Gaya berpolitik ini bertujuan mendapatkan serta menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Dalam kilasan sejarahnya, seperti yang dikatakan Saptamanji (2013), politik adu domba merupakan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad 15 (Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis). Bangsa-bangsa tersebut melakukan ekspansi dan penaklukan untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam, terutama di wilayah tropis. Seiring dengan waktu, metode penaklukan mereka mengalami perkembangan, sehingga politik pecah belah tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun lebih menjadi strategi politik.
Kemudian jika gaya politik ini diadopsi desa, dalam konetstasi Pemilihan Kuwu (selanjutnya pilwu) seperti apa? apakah akan menjadikan masyarakat yang terpecah juga atau malah semacam kontra-kultura sebab kekuatan yang dalam nilai kebersamaan yang telah di bangun sejak sedemikian lama tidak mudah runtuh begitu saja, dan sudah barang tentu jawabannya variatif.
Pada saat pilwu berlangsung, terutama sekali pada kurun waktu kiwari, media sosial menjadi senjata ampuh dalam melakukan agitasi hingga hegemoni dalam mendulang massa, memperkeruh suasana serta memecah belah sebuah tatanan masyarakat yang telah terbangung sejak sedemikian lamanya.
Jika politik ini diterapkan pada konteks pilwu maka skema adu domba yang terbangun ialah mengadu antar Rw, Rt, Kelompok, Pemuda, antar keluarga bahkan dalam satu keluarga yang memang rentan terhadap kesadaran politik yang terlanjur terdikotomikan. Sehingga dalam pilwu yang ruang lingkup serta atmosfirnya lebih terasa daripada kontestasi-kontestasi lainnya akan berimpack pada citra desa itu sendiri dengan mengingat bahwa desa saat ini sedang menjadi target pasar dalam skala globalnya.Â