Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature

Abrasi Akibat Perubahan Iklim yang Ancam Pendidikan Anak di Kabupaten Batu Bara

1 Agustus 2023   16:21 Diperbarui: 1 Agustus 2023   16:31 327 0
"Indonesia merdeka tahun berapa anak- anak?," suara tanya itu lantang terdengar keluar terbawa tiupan angin kala Hayati menjalankan aktifitasnya sebagai guru di SD Negeri 16 Desa Bandar Rahmat, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara, Provinsi Sumatera Utara.

Hayati adalah salah satu guru di Desa Bandar Rahmat, merupakan Sekolah Dasar satu satunya di dusun V dan VI Desa Bandar Rahmat yang letak geografisnya berada di pesisir selat Malaka.

Sejak puluhan tahun Hayati mengajar dan hapal betul mengenai desa Bandar Rahmat yang sering dilanda banjir rob.

Ia ingat kala pertama kali mengajar sebagai guru Aparatur Sipil Negara (ASN) tepatnya pada tahun 1994, saat itu Hayati menceritakan, jarak bibir pantai dengan lokasi sekolahnya sangat jauh berkisar ratusan meter.

Setiap memperingati hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus bersama guru lainnya, sekolah mengadakan perlombaan di bibir pantai yang diikuti para murid di SD Negeri 16 Desa Bandar Rahmat.

Di dalam ingatannya, Desa Bandar Rahmat memiliki bibir pantai pasir putih membentang luas disertai barisan pohon bakau.

Namun dari tahun ke tahun kondisi itu berubah, tidak dapat dirasakan lagi karena terjadi pengikisan garis pantai yang semakin meluas ke daratan akibat gelombang pasang surut air laut dan banjir rob membuat bibir pantai hilang.

Pada tahun 2019 akses jalan darat satu satunya di Desa Bandar Rahmat terputus, saat hendak mengajar Hayati bersama guru lain harus berjalan dengan jarak 1 kilometer menuju sekolah. Bahkan tiap kali banjir rob datang, sekolah SD Negeri 16 ini terendam banjir mencapai ketinggian 15 hingga 30 sentimeter. Akibatnya aktifitas belajar mengajar pun terhambat.

"Kalau jalan itu uda tidak bisa lagi dilalui dengan kendaraan jadi terpaksalah kami jalan kaki 1 kilometer, sepeda motor kami tinggal lah di perbatasan jalan bagus. Kalau banjir rob, air masuk ke sekolah, masuk ke dalam kelas, masuk ke kantor. Lumpur-lumpurnya pun masuk, tiga hari barulah kering itu pun tunggu surut kami bersihkan dulu sama murid-murid. Kalau belajar ya terhambat," Kata Hayati sembari menatap murid-muridnya yang saat itu sedang istirahat jam belajar, Sabtu (27/05/2023).

Hayati yang puluhan tahun mengabdi sebagai guru di Desa Bandar Rahmat ini mengaku bangunan dan fasilitas di sekolahnya kurang memadai, sehingga para murid harus rela berbagi kelas. Selain itu fenomena banjir rob disertai angin kencang juga memperparah kondisi bangunan sekolah.

"Yang hancur itu dulunya Taman Kanak-Kanak (TK) sekarang tidak digunakan lagi cuma kami kan kekurang kelas, kekurangan ruangan. Kelas itu ada 1 sampai 6, ruangan hanya ada 3 jadi kalau itu bagus bisa dimanfaatkan tapi karena tidak ada renovasi terpaksa kami gabung perkelasnya. Hancur, inilah karena banjir rob ini, apalagi nanti kalau angin itu kencang habislah seng-seng itu berterbangan, itukan karena angin makanya hancur gitu," terang Hayati.


Putra warga desa Bandar Rahmat yang kesehariannya sebagai nelayan menceritakan hal yang sama bagaimana dulunya kondisi bibir pantai jauh dari permukiman warga. Menurutnya gelombang pasang air laut dan tiupan angin barat  mengakibatkan abrasi.

Lanjut Putra, tiap air pasang maupun banjir rob melanda juga turut menggangu aktifitas warga di desanya. Sementara anak-anak  memilih untuk tidak bersekolah.

"Pantai ini dulu jauh ke depan, semakin hari tiupan angin barat itu mengikis lalu abrasi hancurlah ini akses jalan masyarakat. Kalau banjir anak-anak disini enggak mau sekolah, nunggu air surutlah, guru guru juga gitu. Kalau banjir rob di jalan putus itu bisa sepinggang kalau anak-anak tenggelam. Kalau mendesak misalkan sakit ataupun kemalangan nunggu surutlah, kalau mau cepat naik sampan tambanglah," ucap Putra.

Banjir rob nyatanya mengkhawatirkan para warga tidak terkecuali Putra, saat banjir melanda dirinya merasa was-was akan keselamatan anaknya.

"Yang namanya anak-anak kalau banjir itu kegembiraan untuk dia, kekhawatiran untuk kita," terangnya.

Banjir rob nyatanya menjadi persoalan serius  yang sampai kini belum ada solusinya, meski  upaya membangun tanggul untuk menghalangi banjir rob masuk ke permukiman warga dan sekolah, namun upaya itu belum maksimal.


Banjir berkepanjangan jelas menggangu hajat hidup warga desa Bandar Rahmat, kondisi rata rata penduduk yang merupakan kalangan menengah ke bawah, makin terpuruk karena lingkungan yang kurang sehat. Akibatnya, kerap ditemui anak-anak yang menderita sakit kulit, demam malaria dan ada juga kasus anak stunting akibat kurang gizi seimbang.

Sementara itu pengikisan bibir pantai disebabkan oleh tenaga gelombang laut arus laut dan pasang surut yang terjadi setiap hari.

Dari data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) maritim Belawan mencatat pada periode April-Mei 2023, banjir rob setidaknya telah menerjang kawasan pesisir pantai Sumatera Utara lebih dari sekali.

Banjir rob mulai menggenangi permukiman masyarakat sejak pukul 11.00 WIB dan surut sekitar pukul 16.00 WIB dengan ketinggian air mencapai 30-50 sentimeter.

"Abrasi proses pengikisan pantai yang disebabkan tenaga gelombang laut, arus laut dan pasang surut yang terjadi setiap hari. Korelasi antara prubahan iklim dan abrasi, dengan naiknya ketinggian air muka laut, jadi setiap tahunnya air muka laut itu bisa saja semakin tinggi karena adanya pemanasan global. Nah itu juga berdampak terhadap garis pantai yang semakin lama semakin terkikis," Kata Margaretha Roselini Simanjuntak, prakirawan BMKG Maritim Belawan.

Desa Bandar Rahmat bukan satu satunya wilayah pesisir yang terus menerus dihajar abrasi. Berdasarkan jurnal studi pemetaan indeks kerentanan pesisir terhadap perubahan iklim menunjukkan, bahwa pengikisan daratan juga terjadi di 7 wilayah pesisir pantai sepanjang Sumatera Barat diantaranya Kabupaten Pasaman Barat, Agam, Padang Pariaman, kota Pariaman, kota Padang, Pesisir Selatan, Pulau Sipora dan Kabupaten Mentawai.

Sejak 2012, pusat penelitian Sumber Daya Laut Pesisir Balitbang Perikanan dan Kelautan sudah menemukan korelasi antara perubahan iklim dan ketinggian air muka laut.

Peneliti kehutanan dari Universitas Sumatera Utara (USU), Onrizal mengatakan beberapa faktor mendorong tingginya pasang air laut, antara lain disebabkan perubahan tutupan lahan seperti hilangnya lahan bakau yang penting sebagai penahan ombak.

Faktor lain adalah perubahan iklim yang menyebabkan suhu bumi semakin panas, membuat bongkahan es di kutub mencair, sehingga volume air laut semakin tinggi. Akibatnya air laut yang bertambah menyebabkan abrasi, bahkan mengancam pulau tenggelam.

"Ini amat sangat penting bagaimana kita mencegahnya, bagaimana mitigasi atau bisa juga adaptasi. Ini double ya, bisa akibat penurunan tanah bisa juga naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun