Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Apa Khabarmu?

30 Mei 2024   09:25 Diperbarui: 30 Mei 2024   09:47 110 0
"Rindu mengusik dalam
di rembang petang
hingga malam terjelang
Apa kabarmu?" (goen).


* *

Apa Khabarmu ?
- cerpen.

         Hingga malam terjelang, hari menemui ajalnya tenggelam di balik mega-mega, sontak mematikan saklat sinar matahari, menjadi kelam dan gelap.

          Tak ada songket, atau pun kain sarung dan kopiah, bagi penampilan lelaki Melayu. Hanya sorban, dan celana, panjang katun yang masih agak tebal, dengan warna yang masih bergairah. Lelaki itu melempar puntung cerutu ke kolam ikan, menjentikan jarinya, dan menyentil tumpukan daun tembakau itu, melambung tinggi sebelum akhirnya jatuh. Sambil, switer jaketnya, medekap tubuh, tangan kanan yang sesekali naik turun mengait cangkir kaleng dengan aroma kopi yang masih hangat dan jernih.

         Di Rembang, Rengat, Siak tenggelam. Dan, rembulan seperti warna sore hari. Dan pelataran surau yang berlampu jalan, yang memancarkan sinar kuning, dan redup, dan ramai oleh anak-anak mengaji yang menunggu beduk, sebelum azan sholat, Isya.

Sebuah, surat yang lirih terbaca perasaan penuh harap menunggu, dan masih sesak dengan raung binatang pemangsa, yang merindukan seekor rusa  betina untuk disantapnya. Sesekali hasrat itu, masih begitu buas dan garang, di dalam ingatannya, menundukkan batinnya, dan membuat bibirnya mengucapkan resah, dan berdo'a hingga larut malam tiba. Sudah selesai tiga pekan saja, setelah, Lestari, yang mengirimkannya, dari negeri nun jauh terletak di seberang selat Malaka. Setelah, sedikit, mengurangi badai rindunya, dan kemudian, lelaki itu, meletakan kembali surat, itu dimana dia biasa, menyimpannya, dalam sebuah kotak kaca, meletakannya di atas bantal berwarna merah.

"Apa, khabarmu abang?"

"Apakah, masih sering abang menghisap cerutu ?"

"Apa yang abang Hamzah tulis di surat khabar, sepekan, terakhir ini ?"

"Disini, adik, sibuk belajar," mengaji kitab, di asrama," salam buat ayah dan ibu, di sana."

"Bang," aku hingga kini,
masih menunggu, jawaban" Kata, Lestari.

"Kenapa, abang jadi tak berdaya menerimaku sebagai permata, untuk menghiasi wibawa, seorang, pujangga, seperti, abang ?" sebuah pertanyaan yang beserta penuntutan yang keras, dari Lestari.

"apakah, kata-kata pengharapan ini, tak lagi ada maknanya buat abang ?" kembali, berseling gadis polos itu, mengucapkan rajukkannya, kepada lelaki yang dianggapnya sebagai pangeran, bak ibarat, sultan, Hang Tuah yang sangat bijaksana dengan tajamnya pena di tangan seorang kesatria kata dan mantra.

    * * *

           Dan, Hamzah, menghela nafas setelah berulang kali membaca surat tersebut, bagai kehilangan sekantung ide dari pundi bakat kepenyairannya. Dia menganggap ini suatu yang tak mungkin. Dimana, ayahanda Lestari, telah membesarkan hatinya, untuk setia menjadi guru bagi perjalanan hidupnya. Sementara, Lestari sendiri tumbuh sebagai adik, dari jantung persahabatan keluarga, ayah Hamzah, yang memandatkan wasiat untuk menjaga, dan mendidik Hamzah, tak ubahnya anak lelakinya, sendiri. Hamzah, menerima perlakuan yang bertanggung jawab, oleh, ayah Lestari. Meletakan, pikul beban, bagi Lestari, sebagai adik kandungnya sendiri, dalam muhrim persaudaraan hati kecilnya yang ringkas.

           Suatu malam di beranda depan, anak tangga rumah, saat cahaya bulan, Hamzah menulis, melukiskan rasa dalam syairnya ;

"Rindu mengusik dalam
di rembang petang
hingga malam terjelang
Apa kabarmu?"

Sambil, tersenyum, membayangkan halaman rumah, menjadi gundukan tanah kubur. Dan, menguburkan dirinya, di dalam kata-kata terakhir yang ditulis sebagai nisan, dari laki-laki Melayu, yang mati karena rindu, "Apa khabarmu ?" tinta emas, dengan kuntum mawar merah yang telah layu.

29/05/2024. (we).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun