Sebuah halaman pengantar menuju pintu masuk. Dan aku bertanya pada Ginting tentang siapa nama orang itu. Bahkan, tidak beberapa lama, aku berpikir bertemu Komodo dalam pikiranku, ya lalu.
"Oh!" Dia Jean penyanyi dangdut asal Klaten." memangnya kenapa kau suka?" Kata Ginting kepadaku.
Dan Ginting memang hanya suka lagu Bento, nomor milik Iwan Fals, dengan kacamata hitam bermotif, jengkol, dia telah menyangka dirinya adalah Pangkostrad angkatan darat atau sejenisnya. Sambil, menawari aku rokok, dia katakan padaku, dia sebenarnya, orang yang sombong, tapi santun.
"Baiklah," katakan padanya," pada Jean," apa dia telah mengenal dirinya," sebelum aku berkenalan dengan dirinya ..." Kataku, pada Ginting.
"Lho," kenapa?" Kata Ginting telas.
"Bahwa," dia tidak akan mengenal siapa orang yang dicintainya," sebelum dia mengenal dirinya sendiri terlebih dahulu" setelah tuhan baginya" Kata-kata yang aku telan dan lalu keluar bagai muntahkan kembali, sejak kata-kata itu, adalah sebuah bangunan dari bagian batu-batu bukit cadas yang kini adalah ruang pertemuan itu dan, Â sebelumnya adalah sebuah gua di masa lalu, pada purbakala waktu oleh, sebuah landi milik sultan di Skala Berak.
Setidaknya, aku sangat mengenal cara berpikir dimensi akal sehatku, dan diriku, melalui orang banyak, dan termasuk Ginting, yang masih mempertahankan sebuah aksen klise dari produk mobil kijang di masa lalu.
Sementara, dalam hati bertanya, adakah ruang sunyi, untuk sendiri saja, dalam pertaruhan yang kekal oleh sikap jumawa, dan juga diding kokoh, keramat, manusia-manusia suci, dan sufi-sufi dari kebijaksanaan berpikir melalui hati batin, dan akalmu.
"Adakah nyala api yang lain," untuk sebatang tembakau," dan adakah tembakau yang dapat aku hisap dalam kekusutan pikiran?"
"Adakah?"
Jalan lain, yang mempertemukan nadi dengan cinta dan ketulusan?" Hatiku membusuk, membeku, dalam dingin penderitaan yang ekstrem, untuk sebuah ambisi, dan hasrat yang tak tercapai oleh prasangka, atau justru kerana menahan laju sudut pandang menjadi suatu celah untuk kembali pulih dari luka.
Manusia bukanlah, seharusnya menjadi sombong karena suatu tradisi dari kebijaksanaan dan kebaikan dirinya. Melainkan, sombong karena tuhan pun demikian untuk menyifati ke-maha sombongannya agar selalu, kita dalam dimensi ruang yang bersama dengan kekuasaan tuhan dari kausa dan kuasa kesombongan tersebut.
Perlahan dengan malu-malu, aku bangun dari keterpakuan diri, setelah melihatnya, seolah-olah dia pantas melihatku atau sebaliknya aku pantas memperhatikan dirinya.
Jean, mungkin seseorang yang datang padaku menunduk penuh rasa putus asa, dia meminta keadilan dariku, atas fatamorgana ruang cinta, dan nafsunya terpendam dalam lesu yang lelah selama ini, mencurahkan perhatian pada gadis itu. Sementara, aku tak berdaya pada bocah lelaki itu, setelah penampilan dramanya di hadapan penonton yang memainkan peran badut yang filosofis bahkan menurutku dia lebih pantas disebut bandit. Untuk segenggam cinta yang ada pada naluri hangat suhu tubuh Jean. Semacam sebuah pengantar frekuensi dari termodinamika dalam memberi pesan dan sinyal dari "mugdah" sebuah kursi di tempat hati seorang wanita bertahta dan berfirman.
"Baiklah!" Bento sudah larut malam" seharusnya telah tidur dan mencekam dalam tawa yang nisbi" sebuah parodi dari Ginting untuk paradoks dari paradigma batang-batang rokok bermerk Surya, Jean. Tanpa harus mengencangkan sepatu, jika seorang memakai sandal untuk pulang ke rumah.