Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Konservasi Pasar Tradisional

14 Januari 2011   04:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:36 839 0
Belanja. Dimanakah kita paling sering berbelanja? Apakah di pasar tradisional atau di mall? Pertanyaan ini paling mudah dijawab oleh kaum wanita, bagi wanita karir yang sibuk mungkin akan memilih mall sebagai tempat berbelanja dengan alasan nyaman, fasilitas lengkap, dan praktis tidak perlu tawar menawar, namun bagi ibu rumah tangga tentu akan memilih pasar tradisional karena harganya murah, masih bisa ditawar, suasana yang ramai memberi semangat ketika berbelanja.

Eksistensi pasar tradisional sudah menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari kehidupan masyarakat perkotaan. Pasar tradisional merupakan warisan budaya bangsa, tempat berlangsung aktivitas jual-beli yang kaya nilai-nilai lokal, seperti keramahan masyarakat dalam bertegur sapa ramainya suasana tawar menawar untuk mencapai kesepakatan harga, sehingga kita rasakan interaksi manusia lebih hidup ketika berada didalamnya. Namun, berkembangnya sebuah kota yang hanya dilandasi kepentingan ekonomi, membawa arah pembangunan yang mekanistis dan kota menjadi tidak manusiawi, imbasnya terlihat pada pengelolaan pasar tradisional yang semakin terpinggirkan oleh pasar modern, perdagangan hanya sekedar menjadi tempat jual-beli, dan kita terjebak dalam modernisasi yang mematikan budaya lokal.

Digusur Mall

Sebuah referensi menjelaskan bahwa dalam membangun pusat perdagangan pada kota yang dipengaruhi oleh paham sosialis seperti pada kota Lyon (Perancis) sangat berbeda dengan kasus kota-kota Asia, Lyon merupakan ibukota dari Region Rhone Alpes-sebuah wilayah yang cukup kaya di Perancis namun hanya sebuah mall yang dibangun, bukan karena tidak mampu, melainkan mereka menolak mewujudkan mall yang kapitalis dan eksklusif, mereka tetap mempertahankan prinsip egaliter dan solidaritas dalam pembangunannya. Sementara itu, pembangunan mall pada kota-kota di Indonesia terlalu boros dan tidak sesuai kebutuhan, ini menandakan kegagalan pemerintah kita dalam mewujudkan ruang publik yang dapat memenuhi tujuan sosial dan lingkungan. Ketika pasar tradisional dikonversi menjadi pasar modern berupa mall, maka pasar tersebut seperti membentuk kelas baru, tidak semua kalangan masyarakat bisa mengaksesnya.

Kebijakan pengelolaan pasar tradisional di beberapa kota tidak sepenuhnya menuntaskan masalah ini. Di Surabaya misalnya, setelah dilakukan penertiban pasar Keputran, masih ada pedagang yang kembali berjualan di pedestrian jalan, muncul aksi protes sebagai bentuk ketidakpuasan pada kebijakan penertiban yang sangat merugikan pedagang, banyak pedagang belum tahu kemana ia bisa berjualan dan kembali mendapat pelanggan, kalaupun dipindahkan ke pasar Osowilangun pembeli tidak sebanyak seperti di Keputran. Kemudian pada kasus pembangunan pasar Turi setelah terbakar, sampai saat ini masih membingungkan pedagang didalamnya karena belum ada kepastian hak mereka setelah bangunan direnovasi). PD Pasar Surya sebagai pengelola pasar di Surabaya, selama ini hanya berkonsentrasi pada pasar-pasar besar yang lebih menguntungkan investor, jarang berpihak pada pasar-pasar kecil.

Kondisi di Malang, revitalisasi pasar Dinoyo dan Blimbing diserahkan pada investor, dengan dana ratusan miliar akan dibangun mall, apartemen, ruko, dan pasar tradisional. Pasar tradisional dipindah belakang mall dan ruko, ribuan pedagang pasar akan menjadi korban penggusuran dalam proyek ini. Semakin jelas pasar tradisional dipaksa untuk berkompetisi dengan pasar modern, dalam kompetisi itu pasar tradisional dengan mudah tersisih, dan masalah baru muncul yakni ketika pedagang pasar tradisional digusur beralih menjadi pedagang kaki lima yang berjualan di sembarang ruang publik.

Pentingnya dialog

Konflik kepentingan antara pedagang pasar tradisional dengan pemerintah sudah biasa terjadi, Kota Yogyakarta salah satunya yang cukup berhasil dalam mengatasinya. Di kota ini, pemerintah mencoba memberikan solusi bagi pelestarian pasar tradisional, misalnya dengan melarang lokasi toko modern berdekatan dengan pasar tradisional, pemerintah juga merelokasi dengan layak, pada penataan pasar Klithikan, pedagang diberi bantuan modal dan pinjaman lunak untuk mengembangkan usaha, dan cukup banyak pasar tradisional yang bisa bertahan. Solusi lain yaitu mengintegrasikan pasar tradisional dan toko modern, seperti pada pedagang kaki lima di Malioboro dan pasar Beringharjo dapat berkolaborasi dengan pasar modern membentuk objek wisata yang ramai. Dalam penataan pasar tradisional, menurut Walikota Yogyakarta kuncinya ialah membuka dialog dengan pedagang pasar, dalam dialog itu pedagang diingatkan pada kepentingan umum yang diusung melalui kebijakan penataan, misalnya kepentingan pejalan kaki atas trotoar dan kenyamanan pemilik rumah yang digunakan oleh para pedagang untuk berjualan.

Belajar dari penataan pasar dan pedagang kaki lima di Yogyakarta, sudah semestinya kita sadar bahwa dalam mengelola pasar tidak hanya mengutamakan penertiban dengan mengandalkan kekuatan fisik Satpol PP, tapi juga harus ada proses dialogis antara pejabat yang berwenang dengan para pedagang. Di satu sisi, proses inilah akan ada nilai pendidikan untuk mengubah pola pikir pedagang tentang kepentingan umum yang lebih besar, di sisi lain, kesediaan para pejabat untuk berdialog, akan menambah kepercayaan akan keseriusan pemerintah dalam menangani masalah mereka.

Pengelolaan pasar tradisional memang diarahkan menjadi bagian kota yang bersih, rapi, dan nyaman, baik bagi pedagang, pembeli, maupun penduduk disekitar pasar. Namun, tidak harus merubah bentuk pasar tradisional menjadi seperti pasar swalayan, apalagi sampai mengubah sistem jual beli menjadi perdagangan ala hypermart. Pasar seharusnya dibangun layaknya pasar tradisional, penataan diutamakan untuk mengubah kesan kumuh dan menjadikannya tertib, misalnya pengelolaan sampah, sirkulasi, parkir, dan perlu dibentuk paguyuban pedagang untuk mengelola pasar tersebut secara mandiri dan bertanggung-jawab.

Pembiayaan menjadi faktor penting dalam melestarikan pasar tradisional, sumber dana yang digunakan dapat melalui sumber dana internal dari penerimaan yang digali/ diterima dari potensi di pasar tradisional, sesuai alat produksi yang tersedia. pasar seperti dari biaya pelayanan dan perijinan yang ditarik dari pedagang, maupun sumber dana eksternal melalui kerjasama dengan pihak ketiga, perbankan, Penyertaan Modal Pemerintah (PMP), Rekening Pembangunan Daerah (RPD), akhir-akhir ini tengah berlangsung program revitalisasi pasar tradisional yang didanai Kementerian Koperasi dan UKM keseluruhannya berlokasi di perdesaan, dimana proyek itu merupakan kerja sama antara Kementerian KUKM sebagai penyedia dana dan pemda setempat yang menyiapkan lahan seluas 15.000 m2. Kemudian perlu diatur agar pembiayaan pasar setelah direvitalisasi tidak memberatkan pedagang, sehingga pedagang lama dapat kembali menempati pasar dan posisinya tidak terancam oleh pedagang baru, mengingat peran pedagang lama telah merintis usaha dan sistem sejak pasar itu dibangun hingga menjadi ramai.

Akhirnya, pasar tradisional dapat tetap lestari tanpa harus merubah sistem yang telah berlaku didalamnya, tidak memutus keakraban penjual dan pembeli, dan rakyat kecil tetap mendapatkan akses dalam membeli kebutuhan hidup. Perlu kebijakan untuk mengkonservasi pasar tradisional agar tetap eksis ditengah perkembangan kota tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai salah satu simbol ekonomi kerakyatan, sehingga masyarakat akan percaya bahwa masih ada keberpihakan pemerintah pada kebutuhan rakyat kecil disamping kepentingan pemodal, semakin banyak pemerintah bisa mewujudkan keberpihakan kepada rakyat dalam kebijakan pembangunan, maka pembangunan kota akan semakin manusiawi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun