Desa sebagaimana di imajinasikan juga tidak luput dari hal magis, seperti penggunaan kata dukun dan orang pintar yang sudah akrab di telinga yang mengindikasikan bahwa itu sudah sebegitu familiar dengan masyarakat desa, terlepas dari soal apakah yang di gunakannya itu ilmu hitam atau putih yang di gunakan dalam setiap 'aksinya', alih-alih menggunakan eufimisme 'penasehat spiritual' maka dukun tetaplah dukun.
Lalu dalam momen-momen tertentu jasa dukun juga digunakan, sering bahkan meningkat levelnya pada sebuah keharusan menggunakan jasa 'orang pintar' tersebut. Sebagaimana dalam pilkades yang begitu lazim dengan kata dukun, seperti satu kesatuan yang terintegrasi.
Bias terjadi ketika para calon kepala desa di rumahnya mengadakan pengajian al-qur'an secara rutin, setiap malam, namun di tempat lain ia juga menggunakan jasa dukun yang, tidak sedikit masyarakat menolak akan ajaran perdukunan tersebut. Pada momen pilkades yang sudah mengakar bahkan menjadi semacam tradisi.Â