Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Isra' Mi'raj Suatu Momentum yang Sakral dari Kenabian Bagi Ummat, Manusia

22 Februari 2024   04:59 Diperbarui: 22 Februari 2024   05:21 75 2
Isra' Mi'raj Suatu Momentum Yang Sakral Dari Kenabian Bagi Ummat, Manusia.

Oleh : Ahmad W. Al-faiz.

Sebagai Kategori Mutasabihat.

           Sebagai makna ayat dalam penafsirannya, ayat ini tentu tergolong makna dari kontekstual tafsir yang tergolong mutasabihat, selain beberapa ayat yang hanya berupa beberapa unaur huruf dengan cara baca yang tertentu. Yakni, ayat :
Al-Isra' 17:1


Yang artinya :
Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.

          Dalam bahasa yang tentunya pengertiannya, sebagai makna irasionalitas yang uncountable, yang berarti, tidak dapat di ukur dengan suatu sumberdaya yang rational, secara mutlak dapat diperhitungkan maknanya oleh nalar akal sebagai parameter, terkecuali keyakinan yang imani atas ayat tersebut sebagai suatu yang terkait peristiwa yang terkait kenabian dan kerasulan nabiyullah Muhammad, S.A.W. tentu, saja sikap atas arti dari perihal ayat tersebut, di sandarkan pada suatu yang di jelaskan nabi dan disampaikan ulama dalam banyak reprensi dan penjelasan yang memadai, akan subtansi ibrahnya atau nilai pengajaran di dalamnya, terhadap hal tersebut. Yang, merupakan asbab nuzul, dari suatu perihal yang terkait dengan syariatkah itu, atau perihal yang tentu saja berkenaan dengan masa depan dan nilai ummat islam dari peristiwa tersebut. Sepanjang, perdebatannya, adalah suatu yang tentu menyelisihi pemahaman rational, sebagai sifat akal yang logis, bagi manusia pada umumnya, oleh demikian merupkan hak Allah dan Rasulnya, dalam memberi perantara arti ayat tersebut dalam bentuk yang secara persis tak dapat kita ketahui dengan peninjauan akal, dalam dimensi ruang perdebatan interprestasi yang mendekati keterukuran ratio, terkecuali, bersandar dari yang di sampaikan rasul akan hal tersebut. Sebagaimana, suatu kedudukan kalimat yang melibatkan para mufasir, dalam penyerahan makna tafsir atau takwil yang sesungguhnya kepada Allah, yakni, dengan mengakhiri ulasannya, dengan kalimat, "Wallahu 'alam bi muradihi" [Allah lah yang mengetahui akan kehendaknya - yang dimaksud akan makna yang mutlak sesungguhnya].


Dimensi Yang Paradigmatif Secara Filosofis.

          Namun, meskipun demikian, dan tidak ingin berpanjang lebar akan artikulasi hal tersebut, akan kedudukan ayat tersebut dalam interprestasi yang sakral, atau suci, kedudukan manusia di dalam kehidupan sesungguhnya di awal melibatkan makna dimensi, ruang yang juga irasional tersebut, terhadap sumberdaya, yang ghaib, sebagai sumberdaya kehidupan seperti ruh, atau tentang yang disampaikan di dalam al-qur'an, mengenai hari kiamat, sebelum akhirnya kita mungkin juga akan tiba, dan sampai pada bentuk realitasnya pada suatu ketika di masa yang akan datang di dalam pengertian yang futuristik dari iradatullah, akan kehidupan hambanya, kelak, mungkin di akhirat. Yang, tentu saja memadai sebagai makna yang bukanlah seorang nabi, atas pernyataan nabi Muhammad sebagai nabi penutup akhiru-zaman. Hal, yang menjadi hemat saya, merupakan bagian yang dapat di sisipi dari makna kehidupan alamiah kemanusian kita atas interprestasi dalam dimensi yang humanistik, yang tidak menyangkut keimanan dalam kapasitas yang nilainya kita yakini seperti apa pun itu. Dan, tentunya sebagai suatu yang juga mengisyaratkan akan keterbatasan seorang manusia biasa seperti juga saya dalam kemampuan untuk masuk, dalam rasioalisasi, sementara kejelasan kategorialnya yakni, mutasabihat, yang kemudian saya interlasi dalam menerjemahkan narasi kisahnya yang mungkin kurang tepat sebagai padanan dari kata irasionalitas, atau di luar kemampuan nalar akal yang rasional dalam memberi kesan logisnya. Yang tentunya, :

"Wallahu 'alam bi muradihi"  Wallahu 'alam bisawab."

           Jika, ini sebagai upaya penafsiaran atas ayat tersebut, tentu saya tidaklah kompeten sebagai mufasir, tentu saja tidak, selain melihat hal tersebut sebagai khazanah yang ada di tengah perbincangan pembelajaran ummat Islam akan hal agamanya. Dan anda dapat memilih para kompetensi fi bidang ini, seperti Prof. Quraish Shihab, untuk menjelaskan hal terkait, dari ayat teresbut sebagai kejelasan dan klaritas akademis yang mumpuni akan keilmuan sebagai sumberdaya yang tepat kapasitas.

          Namun, sebagai suatu bagian komplementasi dari ummat Islam, secara keseluruhan. Tentu, saja sebagai suatu term yang dapat di soal dalam mengakrabkan sumberdaya nilai yang menjadi pedoman hidup insan ummat beragama Islam, dengan tanpa maksud dan tujuan di luar maslahat, diri, atau menciderai perasaan ummat, saya hanya berusaha memahami kapasitas cara pandang yang tepat untuk menjelaskan kepada diri sendiri, yang tiada lain, hanya sebentuk "proses pembelajaran" semata, yang dapat saya ilhami sebagai kesimpulannya, dan jawabannya, yang mungkin tidak akan pernah sampai pada makna yang hakiki, terlebih hal tersebut merupakan sumberdaya dari peristiwa kenabian bagi ummatnya, di samping juga, hal yang saya ketahui, akan perintah solat termasuk, di dalam peristiwa tersebut dari Allah, kepada nabi Muhammad, S.A.W. dan kepada kita semua ummat muslim.


Perjanjian Hudaibiyyah : Suatu Makna Transparansi Islam Di Perbincangkan Di setiap Kalangan & Kelas Sosial.

         Seperti, syarah penjelasan Gus Baha' akan hal terkait perjanjian Hudaibiyyah, dimana semua pointnya merugikan, ummat Islam, akan tetapi, satu hal bahwa Islam sebagai ajaran dapat di bicarakan secara terbuka di semua kalangan dan lapisn sosial secara interpresfektif, baik keyakinan, suku kabilah, dan juga, ideologis di tengah masyarakat Arab. Hal yang juga menarik akan keputusan tersebut dan impact yang dapat dirasakan di zaman sekarang tentunya saja.

           Tentu, hal yang setiap orang inginkan untuk dapat mebicarakan Islam secara terbuka. Sehingga, makna kebaikan ajaran tersebut, tidak hanya terputus pada satu orang, atau segolongan dan sekelompok saja tanpa regenerasi berikutnya dalam peran fungsi yang menjawab persoalan di tengah-tengah ummat Islam di masa mendatang baik dalam kapasitas peran ulama atau yang lainnya dalam aspek kehidupan ummat beragama.

"Semoga bermanfaat, salam!."

B. Lampung, 22 Febuari 2024.
Ahmad W. Al-faiz.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun