Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Kenaikan PPN menjadi 12%: Sebuah langkah tepat atau Beban tambahan?

26 Desember 2024   16:25 Diperbarui: 30 Desember 2024   16:03 93 0
Pemerintah Indonesia secara resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12%. Langkah ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kenaikan tarif ini tentu mengundang berbagai reaksi, baik pro maupun kontra, dari masyarakat. Namun, pertanyaannya adalah: apakah kebijakan ini tepat diimplementasikan saat ini?
Kenaikan PPN dianggap sebagai langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara. Pendapatan pajak merupakan salah satu sumber utama pembiayaan negara, khususnya dalam pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik. Pasca pandemi COVID-19, pemerintah membutuhkan dana besar untuk menutup defisit anggaran yang sempat melonjak akibat penurunan pendapatan dan peningkatan belanja negara. Dalam konteks ini, kenaikan PPN dipandang sebagai salah satu solusi untuk memperbaiki kondisi fiskal negara.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan ini menambah beban bagi masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah. Kenaikan PPN secara langsung memengaruhi harga barang dan jasa yang digunakan sehari-hari. Barang kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, hingga layanan kesehatan akan mengalami peningkatan harga, meskipun beberapa barang strategis tetap dikecualikan dari PPN. Dengan inflasi yang cenderung meningkat, daya beli masyarakat kemungkinan akan tertekan, terutama bagi mereka yang pendapatannya terbatas.
Pemerintah beralasan bahwa kenaikan PPN ini tetap mempertimbangkan prinsip keadilan. PPN tidak hanya menyasar konsumsi barang kebutuhan sehari-hari, tetapi juga barang mewah yang dikonsumsi oleh kelompok ekonomi atas. Selain itu, beberapa jenis barang dan jasa, seperti kebutuhan pokok, layanan pendidikan, serta layanan kesehatan, masih dibebaskan dari PPN. Langkah ini diharapkan dapat meminimalkan dampak negatif terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan.
Meskipun demikian, terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi pemerintah. Pertama, efektivitas pemungutan pajak. Tingkat kepatuhan pajak di Indonesia masih rendah, sehingga potensi kebocoran pajak cukup besar. Kedua, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Jika kenaikan tarif PPN ini tidak diiringi dengan peningkatan kualitas layanan publik, masyarakat akan merasa dirugikan. Ketiga, risiko terhadap pertumbuhan ekonomi. Konsumsi rumah tangga merupakan salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, dan kenaikan PPN dapat melemahkan sektor ini.
Sebagai alternatif, pemerintah dapat lebih fokus pada perluasan basis pajak daripada hanya menaikkan tarif. Masih banyak sektor informal dan individu berpenghasilan tinggi yang belum sepenuhnya terjangkau oleh sistem perpajakan. Selain itu, pemerintah juga harus lebih transparan dalam penggunaan dana pajak, sehingga masyarakat dapat melihat dampak positif langsung dari kontribusi mereka.
Kenaikan PPN menjadi 12% adalah kebijakan yang membawa konsekuensi besar, baik dari segi penerimaan negara maupun beban masyarakat. Langkah ini mungkin diperlukan dalam rangka memperbaiki kondisi fiskal, tetapi pemerintah harus memastikan bahwa dampak negatifnya dapat diminimalkan. Transparansi, peningkatan efisiensi, serta keberpihakan kepada kelompok rentan harus menjadi prioritas agar kebijakan ini tidak hanya dianggap sebagai beban tambahan, tetapi juga investasi jangka panjang bagi kesejahteraan bersama.
Apakah kenaikan ini langkah tepat atau justru beban tambahan? Jawabannya bergantung pada bagaimana pemerintah menjalankan kebijakan ini secara adil dan efektif.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun