“Bapak, bapak, mana bapak?” teriak perempuan tua itu sambik mencambak rambutnya sendiri.
“Tenang mbakyu, suamimu sedang dalam perjalanan pulang. Tadi Wasis segera menjemputnya ketika tahu kabar ini. Sekarang, mari masuk.” Rangkul perempuan disampingnya membawa balik ke rumah.
Suara riuh berbisik terdengar dari rumah yang dimasuki dua perempuan itu. Di dalam rumah, dua perempuan itu disambut isak tangis perempuan-perempuan lain. “sabar mbakyu, banyak-banyak istigfar saja.” Perempuan lain berkata mer-angkul pundaknya.
Sesaat, suara gaduh terdengar di luar rumah. “Oalaah, kenapa lama sekali kalian. Cepat masuk, anakmu….” Nada suara khawatir terdengar dari Pak Gino.
Lelaki yang disapa pak Gino bukannya langsung masuk rumah, melainkan seperti hendak mengitari rumahnya menuju ke kamar mandi belakang.
Sementara di ruang tengah rumah, melingkar beberapa ibu duduk tepekur dan terisak. Di tengah lingkaran, tergeletak bayi telanjang tak bergerak.
“Bune, sudah berapa lama anakku begini” kemunculan lelaki itu menggagetkan seluruh ruangan. Dari wajahnya, berlelehan air wudhu bercampur keringat. Wanita yang disapa ingin menubruknya. Bukannya menyambut, ia malah beringsut maju mendekati pusat lingkaran. Tangannya mengambil sesuatu dari saku celana kerja. Tak lama, ia duduk bersila disusul suara nyaring yang keluar dari mulutnya. Tak sekedar suara, gumamannya membentuk lantunan ayat-ayat suci. Waktupun berselang seiring selesainya alunan surah delapan puluh enam itu. Seakan tak mau menyerah pada ketentuan takdir, tangannya mengusap lembut wajah mungil di depannya.
“oooee, oooee…..”
Tujuh Tahun
“Amit-amit jabang bayi”. Suara itu berasal dari ibu hamil yang sedang ber-gerombol bersama ibu-ibu lainnya. Belum selesai ibu hamil itu mengusap-usap perut buncitnya, kutimpuk dia dan lekas berlari. Tanpa menengok ke belakang, aku mendengar suara dari jauh.
“Dasar juliiiiing….!!!”
Sepuluh Tahun
Gubrak.
“ayoo, ayoo….”. Teman-temanku berteriak. Dengan hati kecut dan muka ber-simbah air mata, aku nekad berlari mengejar teman yang mengejekku. Walau Rudi sudah berhasil meraih gagang pintu kelas, tanganku sudah lebih dulu meraup mukanya dan reflek meninggalkan tanda goresan di pipi.
“adooouw, buuk”. Rupanya Rudi secepat kilat membalas perlakuanku. Aku jatuh terjengkang. Tak hanya sekali, pukulan susulan menibani tubuhku. Aku berlindung pada mewekku. Bukannya menolong, aku malah jadi pusat perhatian dan lingkaran teman-teman, sembari mengeluarkan koor.
“ayoo, ayoo….”.
(bersambung)