Peringatan Kemerdekaan Indonesia ke 68 tahun ini harus kita rayakan secara prihatin. Salah satu sebabnya adalah rasa prihatin karena beberapa bulan terakhir ini inflasi bangsa besar ini ditentukan oleh harga daging sapi dan bawang. Ini menunujukkan bagaimana tidak berdaulatnya bangsa kita. Komoditas-komoditas sederhana yang dibutuhkan rakyat ternyata gagal kita produksi sehingga harus kita impor dalam jumlah yang sangat besar.
Kondisi ini karena adanya ketergantungan yang mencandu para elite pemimpin nasional terhadap kepentingan asing. Ironisnya, ketundukan pada pengaruh asing itu lalu dicari pembenarannya dengan kampanye ketidakmampuan bangsa. Alasan paling sering didengar adalah asing harus masuk karena kita belum mampu. Tapi masak iya kita tak mampu menanam bawang? Masak iya kita tak mampu beternak sapi? Sikap seperti itu membuat bangsa ini merdeka tapi tak mampu meraih kedaulatannya. Kita terlalu tergantung pada kepentingan asing.
Akibatnya dahsyat. Kekayaan alam dan pasar kita dikuasai pemodal asing. Belum cukup, potensi kita dikerdilkan dan kemampuan putra bangsa dibonsai karena tak pernah diberi kesempatan. Harga diri bangsa karam di dasar terendah. Nyaris tak ada kebanggaan sebagai bangsa yang kekayaan alam dan sumber daya manusianya membuat iri bangsa lain.
Kita membutuhkan pemimpin yang bisa dan mau memerdekakan bangsa ini dengan sebenarnya. Pemimpin yang mendahulukan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi, golongan, juga yang paling penting kepentingan asing. Pemimpin yang bisa menggerakan semua potensi yang kita miliki untuk mewujudkan kedaulatan. Kedaulatan pangan, kedaulatan energi dan kemerdekaan harga diri bangsa. Cuma pemimpin yang memperjuangkan kedautan bangsa yang akan membawa negara ini menjadi negara yang bermartabat dan terhormat dalam tatanan dunia.
Bagaimana rekam jejak kebijakan Dahlan Iskan dalam hal ini?
Sebagai menteri BUMN, Dahlan berhasil mensinergikan berbagai potensi anak bangsa untuk membuktikan bahwa kita mampu. Hanya saja selama ini kita tidak mau bekerja keras memanfaatkan potensi itu. Masalahnya ternyata bukan pada kemampuan, tapi pada kemauan. Terutama kemauan pemegang kewenangan.
Alangkah hebatnya Indonesia kalau semua potensi tersebut disatukan dalam koordinasi yang utuh. Kalau saja ada kesatuan di dalamnya, kita bisa memproduksi pabrik apa pun, alat apa pun, dan kendaraan apa pun. Pembangkit listrik, pabrik gula, pabrik kelapa sawit, pesawat, kapal, kereta, motor, mobil, dan apalagi sepeda, semua bisa dibuat di dalam negeri. (Dahlan Iskan, Neraka dari Manajemen Musyrik)
Ketika kebutuhan pasar monorel terbuka setelah beberapa daerah berencana membangun angkutan massal ini, Dahlan langsung membentuk konsorsium Bumn. Terdiri dari INKA, Telkom, Adhi Karya dan LEN. Dalam waktu beberapa bulan, 3 prototype monorel berhasil dibuat. Monorel made in Madiun membuktikan bahwa kita mampu membuat monorel dengan kualitas yang bahkan lebih baik dari monorel negeri tetangga. Seorang teknisi INKA bahkan menyebut bahwa membuat monorel jauh lebih mudah daripada membuat kereta listrik (KRL). Terbukti monorel produksi BUMN itu memiliki kualitas, desain dan kapasitas angkut yang lebih baik dari monorel sejenis di Sidney dan Kuala Lumpur. Gambar monorel berwarna merah putih ini menghiasi berbagai media menjadi ilustrasi berita Jakarta Monorail. Sayangnya, itu sebatas ilustrasi, karena monorel Jakarta memilih menggunakan monorel buatan Cina.
Begitu juga Monorel Bandung Raya. Pengprov Jawa Barat memang bekerjasama dengan BUMN, namanya China National Machinery Import & Export Corporation (CMC). Ya, ternyata bukan BUMN kita, tapi BUMN Cina.
Padahal Dahlan berkali-kali mengaskan bahwa konsorsium BUMN siap membantu pemerintah daerah mewujudkan proyek monorel. Teknologi, konstruksi, opersional bahkan modalnya murni 100% bumn, tanpa menggunakan APBD apalagi APBN. Yang kurang hanya kemauan pemerintah daerah. Alangkah lucunya negeri ini.
Mobil listrik juga salah satu cara Dahlan mengangkat harga diri bangsa. Ketergantungan kita pada BBM membuat bangsa kita tersandera. Impor BBM kita semakin besar dari tahun ke tahun, padahal cadangan minyak kita terus menipis. Beberapa ahli mengatkan cadangan minyak kita hanya kan bertahan 11 tahun lagi. Ironisnya, BBM yang subsidinya 300 triliun pertahun itu dipakai untuk menghidupkan mesin mobil dan motor yang tidak satupun mereknya produk bangsa. Kita tidak menikmati secuilpun kue pasar otomotif kita yang merupakan pasar terbesar no.4 di dunia. Yang kita 'nikmati' hanya asap polusi yang meracuni udara kita. Juga kemacetan yang menimbulkan inefesiensi puluhan triliun per tahun.
Kita terjajah di jalanan kita sendiri, dan nyaris tidak melakukan apa-apa selama puluhan tahun. Dahlan kemudian berinisiatif membentuk tim putra petir untuk melakukan riset mobil listrik. Mobil listrik adalah pilihan paling masuk akal karena kita sudah tertinggal puluhan tahun dalam pengembangan mobil berbahan bakar minyak. Dahlan menegaskan, kita tidak boleh lagi mengulangi kesalahan yang sama. Riset mobil listrik harus berhasil. 30 tahun lagi, kita harus jadi raja di jalanan kita sendiri.
Kini mobil listrik generasi kedua sedang dikembangkan dengan berbagai pelajaran dari kekeurangan generasi pertama. Baterainyaupun sudah menggunakan baterai lithium khusus mobil listrik bikinan Cileungsi, Bogor. Inilah sebenar-benar mobil nasional. Ujian pertama mobil listrik nasional bergabai jenis itu adalah melayani tamu-tamu negara pada KTT APEC Oktober nanti.
Dengan berbagai langkah itu, secara otomatis Dahlan juga memberikan kesempatan pada putra-putra terbaik bangsa untuk mewujudkan karyanya. Karena terobosan Dahlan, perlahan masyarakat kemudian megenal putra-putra terbaik bangsa, dari Ricky Elson, pemilik paten berbagai motor listrik di Jepang sampai Dr Ir Bambang Prihandoko, pakar baterai lithium dari LIPI. Dari pakar sorgum Prof Dr Sungkono, sampai Prof Dr Herry Suhardiyanto, pakar tanaman buah tropis dari IPB. Juga para srikandi seperti Dr-Eng Eniya Listiani Dewi pakar fuel cell, sampai ahli inseminasi sapi Drh. Herliantien. Dahlan adalah oase bagi para peneliti. Pejabat yang memperhatikan dan memberikan kesempatan mewujudkan penelitian mereka.
Dahlan juga memberikan kesempatan yang sangat luas pada para enginer di BUMN dengan mensinergikan kemampuan mereka menggarap proyek-proyek 'merah putih'. Untuk pertama kalinya dalam sejarah kita akan punya 30 PLTU yang 100% buatan bangsa sendiri. Kondensornya dibikin Bima Bosma Indah, turbin oleh PT NTP Bandung, anak perusahaan PT DI, generatornya oleh Pindad, Boilernya dibuat PT Barata Surabaya dan PT Wika membangun sipilnya. Demikin juga pabrik gula 'merah putih' di Glenmore, Banyuwangi. Pabrik gula pertama yang dibangun pemerintah setelah 30 tahun lebih. Dan masih banyak proyek merah putih lain yang diinisiasi oleh Dahlan Iskan.
Pada kasus Blok Mahakam yang akan habis kontrak karyanya. Dahlan sangat ngotot dan berusaha meyakinkan pemerintah bahwa Pertamina mampu mengelola 100% Blok Mahakam. Dengan mengelola Blok Mahakam, impor BBM yang menghabiskan devisa itu akan berkurang signifikan. Bahkan Pertamina akan punya ‘jalan tol’ untuk mengejar ketertinggal dari saingan regionalnya yaitu Petronas. Sayangnya kengototan Dahlan itu berbanding terbalik dengan kebijakan kementerian ESDM yang berwenang memutuskan ini. Sempat terjadi perang statemen di media antara Dahlan dan Djero Wacik. Akibatnya, keputusan tentang Blok Mahakam ditunda dan akan diserahkan pada pemerintahan baru.