Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Lair! Lair, Lair!

28 April 2012   20:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:59 2787 0
Lewat jam 12 tengah malam, kamis 12 april 2012, aku dan istriku mengetuk pintu rumah Bidan Kristin, bidan yang 2 bulan belakangan menangani pemeriksaan kandungan istriku dan tempat kami berkonsultasi sekitar  proses kelahiran. Ya cuma berdua. Sanak saudara kami tinggal di Tegal. Di Pemalang kami hanya tinggal berdua. Putri, gadis kecilku sekolah dan tinggal bersama embahnya di Tegal. Sabtu sore biasanya aku menjemputnya, dan mengantarnya kembali ke Tegal  senin pagi.

Berulangkali ketuk pintu, meneriakan salam, belum juga dibukakan pintu. Aku mencoba telpon ke nomor hape Bidan Kristin, tidak diangkat. Maklumlah tengah malam. Kemarin siang kami diberitahu kalo Sang Bidan berangkat ke Semarang untuk mengikuti sebuah seminar. Yang jaga rumah adalah 2 orang asistennya. Sebelumnya aku pernah nanya, jika tengah malam kami butuh pertolongan apa bisa kami ketuk pintu? Dia jawab, "dua puluh empat jam, Pak!"

Akhirnya kami putuskan balik ke rumah, menunggu datang pagi. Istriku gelisah, menahan perut mulas semalaman. Sengaja kami tidak pergi ke bidan lain atau rumah sakit. karena sebenarnya kami sudah sangat yakin dan cocok pelayanan Bidan Kristin dan para asistennya. Ramah, telaten, terbuka dan sangat informatif. Apa lagi sejak awal, istriku memang menginginkan persalinan yang normal, gampang dan cukup ke bidan saja. Bahkan kalo bisa di rumah. Tapi sayangnya Ibu Bidan tidak mau datang ke rumah. "Nanti peralatannya susah," alasannya.

"Subhanallah....!" desis istriku. Kaget campur senang begitu asisten bidan yang melakukan observasi meyatakan sudah bukaan 5, keesokan paginya ketika kami datang lagi. "Dua jam lagi bayinya lahir, Pak!" tegas asisten. Terharu dan berdebar jantungku . Berarti jam 8 pagi ini aku sudah bisa melihat anakku.

Istriku belum dibolehkan mengejan karena belum lengkap bukaannya. Aku mendapat tugas memberikan rangsangan kontraksi dengan cara memain-mainkan bagian nipple istriku. Istriku merintih, mengerang berkepanjangan. Dua jam pun telah lewat, dan bayi belum lahir. Sang Asisten bolak-balik memeriksa jalan lahir, juga denyut jantung bayi yang masih dalam kandungan. Katanya kepala bayi sudah mapan, dan denyut jantungnya 135 - 145. Artinya semua normal, tinggal menunggu hingga lengkap bukaan 10.

Lagi, istriku mengerang, menjerit  menahan kontraksi. Detik demi detik, menit demi menit sumpah sangat mengerikan. Ratusan bahkan mungkin ribuan kali  rintihan, jeritan, cengkeraman tangan di seprei, di lenganku sampai jambakan di rambutnya sendiri. Matanya mengejap, keringat dingin yang menetes-netes dan tubuhnya meliuk-liuk menahan sakit yang semakin sakit. "Semakin sakit semakin bagus, Bu.....!" ujar asisten bidan enteng. Aduh, ya Rob! Hamalathu ummuhuu wahnan ala wahnin!

"Sudah lengkap, Bu!" teriak Sang Asisten Bidan sesaat setelah melakukan observasi di bagian jalan lahir.

Pas jam 12 siang. Dua orang asisten bidan itu langsung mempersiapkan segala sesuatunya untuk proses persalinan. "Sekarang saatnya ngeden, Bu....!" katanya. Dadaku bergemuruh. Entah apa yang bakal terjadi setelah ini.

Istriku mulai ngeden. Sekali, dua kali sampai berkali-kali. Ya Allah..... tak tega rasanya. Tetapi aku menangkap raut muka galau di wajah dua orang asisten itu. "Mbak, cobalah telpon Bu Kristin yah...." kataku.

Setelah menelepon, ngeden dihentikan. Firasatku benar. Rupanya mereka belum cakap melakukan observasi. "Sebenarnya sudah bukaan berapa, Mbak?"  tanyaku.

"Tadi sudah lengkap, tapi sekarang mundur lagi jadi delapan.....".

Aduh.....! Jujur, aku sangat tidak percaya dengan jawabannya. Apa itu bukaan pun, aku hanya bisa mengucapkan tak tahu apa maksudnya. Aku menjadi bego sebegonya. Sungguh tak tahu kudu ngopo aku iki! Akhirnya aku manut saja. Menunggu, dan menunggu. Sementara istriku semakin kepayahan....

