Oleh: Ahmad Rifai (Guru Ngaji PPM Daarul Arqom Klaten )
Tidak diragukan lagi bahwa kebangkitan sebuah bangsa—dalam skala besar dan kecil: komunitas sosial, budaya, pendidikan—pasti ditopang dengan ilmu. Oleh sebab itu segala hal yang terkait ilmu Allah apresiasi cukup besar berupa posisi yang tinggi dihadapan tuhannya dan sekaligus didepan manusia artinya didalam sebuah masyarakat dia diberi kepercayaan untuk menyelesaikan berbagai macam problem sebagai akibat logis kemampuannya mengurai problem yang terjadi dimasyarakat.
Dengan mengacu pada sepak terjang sejarah peradaban islam yang meluas dari timur hingga barat—eropa sampai asia— meskipun masing-masing mengalami evolusi yang unik mengacu pada kondisi sosial, budaya, geografi yang berbeda sebetulnya memiliki esensi yang sama dalam melakukan transformasi. Dalam upayanya melakukan perubahan selalu diawali dengan satu embabakan penting didalam memperbaiki masyarakat: memperbaiki tradisi keilmuan/ mencintai ilmu.
Kita bisa melihat didalam tarikh (sejarah) Nabi pada fase pertama di Mekah ayat yang pertama kali turun membicarakan tentang membaca padahal saat itu ayat al-qur'an belum turun semuanya, disitu mengisyaratkan bahwa disamping terdapat ayat qouliyah yang berupa teks ayat pun juga terdapat ayat kauniyah yang perlu dibaca sebab memiliki pelajaran penting bagi kehidupan manusia. Ayat-ayat kauniah itu yang kemudian melahirkan banyak sekali cabang ilmu: Ilmu-ilmu eksak dan sosial.
Tidak ada yang menyangsikan lagi bahwa peradaban islam mulanya adalah peradaban manusa yang hidup di bumi yang tandus, gersang, panas—dimadinah tidak sepanas makkah—mampu menyingkirkan dua imperium besar yang pada era itu menjadi negara superpower—lebih lengkap bisa merujuk ke surah al-Rum. Kita ibaratkan dalam konteks kita hari ini seperti amerika serikat atau cina yang mampu menjadi negara adidaya. Islam yang memiliki cita-cita liberation—merujuk pada pemikiran kuntowijoyo—memiliki tanggung jawab menebar kebaikan dan menolak kemungkaran.
Dengan demikian setelah beberapa waktu Nabi dan para sahabat memiliki kekuatan militer, ekonomi, politik yang memadahi sudah mulai mengirim surat ke para penguasa seperti: raja habasyah, dan para kepala suku dijazirah arab. Nabi yang memiliki kepentingan defensif terkadang juga perlu mengangkat senjata untuk melakukan pertahanan, bahkan sempat melakukan penyerbuan ke tabuk melawan romawi timur.
Pada masa awal perjalanan dakwahnya beliau Rasulullah merevisi besar-besbesar-besaran dalam ranah etika, politik, estetika, spiritual menuju transformasi yang lebih baik lagi dan lebih manusiawi; kita bisa membaca dalam sejarah islam betapa respon orang arab pada saat itu yang mulai panas melihat banyak sekali tradisi nenek moyang yang mulai direkonstruksi. Bangsa arab yang saat itu menjadi masyarakat tidak bermoral ditandai dengan penguburan bayi perempuan secara hidup-hidup, menjadikan wanita seperti budak suaminya, memperlakukan budak secara imoral, karena mereka belum mengenal sebuah sistem ilmu yang sekaligus transenden, abadi selamnya untuk mengatur seluruh urusan dunia dan akhirat mereka.
Dakwah hakikatnya adalah pendidikan adapun variabel didalam pendidikan adalah ilmu pengetahuan sedangkan illmu pengetahuan tidak akan mampu berkembang kecuali mendapatkan formula atau bahan-bahan mentah yang di olah menjadi satu perangkat berfikir untuk membaca realitas yang ada. Artinya Rasulullah dalam membaca realitas masyarakat mekah saat itu membutuhkan world view islam yang langsung diturunkan Allah berupa Al-Qur’an yang didalmnya memuat sistem kehidupan yang komperhensif dan mendalam; seluruh aspek kehidupan dari yang paling kecil semisal masuk kamar mandi hingga urusan besar pengelolaan negara.
Islam setelah melalui fase 23 tahun dijazirah arab lalu disusul 30 tahun dimasa daulah umayyah kemudian berkembang begitu pesat diera abbasiyah. Fase penting dalam sejarah islam ini ditandai dengan kesadaran untuk mengadopsi kemudian dilakukan purifikasi untuk memastikan tidak ada world view (pandangan alam) dari peradaban lain sehingga ada nilai otentik islam yang tentunya sumber utamanya adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Kita ambil contoh satu saja karya logika para sarjana muslim bermula dari kaidah-kaidah logika aristoteles (filosof yunani) yang kemudian kita kenal ilmu mantiq (logika) yang bisa dikatakan lebih “islami”.
Pemikiran atau tradisi intelektual yang berasal dari bangsa, agama, dan peradaban lain seperti yunani, romawi, persia digunakan untuk keperluan kaum muslimin untuk membaca realitas sebagai bentuk amanah memakmurkan bumi. Tuggas kaum muslimin untuk memakmurkan bumi membutuhkan satu perangkat berfikir yang tidak hanya mampu membaca, mengurai, menyusun realitas, tetapi disamping itu keilmuan dalam islam bersifat holistik atau terpadu antara aspek dunia dan akhirat, aspek iman, ilmu, amal; dalam islam semuanya menjadi satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Dalam bahasa singkatnya tidak ada dikotomi dalam islam.
Kalau dilihat seolah ada semacam perangkingan, antara ilmu amal; seolah amal atau ilmu secara otonom saling menegasi padahal sebetulnya tidak demikian. Setiap komponen harus saling berkait sebab ketiadaan satu komponen dalam islam akan tidak kompatibel. Kalau kita ibaratkan seperti motor: roda dalam susunan terpisah dia bisa dikatakan tidak lebih penting dari mesin, tapi apakah sebuah motor tanpa roda bisa berjalan? Tentunya tidak akan fungsional meskipun ketiadaan roda identitas motor masih bisa dikenali.
Abbasiyah yang memiliki perpustakaan yang yang kita kenal dengan Bait Al-Hikmah sekaligus observatorium menjadi sentral pengembangan ilmu pengetahuan. Berkumpulnya para jntelektual yang mencintai ilmu dan kebijaksanaan (wisdom) mampu menelurkan ratuusan judul buku membuat peradaban abbasiyah menjadi semacam kota metropolitan dizaman itu. Bagaimana ilmu tidak berkembang sedangkan para ilmuan dan ulamanya diberikan fasilitas yang memadai untuk kemudian fokus menulis, meneliti, dan melakukan inovasi dengan sebuah pembiayaan yang fantastis. Data menarik yang ditulis sejarawan muslim mengatakan: “penerjemah yang sanggup menerjemahkan dengan berat buku satu kilo akan diberi imbalan sebesar berat buku tersebut. Memang terkesan positivis—mengukur dengan nominal—tapi begitulah cara pemimpin dahulu menghormati ilmu; alhasil islam memiliki izzah (kewibawah) dimata bangsa lain; al-islamu ya’lu wala yu’la alaihi: “islam tinggi dan tiada yang lebih tinggi”.
“Superioritas” islam sebagai sebuah peradaban yang maju dan beradab ditandai dengan “pluralitas” yang dijaga dengan standar toleransi yang sangat tinggi.. Peradaban barat yang belum terlalu dipertimbangkan sebagai sebuah kekuatan besar pada saat itu menjadi murid umat islam di andalusia, tercatat mereka yang berguru kepada ilmuan di Andalus tidak hanya umat muslim saja. Kesadaran atas pluralitas manusia islam membuka siapapun dari manapun dan beragama apapun untuk belajar sampai menjadi seorang expert dibidangnya.
Ibnu Rusyd, Ibn Sina, Al-Kindi dan yang lainnya adalah diantara ilmuan yang karyanya hingga saat ini masih dipellajari oleh dunia barat. Bahkan lebih dari dua abad kitab al-qanun fi al-tibb karangan Ibn Sina yang mengulas ilmu kedoteran masih terus dikaji bahkan sampai hari ini.. Karya Ibn Khaldun yang berjudul mukaddimah yang mengulas filsafat sejarah, sosiologi, ekonomi, dll sampai saat ini juga masih dikaji secara massif dibarat. Bahkan seorang founder FB menggunakan karya ilmuan asal yaman tersebut untuk membangun teori sosial baru untuk membaca realitas sosial kontemporer.
Ini berarti karya otentiknya ibn khaldun sangat penting sekali dalam khazanah pemikiran barat! Melihat betapa besar kontribusi yang dihasilkan, sayangnya dikalangan umat islam sendiri kitab ini tidak begitu diminati, pamornya kalah dengan turots-turots fikih. Padahal banyak sekali sarjana-sarjana muslim yang menelurkan karya dibidang ilmu alam dan sosial. Inii sebuah kesedihan sekaligus tamparan keras bagi kita! Begitu banyak karya ilmuan muslim yang tidak mendapat perhatian itu artinya kita meninggalkan banyak sekali khazanah keilmuan.
Kesimpulan dari premis diatas adalah kejayaan umat islam—dalam arti luas—bisa diukur dengan parameter kecintaan terhadap ilmu. Umat ‘iqro’ adalah sebutan yang layak disandang kaum muslimin bukan imma’ah (pengekor) untuk kaum muslimin sebagaimana sabda nabi:” Bersemangatlah dalam mencari segala hal yang mendatangkan manfaat”! Dalam konteks ini adalah mencintai ilmu dan pengetahuan.
Berharap sejarah yang agung itu menjadi semacam panduan dan kurikulum belajar untuk kembali membangunkan umat yang telah lama tertidur. Eksploitasi sejarah islam jangan berhenti menjadi semacam romantisme sejarah yang pad akhirnya tidak akan menghasilkan apa-apa.
Wallahualam
Sumber:
Raghib Al-Sirjani: Sumbangan Peradaban Islam Untuk Dunia
Fuad Basya: Sumbangan Keilmuan Islam Untuk Dunia
Kuntowijoyo: Paradigma Islam
Artikel republika: Zuckerberg terinspirasi buku The Mukaddimah; 9 juni 2015