Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

SENI SEBAGAI RUANG PEWARISAN KEJAYAAN PERADABAN

26 Mei 2015   21:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:34 40 0
A. Pendahuluan
Bagi setiap peradaban, adat dan kebudayaan selalu tak dapat dipisahkan. Adat dan kebudayaan yang dilahirkan oleh setiap peradaban pada akhirnya menjadi ciri bagi sekelompok masyarakat yang dilingkupinya. Selain itu, adat dan kebudayaan dapat menjadi tolak ukur penilaian puncak kejayaan bagi suatu peradaban.
Sebagai ciri yang melekat pada sekelompok masyarakat, adat dan kebudayaan haruslah diwariskan oleh generasi sebelumnya kepada generasi sesudahnya. Sehingga dapat mencegah terputusnya estafet kejayaan dan buramnya perjalanan sejarah ke depan. Sedangkan cara atau metode yang lazim digunakan dalam proses pewarisan adalah pendidikan.
Pendidikan, bagi sebagian daerah berkembang sering hanya berorientasi pada tujuan dan bentuk fisik saja. Karena bagi kalangan ini, pendidikan sering dipandang sebagai kesatuan yang melekat pada tujuan pembangunan suatu daerah, sedangkan keberhasilan tujuan pembangunan lebih mudah diukur dari bentuk-bentuk fisik, seperti pembangunan gedung dan fasilitas-fasilitas umum yang tidak jarang justru lari dari tujuan pembangunan itu sendiri.
Ada benarnya meletakkan pendidikan sebagai bagian dari upaya pembangunan, sebab keduanya saling memiliki keterkaitan yang sangat erat. Akan tetapi apabila kita sedang menyandingkan dua hal tersebut (pendidikan dan pembangunan), maka secara otomatis kita juga sedang membicarakan satu unsur yang memiliki dua peran (subyek dan obyek); manusia.
Menganalisa keberadaan manusia, Prof. Dr. KH. MA. Sahal Mahfudz dalam bukunya memaparkan kelima komponen (unsur) dasar pembentuknya: jasad, akal, perasaan, nafsu dan ruh (Pesantren Mencari Makna; 1999). Manusia sebagai Subyek juga harus memperhatikan manusia sebagai obyek. Sehingga tujuan pembangunan tepat kepada sasaran dan benar-benar dapat memenuhi kebutuhan kelima komponen pembentuk manusia sebagai obyek.
Berjalannya suatu pendidikan sebagai proses pewarisan adat dan kebudayan dalam suatu lingkup daerah harus melibatkan segala elemen pendukungnya. Ki Hadjar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional), telah merumuskannya dalam satu istilah “Trilogi Pusat Pendidikan: Sekolah, keluarga dan lingkungan”. Selain sekolah dan keluarga, Ki Hadjar Dewantara memiliki pandangan bahwa atmosfer lingkungan memiliki peran yang begitu besar bagi perjalanan proses pendidikan. Oleh karenanya, penciptaan lingkungan sebagai salah satu pilar pendukung harus segera direalisasikan.

B. Membaca Seni
Secara definitif kita dapat mengetahui pengertiannnya menurut beberapa tokoh berikut:
a. Aristoteles: seni adalah peniruan terhadap alam tetapi sifatnya harus ideal.
b. Plato & Rousseau : seni adalah peniruan alam dengan segala seginya.
c. Ki Hadjar Dewantara: seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari perasaan dan sifat indah, sehingga menggerakkan jiwa perasaan manusia.
d. Drs. Sudarmaji: seni adalah segala manifestasi batin dan pengalaman estetis dengan menggunakan media bidang, garis, warna, tekstur, volume dan gelap terang.
e. Drs. Popo Iskandar: seni adalah hasil ungkapan emosi yang ingin disampaikan kepada orang lain dalam kesadaran hidup bermasyarakat/ kelompok.
Sebagai kepentingan edukasi, kata membaca terlihat lebih tepat untuk mengkaji kembali tentang posisi seni. Karena secara istilah kata “membaca” adalah kegiatan meresepsi, menganalisa dan menginterpretasi yang dilakukan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis.
Seperti yang sudah berkembang saat ini, ketika kita membicarakan “seni” di hadapan masyarakat umum, cibiran adalah sikap pertama yang harus kita dapatkan. Harus kita sadari, kesalahan ini bukan sepenuhnya berada pada masyarakat yang terlalu dangkal mengerti dan memahami posisi dan fungsi seni, akan tetapi kegagalan seorang seniman dalam menyampaikan perannya juga menjadi salah satu penyebabnya.
Pengenyampingan peran seniman oleh dan bagi terbentuknya masyarakat juga harus diperhatikan. Pengenyampingan peran ini benar-benar meletakkan seorang pelaku seni sebagai bagian masyarakat yang termarjinalkan. Padahal peran seniman dalam berbagai peristiwa besar masa lampau (baca-masa revolusi fisik) juga tidak kalah pentingnya. Bagaimana jadinya jika W. R. Supratman lebih memilih memegang senjata dibanding memegang biolanya? Siapa yang akan membakar semangat persatuan menolak penjajahan?
Sebagaimana beberapa pengertian seni menurut beberapa tokoh di atas, dapat dartikan bahwa seni adalah sesuatu yang tidak dapat berdiri sendiri (baca-seni untuk seni), akan tetapi seni adalah media yang harus bersinggungan langsung dengan masyarakat dan kehidupannya. Pramoedya Ananta Tur seorang novelis Indonesia yang juga pernah bergabung dalam LEKRA (Lembaga kebudayaan Rakyat) menolak konsep seni untuk seni tersebut. Karena seni untuk seni hanya akan membunuh seni itu sendiri. Seni yang mencakup sastra merupakan media yang strategis untuk menyampaikan nilai atau norma kehidupan bermasyarakat dan ajaran-ajaran keagamaan lainnya. Oleh karenanya ketersinggungannya langsung dengan masyarakat amatlah dibutuhkan.
Selain itu seni juga bisa menjadi media dokumentasi sejarah, adat dan kebudayaan yang mudah diterima oleh masyarakat. Sebagai contoh; Candi sebagai bagian dari seni rupa terapan yang diciptakan beberapa abad silam, saat ini dapat kita nikmati dan dapat kita terima informasi sejarahnya. Dari pertunjukan kethoprak (seni pertunjukan jawa) yang sering membawakan lakon-lakon berlatar waktu zaman kerajaan, kita dapat berkaca pada zaman kebesaran nenek moyang. Melihat fungsi tersebut kita bisa memposisikan seni sebagai etalase sejarah masa lampau, sekarang dan akan datang.
Kita akan mengembalikan posisi seni sebagai mana dulu disebut sebagai “tontonan sekaligus tuntunan”, dengan cara tidak hanya menikmati unsur estetikanya saja, namun juga harus mampu membaca nilai yang terkandung di dalamnya. Itulah yang dimaksud dengan membaca seni.

C. Mengukur Kejayaan Peradaban
Kejayaan suatu peradaban tidak saja hanya dapat diukur dari seberapa luas daerah kekuasaan dan seberapa besar jumlah tentara yang dimiliki, namun sebagaimana yang telah tertulis diatas, adat dan kebudayaan yang berkembang pada saat itu dapat juga menjadi tolak ukurnya. Dari adat dan kebudayaan yang berkembang kita dapat menilai pola pikir suatu masyarakat; jenis masyarakat primitif atau modern.
Adat dan kebudayaan yang sedang kita bicarakan tidak terbatas pada tata cara dan prosesi ritual kematian, pernikahan atau ritual-ritual sosial lainnya, akan tetapi pada pengertian kebudayaan dalam cakupan yang lebih luas lagi; literatur kesusastraan, keilmuan, sistem ekonomi, politik, sosial, keagamaan (kepercayaan) hingga karya seni yang dihasilkan oleh sebuah peradaban.
Berkaca pada beberapa peradaban yang pernah berada pada puncak kejayaannya; yunani, romawi, mesir, china, dan lain-lainnya. Perlu dipahami bahwa titik puncak kejayaan itu bukan saja dinilai dari bangunan fisik yang ditinggalkannya, karena bangunan fisik hanya sekedar bukti keberadaannya. Akan tetapi puncak kejayaan itu dapat dilihat dari keberadaan tokoh (ilmuwan) dengan literasi kesusastraan dan keilmuan yang mereka hasilkan.

D. Penutup
Saat ini kita tidak sedang berada pada posisi periode manusia pertama yang harus memulai dan membangun peradaban dari nol. Kita sedang berada pada masa yang dilematik. Generasi kita memiliki dua fungsi bagi keberlanjutan peradaban yang sudah diciptakan; yang mewariskan & terwarisi. Artinya, selain sebagai penjaga, kita juga harus bisa mencipta sesuatu untuk generasi selanjutnya.
Seni-- yang bersifat universal-- dan merupakan media sekaligus hasil dari kebudayaan suatu peradaban adalah alternatif yang akan kita gunakan sebagai ruang komunikasinya. Sebab ke-universalitas-an seni tersebut diharapakan dapat berfungsi sebagai medium yang netral bagi yang mewariskan & terwarisi. Di dalam ruang yang universal itulah akan kita flourkan segala sesuatu yang dianggap penting untuk disampaikan.
Mengutip perkataan saya pada tulisan yang lain, “titik puncak kejayaan suatu peradaban adalah ketika literatur kesusatraan dan keilmuan menjadi satu bagian dari sebuah kebudayaan”.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun