"Apakah engkau menyesali,
"pertemuan ini?" Ucap Mo perlahan.
        Sepertinya, kisah dalam cerita lirik lagu. Berkata demikian, dalam mengungkapkan sesuatu yang agitatif persoalan dari cinta, yang memberi semacam sensasi metafora dalam ironi pertemuan dan waktu yang tak terkendali oleh kemampuan manusia. Dan sepertinya, Mo bagiku belum cukup mengerti arti sebenarnya dari perpisahan dalam alur plot kisah cerita ini.
      Di dalam keluarga bahkan, aku tak mencintai ayah. Tapi, lebih pada duduk persoalan aku mencintai ayah, dalam spirit dan motivasi, kerja keras beliau dalam selintas pandangan mataku. Dan semua tahu, bahwa, entah, apa yang kemudian membahagiakannya, selain makan, makanan kesukaannya, sementara, mulutnya dipenuhi gigi palsu. Sebab, bagaimana aku mencintai orang yang menerjang tubuhku hingga terhuyung, terjatuh?
      Dan mungkin, lebih tepat, meski seorang intelektual, ayah, sangat berjiwa militan, yang militeristik, layaknya seorang patriotik tentara penjaga perbatasan. Dan memberi suatu pengajaran tentang hidup, kepada anak buahnya, bahwa, hidup ini, tidak sesederhana yang kerap dipikirkan orang-orang, di luaran sana, yang tak perduli padamu. Dan, atau, jika itu adalah ayahmu sendiri, maka, kau harus perduli dengan dirimu sendiri.Â