Tulisan ini adalah kesinambungan dari Malaysia dan Indonesia Part I.
*****************************************************************************************************************
Setelah beberapa bulan memanas, belakangan ini reda sudah isu-isu yang menggugat hubungan pasang surut dua negara bertetangga satu 'spesis', Malaysia dan Indonesia.
Meredanya isu-isu panas ini, menurut saya, mungkin disebabkan usaha kedua pemerintah untuk menjernihkan suasana yang sempat tegang (sampai ada yang menyerukan perang), dan juga peran media (terutamanya media 'sekali bebas, bebas sekali' Indonesia yang terkesan memanas-manaskan, manakala media Malaysia karena dikontrol pemerintah, lebih berhati-hati dalam melaporkan berita yang bersangkutan negara tetangga) yang sepertinya sudah kurang antusias untuk melaporkan hal-hal sensasi yang bersangkutan kedua negara.
Mungkin juga sudah mencapai titik 'fatigue', 'capek', Wallahualam.
Begitulah cara media di seluruh dunia bekerja, ibu bapak sekalian. Profit harus dijaga, berita sensasi harus sentiasa dikejar-kejar.
Sang Editor yang Maha Kuasa memilah berita mana yang harus diprioritaskan, mana yang harus di 'black out' kan.
Belum lagi kalau ada tekanan dari 'share holders'. Ya, begitula dunia.
Semuanya dilakukan dengan kepentingan menjaga profit di benak sanubari mereka.
Kendati pun demikian, air yang tenang jangan disangka tiada buaya. Suasana yang sepertinya tenang sebetulnya tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dirasakan oleh penduduk kedua-dua negara.
Pemberitaan tentang Malaysia sebagai sebuah negara pencaplok/maling/kejam/arogan/teroris/(apa-apa lagi yang dipikirkan sesuai oleh anda) secara tidak langsung telah menanamkan jauh di dalam 'psyche' kebanyakan orang di Indonesia bahwa tidak ada yang baiknya tentang orang-orang dari seberang (baca: Malaysia).
Salah satu duri di dalam daging yang mewarnai hubungan Malaysia Indonesia adalah isu KLAIM budaya.
(Untuk seterusnya, kata KLAIM akan menggunakan capital letters, simply for the sake of clarity, literally and figuratively speaking).
Satu isu yang ditanggapi dengan dua sudut pandang yang jauh berbeda di kedua negara.
Persoalannya, apa betul Malaysia mengKLAIM budaya-budaya Indonesia? (seperti yang di'KLAIM' oleh media Indonesia?).
Untuk beberapa bulan, kata KLAIM ini menjadi 'catchphrase' yang digunakan secara leluasa oleh media Indonesia untuk menggambarkan KLAIM pihak tertentu (baca: Malaysia) terhadap segala macam budaya milik Indonesia.
Ini bisa disamakan dengan kesukaan media Amerika menggunakan kata-kata seperti 'shock and awe', 'war on terrorism', 'bringing democracy to the desert', etc.
Karena kata KLAIM ini dipinjam dari bahasa Inggris (claim), yang juga meminjam dari bahasa Latin 'clamare' mari kita lihat maksud kata ini menurut Kamus Oxford online: (saya siarkan maksud yang bersangkutan saja).
verb: 1 state as being the case, without being able to give proof. 2 demand as one’s due.
noun: 1 a statement that something is the case. 2 a demand for something considered one’s due.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pula:
klaim 1 tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak (memiliki atau mempunyai) atas sesuatu
meng·klaim 1 meminta atau menuntut pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang (suatu organisasi, perkumpulan, negara, dsb) berhak memiliki atau mempunyai hak atas sesuatu: ada negara lain yg ~ kepulauan itu
(Ternyata contoh yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia akan arti kata KLAIM juga sepertinya ada menyangkut hubungan Malaysia Indonesia. Sudah tertanam di dalam psyche? =)  )
Kembali ke persoalan pokok artikel ini, apakah penggunaan kata KLAIM oleh media Indonesia di sini tepat dan sesuai dengan kondisi sebenar di lapangan?
Ini yang akan saya kupas kali ini, dari persepsi saya sebagai orang Malaysia.
Harus diingat yang ingin saya bahas di sini adalah KLAIM budaya, bukannya KLAIM teritorial.
Kalau KLAIM teritorial, saya kira sudah tepat penggunaan kata KLAIM di situ.
Maaf sekali, dikarenakan kesibukan bekerja, saya harus berhenti di sini. Bersambung di Malaysia Indonesia Part III.