Pendudukan massa atas pelabuhan itu, dipicu oleh diterbitkannya izin penambangan emas di wilayah Kabupaten Bima oleh Bupati Bima. Pendudukan itu, bila ditelisik dari sudut pandang ekonomi, jelas akan berdampak negatif bagi perekonomian daearah, baik bagi Kabupaten Bima maupun Provinsi NTB, bahkan dirasakan juga oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pundi-pundi pendapatan dari aktivitas pelabuhan tersebut menjadi tersendat. Berbagai kebutuhan hidup masyarakat pun menjadi terhambat pendistribusiannya. Oleh karena itu, para pengusaha juga harus menanggung rugi. Dan berbagai dampak lainnya, termasuk terhambatnya lalu lintas manusia dari NTB ke NTT dan sebaliknya.
Dampak di atas, menyebabkan pemerintah daerah dan aparat keamanan mengambil kesimpulan bahwa aksi tersebut telah mengganggu, baik perekonomian maupun ketertiban, sehingga harus diambil tindakan tegas, apabila upaya preventif tidak berhasil. Oleh karena itu, pagi hari tadi, Sabtu, 24 Desember 2011, aparat kemanan membubarkan aksi massa dengan paksa, bahkan diikuti dengan penggunaan senjata. Mungkin ratusan atau ribuan peluru telah dimuntahkan dari moncong-moncong senjata laras panjang anggota Brimob, yang ada dalam jumlah cukup besar di tempat kejadian. Akibat dari tindakan aparat tersebut, mengakibatkan massa terkocar kacir, lari tunggang langgang ketakutan dan menyelamatkan diri. Yang mengagetkan, tidak semua massa bisa menyelamatkan diri. Banyak di antara mereka yang terluka, baik akibat peluru maupun karena tindakan kekerasan lainnya yang dilakukan oleh aparat keamanan. Bahkan beeberapa (dua orang) di antaranya terkapar dan menghembuskan napas terakhir akibat terjangan timah panas anggota Brimob. Korban yang mati sia-sia dalam memperjuangkan keadilan. Kematiannya justeru karena ulah aparat yang seharusnya memberi perlindungan kepada mereka. Sehingga seolah-olah di negeri ini nyawa seorang manusia, terutama rakyat kecil begitu mudahnya tercerabut dari tubuhnya, pergi meninggalkan raga dan meninggalkan orang-orang yang ia cintai di dunia. Alangkah tidak berharga/bernilainya nyawa manusia.
Dari sudut pandang hukum dan ekonomi, jelas tindakan massa menduduki pelabuhan dalam menyalurkan aspirasi mereka atas penolakkannya terhadap pembukaan tambang emas, merupakan suatu yang salah (keliru). Tetapi membunuh mereka dengan cara membabi buta, jelas juga merupakan perbuatan melawan hukum. Bisa jadi, upaya previntif yang dilakukan belum optimal. Mungkin juga ada yang belum mereka pahami secara jelas atas kebijakan pembukaan tambang emas tersebut. Sebelum izin dikeluargan barang kali mereka tidak mendapat sosialisasi (informasi) yang cukup atau tidak diupayakan dengan cara-cara yang efektif. Apa lagi lokasi tambang akan mencaplok lahan/tanah milik mereka. Ini jelas membangkitkan semangat mereka untuk memperjuangkan haknya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sekalipun lahan milik rakyat akan dibebaskan, tetapi pembebasannya tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan (kesepakatan), dan ganti rugi tidak diberikan secara penuh. Dengan demikian, rakyat tidak selamanya berada pada posisi yang salah. Karena itu, upaya-upaya penyelesaian konflik (permasalahan) dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, cara-cara yang beradab harus dijunjung tinggi oleh aparat penagak hukum (aparat keamanan). Sehingga nyawa manusia tidak perlu meninggalkan raga dengan sia-sia, tidak dipandang sebagai sesuatu yang murah dan mudah dihilangkan dengan timah panas milik aparat keamanan. Semoga ini menjadi peristiwa yang terakhir, tidak terulang kembali. Rakyat sesungguhnya suadah lelah disakiti dan menderita.
Selamat jalan saudara-saudara ku, semoga di alam sana mendapat kebahagian. Goresan tengah mala mini merupakan wujud keperihatinan, dan belasungkawa.
Salam kedamaian dan kebahagiaan untuk kita semua.
Jerowaru Lombok Timur, 26 Desember 2011.