Sekira jam 2 siang kami kedatangan beberapa wanita berseragam putih- putih. Si Asisten mengenalkan bahwa mereka dari RSU, teman-teman Ibu Kristin. Katanya, salah satu di antara mereka, adalah kepala ruangan persalinan  di RSU. Yang disebut sebagai kepala ruangan persalinan RSU langsung melakukan observasi. "Sebenarnya sudah bukaan berapa, Bu?" tanyaku tak sabar.

"La tadi katanya sudah bukaan berapa?" katanya enteng sambil melirik dua asisten. "Ditunggu aja, semua normal," katanya sambil berkemas untuk pergi.

Rada plong, walaupun  tetap saja ragu. Ragu yang sangat. Tapi  aku putuskan coba nurut. Detik-detik yang pilu dan mengerikan pun masih berlanjut. Dua orang asisten bidan itu bolak-balik mengingatkan aku agar terus bermain-main dengan nipple istriku. Katanya biar cepet lahir.  Sehingga datang waktu maghrib, aku pamit kepada isriku untuk salat maghrib. Dengan hati galau dan panik aku salat sunah beberapa rokaat. Dalam sujudku aku berbisik berulang-ulang, fa inna ma'al 'ushri yusro!

Aku juga meneguhkan keyakinanku bahwa tak ada hal buruk yang bakal menimpaku. Pasti dan pasti! Bukankah aku sudah berdo'a, setiap selesai salat berjamaah dengan istriku dan setiap menjelang tidur selalu  aku belai-belai perut istriku seraya berulang-ulang membaca surat at-taubah 128 , "laqod jaa'akum rosuulum min anfusikum 'aziizun 'alaihi maa 'anittum hariishun alaikum bil mu'miniina rouufur rohiim....!

Karena situasi tak belum juga menampakan tanda-tanda yang menggembirakan, selepas isyak, kami putuskan minta rujukan. Keadaan istriku sudah sangat lemah. Kata Bidan Kristin, via telpon,  ke Rumah Bersalin PERMATA HATI saja karena bisa langsung ditangani dokter. Yups.

Di sebuah ruangan ber-AC, yang AC-nya mati, di atas tempat tidur selebar 60 cm yang berdesak-desakan dengan 3 buah tempat tidur serupa babak baru yang mencekam dimulai. Sekitar 5 atau 6 gadis muda berseragam putih-putih sigap menangani istriku yang menjadi satu-satunya pasien di ruangan itu. Dokter Pantjer Budhi Walujo Sp.OG (K), satu-satunya dokter sekaligus pemilik klinik bersalin itu sesekali melihat dan mengawasi anak buahnya bekerja.

Mereka, bidan-bidan muda berseragam putih itu, terlihat sangat cakap. Setelah observasi, mereka membuat catatan-catatan, menghitung denyut nadi bayi dengan corong yang ditempelkan diperut istriku dan diindera dengan menempelkan kupingnya rapat-rapat. Sesaat setelah dilakukan observasi aku dibuat kaget dan bingung lagi. Katanya baru bukaan 5 atau 6. Duh, aduh kok bisa begitu sih?

Tangan kiri istriku dicoblos jarum yang dihubungkan dengan selang ke botol infus. Katanya berisi obat pemacu. Larutan sakti yang bisa memacu kontraksi agar intervalnya lebih kenceng. Hanya berselang beberapa detik kemudian istriku mulai mengerang, merintih, menjerit dan meliuk-liukan badannya. Aku sendiri hanya bisa mendekap kepalanya sambil membisikan bacaan-bacaan doa apa pun yang aku hafal.

Tegang dan mencekam. Aku pejamkan rapat-rapat mataku. Tak kuasa melihat istriku meliuk-liuk kesakitan, tak kuasa mendengar jeritan dan erangan yang menyayat-yayat. Ya Rob, ya Robbi............... pangapunten dosa-dosa kulo lan estri kulo....!

Ternyata suasana tegang mencekam hanya dirasakan aku dan istriku. Kenyataan mereka para bidan muda nampak santai, ngobrol ngalor-ngidul bahkan bersendau gurau.... Aku jengkel dan panik. Mbok yao ikut menunjukan prihatin gitu lho! Aku hanya merutuk dalam hati. Hingga akhirnya setelah dilakukan obeservasi jalan lahir yang entah ke berapa kalinya, dinyatakan bukaannya sudah lengkap. Ini benar kan, betul? Tidak pakai mundur-mundur lagi?

Sekarang istriku menempati posisi siap melahirkan anakku. Bismillahirohmaanirohiim..... bismillaahirohmaanirrohiimm seribu kali! Kini saatnya engkau berjihad istriku!

"Ngeden, ngeden yang kuat, Bu!"

"Ayo Bu, ulangi lagi! Ngeden di bagian bawah, jangan di leher...."

'Terus Bu, terus paksa keluar!"

"Ayo Bu, dorong dengan marah....!"

Para bidan muda kasih komando. Istriku kelimpungan. Erangan, jeritan dan tangisannya tambah menghebat. Hamalathu ummuhuu wahnan ala wahnin! Entah apa yang aku lakukan saat itu. Tak kuasa, tak tega, tak mampu berbuat apa. Sekuat apa pun istriku ngeden perut mblenduknya seperti tak bergeming. "Kalo sampai satu jam belum lahir terpaksa divacuum, Bu. Ayo Bu, dorong yang kuat. Eman-eman biar gak sampai divacuum, " ujar salah seorang bidan.

Kepanikan, kepiluan kian menjadi. Jerit tangis dan rintihan istriku betul-betul sudah ambrol-brol. Tubuhnya lunglai. Nafasnya menyengal lemah, nyaris tanpa daya. Sementara aku pun sudah sampai titik nadir. Tak bisa mengucap kata, otakku  seperti mati rasa. Tak tergambar kecemasan dan kepanikan yang aku rasakan. Tapi aku juga marah. Marah yang sangat kepada para bidan muda itu. Di tengah penderitaan dan jerit tangis istriku yang dahsyat, kenapa mereka malah ketawa-tawa, bercanda, ngomongin pesbuk bahkan ngobrolin cowok!

Mbok yao, ada empati dikit gitu lo! Pengin banget aku remas wajah-wajah cekikikan itu. Pengin aku tarik mukanya dan aku teriakan fuck you, fuck you, fuck you....seribu kali.

Akhirnya waktu satu jam berlalu. Perjuangan hidup mati istriku belum membuahkan hasil. Aku pasrah. Aku melihat mereka mempersiapkan peralatan-peralatan untuk vacuum. Anakku akan ditarik paksa. Tapi katanya alat itu hanya menahan, tetap  istriku yang harus mendorongnya keluar. Ya, dengan sisa-sisa kekuatan yang ada. Aku perhatikan wajah istriku. Begitu tanpa daya dan menyerah. Aku cium keningnya. Aku seka keringatnya pelan-pelan. Sumpah, jujur sejujurnya aku baru kali ini merasakan getaran cinta yang dahsyat kepada istriku. Di telinganya aku bisikan  ayat ke 78 dari surat an-nahl : Wallaahu akhrojakum min buthuuni ummahaatikum, laa ta'lamuuna syai'an waja'ala lakumus sam'a wal af idata la'allakum tasykuruun!

Dokter  Pantjer masuk ke ruang persalinan.  Katanya, jika sampai empat kali dorongan belum lahir juga maka harus caesar. Apa pun lah! Aku siap dengan kepasrahanku. Istriku mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaganya yang sudah terkuras hampir selama 18 jam!

Bismillahirohmaanirohim!

Istriku menjerit, meraung .....  Pak Dokter memberi komando,  "terus, terus....!"

Terhenti sejenak. Aku betul-betul lupa diri. Hingga diulang dorongan yang kedua. "Ayo, hampir, hampir....!" teriak mereka meningkahi raungan dan jeritan istriku yang ambrol-brol.



Sesaat hening. Istriku kehabisan tenaga. Pak Dokter dan para bidan seperti terpana. "Ayo Bu, sekali lagi, sekali lagi!"

Tiba-tiba Pak Dokter berteriak keras. Keras sekali. "Terus dorong, dorong............ Lair! Lair! Lair!"

Tangisan istriku kembali ambrol-brol. Sekilas aku melihat Pak Dokter mengangkat seorang bayi merah yang mungil. Aku pun langsung ambruk-bruk. Beribu-ribu syukur aku ucapkan kepada Tuhan dalam sujudku.

Subhanallah! Jam 23.15 aku mempunyai seorang bayi laki-laki sangat tampan, normal dan sehat. Alhamdulillah, alhamdulillahi robbil 'alamin! Terima kasih Pak Dokter. Terima kasih para bidan muda. Maaf kalo aku tadi terlintas pikiran jahat kepada kalian.

Kini, Putriku, Putri Salsabila Adha Insany punya adik. Aku dan istriku memberi nama  dengan nama yang sangat indah: Khalfani Zeroun Firjatullah Pranaja. Semoga Allah  mengabulkan tafa'ulan kami dengan limpahan berkah dari makna nama putraku.  Terima kasih, terima kasih ya Rob.

Semoga ceritaku ini bermanfaat untuk anda calon ibu dan ayah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun