalah sistem pertahanan masyarakat semesta. Jadi, masyarakat adalah subjek utama penanganan bencana.

Secara ideal, masyarakat seharusnya menjadi sumberdaya utama penanganan bencana, pihak lainya termasuk pemerintah sebagai support (regulator). Sedang pemerintah mesti memiliki peran untuk mengkoridori dan mendorong  agar  masyarakat bisa menjadi subjek utama penanganan bencana. Bukan menempatkanya sebagai objek. Formula penanganan bencana secara cepat, total, dan tuntas hanya mungkin diwujudkan jika masyakarat mampu menjadi subjek.

Sayangnya, upaya menuju ke arah itu masih menghadapi sejumlah kendala. Kendala pertama adalah kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat. Pengetahuan yang minim tentang bencana dan penanganannya juga menjadi persoalan tersendiri. Begitu pula dengan budaya masyarakat  (pasrah, nrimo, mudah puas dan mental inferior).

Di sisi lain, frekuensi bencana juga menjadi kendala. Sejumlah wilayah menjadi langganan beragam jenis bencana (banjir bencana). Meski sangat mungkin masyarakat mampu membangun rumah tahan gempa, namun tak selalu bangunan tersebut tahan bencana lainya seperti banjir dan kebakaran.

Sementara itu, menangani bencana di negeri ini ibarat menegakkan benang basah. Bagai menggarami lautan. Kekuatan yang menciptakan bencana lebih banyak dan lebih hebat daripada yang berupaya mengatasinya. Ego sektoral dalam penanganan bencana juga masih teramat kuat.
Banyak pendekatan program penanganan bencana yang menempatkan masyarakat lokal sebagai objek belaka. Parahnya, pendekatan proyek juga digunakan dalam penanganan bencana. Sejumlah pihak juga mempolitisasi bencana. Menjadikan penanganan bencana sekadar gerakan seremoni. Sekadar pentas pameran kebajikan.

Banyak pula model implementasi proram yang secara tidak langsung menciptakan ketergantungan masyarakat. Sebagian kebijakan penanganan juga kurang tepat, tidak bervisi kemanusiaan, tidak produktif sehingga menyakiti perasaan masyarakat. Belum lagi soal penyalahgunaan hak-hak korban  bencana (misalnya, korupsi dana bencana).

Program penanganan bencana, semestinya memenuhi sejumlah kriteria. Ia harus strategis. Bukan sekadar bagi-bagi sembako. Bukan pula sekadar aksi emergency karitatif.

Program penanganan bencana seharusnya berorientasi kemandirian masyarakat. Maka, ia harus mampu menstimulans berbagai pihak untuk terlibat. Manfaatnya juga harus berdampak massal, memiliki multiplier effect dan berkesinambungan. Di sisi lain, program penanganan bencana juga harus unik dan merupakan terobosan baru. Di samping juga menyesuaikan dengan kearifan dan potensi lokal.

Untuk itu, penanganan bencana harus ditangani dalam persfektif manajemen. Berbasis perencanaan strategis dan pengelolaan secara reguler. Karena program penanganan bencana pada dasarnya merupakan program milik masyarakat dan kebutuhan  masyarakat, maka masyarakat harus dilibatkan secara total, mulai dari tahap perencanaan program  hingga implementasi dan pengembangannya.

Terhadap masyarakat korban bencana, gunakanlah komunikasi persuasif. Jangan menggurui masyarakat, tetapi kembangkanlah model pendampingan. Yang tak kalah penting adalah mengembangkan budaya kerelawanan masyarakat. Dengan demikian, resources program penanganan bencana bisa menggerakan unsur relawan. Pola hubungan dengan masyarakat pun bukan lagi hubungan subjek dan objek.

Maka, kelembagaan penanganan bencana bisa dihadirkan pada tingkat komunitas masyarakat. Pendidikan kebencanaan juga bisa diimplementasikan sampai pada level komunitas masyarakat. Untuk itu, sinergi antar pihak terkait harus dijalin. Sebab menangani bencana memerlukan kekuatan kebersamaan.

Bencana adalah stimulan dan pesan ilahiyah agar kita bertakwa. Meresponsnya dengan cepat dan profesional adalah amal saleh kita.  Jika bencana adalah tantangan, maka tantangan  sesungguhnya adalah modal besar agar kita bangkit menjadi kuat. Kekuatan dan ketangguhan masyarakat dan bangsa ini menghadapi bencana adalah peluang besar untuk menjadikan bangsa kita sebagai bangsa besar, kuat, mandiri, dan terhormat. Sesunguhnya Allah SWT lebih mencintai  hamba dan bangsa yang lebih kuat.(ahy)

Tulisan ini juga dapat dibaca di http://act.or.id/reflaction/detail/43/Kepedulian.Masyarakat,.Modal.Sosial.dan.Solusi.Penanganan.Bencana

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun