Cerita buram nasabah Citi bukan kali pertama saya dengar. Yang paling akrab berupa melambungnya tagihan kartu. Teman istri saya termasuk kategori nasabah Citi yang sial ini. Sejak itu saya tak lagi berminat jadi nasabah konsumer bank ini. Jauh sebelumnya, saya kepincut produk bank jenis ini. Apalagi, kabar dari seorang teman menyebutkan hanya kartu kredit keluaran Citi yang diterima Amazon, raksasa toko buku di dunia maya. Saya tak memverifikasi kabar itu. Yeah, walaupun sempat kelimpungan mencari The Media Monopoly dari Ben H. Bagdikian saat istri saya menyiapkan skripsinya beberapa waktu lalu. Pasrah saja, kartu lain juga tak punya. Kasian deh!
Belakangan saya mendapat telepon dari marketing Bank Mega. Dia menawarkan kartu kredit yang di-bundling –atau apa namanya- dengan kartu anggota Bandung Supermal (BSM), pusat perbelanjaan modern di Bandung. Kebetulan saya sudah terlebih dahulu menjadi member BSM. “Syaratnya cuma fotokopi KTP, Pak Najip,” suara di ujung sana. “Oke,” saya menjawab. Tak lama setelahnya saya mendapat kiriman form aplikasi dari Bank Mega. Oya, Mega dan BSM berada dalam satu holding Para Group yang dimiliki Chairul Tanjung, pengusaha yang belakangan didaulat SBY menjadi ketua Komite Ekonomi Nasional.
Singkatnya, saya menerima BSM Ultima yang juga bisa difungsikan menjadi kartu kredit keluaran Mega. Boleh dibilang, BSM Ultima itu sama dengan Mega Visa. Bedanya, pemegang BSM Ultima mendapat sejumlah perlakuan khusus dari manajemen BSM. Selain gratis parkir selama periode tertentu, pemegang kartu juga bisa menikmati lounge di lantai satu pusat belanja yang mengklaim memiliki paling banyak kafe tersebut. Ada juga fasilitas ladies parking. Senangnya saya memegang kartu itu.
Masalah mulai datang. Ah, saya menyebutnya masalah saja. Dalam setiap pekannya hampir bisa dipastikan mendapat tawaran kartu kredit. Banknya aneka rupa, mulai yang familiar sampai yang baru kali itu saya mendengarnya. Sayang, tak ada tawaran dari Citi dan Bank Mandiri. Alasan saya pengen Citi sudah disebutkan di atas. Soal Mandiri, hmm... saya termakan promo bank hasil merger sejumlah bank pelat merah ini. Bagaimana tidak tergoda, sepanjang Jalan Setiabudhi, Cihampelas, sampai RE Martadinata dijelali promo cicilan nol persen.
Yang ditunggu tiba. Saya mendapat tawaran Mandiri. Bukan lewat telemarketing, melainkan ketika saya berkunjung ke Hypermart. Lagi-lagi syaratnya cuma KTP, tambahannya BSM Ultima tadi. Mungkin sebulan saya menunggu. Setelah itu kartu terbit. Malah, dua kartu sekaligus. Mastercard Everyday dan Visa Hypermart. Sejak itu saya punya tiga kartu kredit. Saya mulai terbiasa gesek sana gesek sini saat berbelanja. Sempat saya kebablasan. Untung nggak keterusan.
Pengalaman paling menarik adalah kartu terakhir. Saya tergelincir mengiyakan ketika diembel-embeli bonus telepon seluler. Juga, limit kartu dilipatgandakan dari kartu terdahulu. Huhhh, korban iklan euy! Perhitungan saya sederhana saja, ketika dilipatgandakan berarti bisa mencicil kebutuhan yang lebih mahal. Maklum, banyak niat tawaran cicilan menggunakan kartu kredit. Barangkali promo supergencar ini yang membuat populasi kartu kredit serus meroket dari tahun ke tahun. Catatan Kompas dari Bank Indonesia, populasi kartu utang ini naik 14,7 persen per tahun selama kurun 2008 hingga 2010. Pada akhir 2010 terdapat 13,57 juta kartu dan akhir Februari 2011 bertambah lagi menjadi 13,8 juta lagi.
Balik lagi, kartu saya yang terakhir ini menyisakan cerita lebih panjang. Selain kartu yang butuh berbulan-bulan untuk tiba di Violet Copy Centre, bonusnya juga tak kunjung nongol. Istri saya sudah berjuta kali ngomel, jangan-jangan kena tipu. Saya santai saja. Gambaran cerita buruk penipuan nasabah melintas sesekali. Ngeri juga menyimaknya. Ya sudahlah, kita tunggu saja dulu. Kartu tiba, tetap bermasalah.
Masalah pertama, kartu sempat salah alamat, tepatnya tidak sampai ke alamat saya. Marketing bank kok nggak bertanya ke mana kartu harus dikirim. Tiba-tiba saya mendapat telepon dari call centre Bank Mega kalau kartu balik lagi. Saya bilang, kok tidak bertanya. Saya pun meminta tagihan dikirim saja ke surat elektronik alias email. Cara ini menurut saya paling praktis. Juga semakin menghemat kertas. Go green pokoknya, heheh.. “Terima kasih, tagihan berikutnya akan dikirim ke alamat email Bapak,” kata staf Mega di Jakarta sana.
Dugaan saya, setelah saya revisi alamat pengiriman, tagihan segera dikirim kembali ke alamat baru. Apalagi, alamatnya sama dengan alamat pengiriman kartu yang sebelumnya saya terima. Ups, ternyata tidak. Saya sama sekali tidak mendapat lembar tagihan pertama. Sialnya, bank menganggap saya tak menjalankan kewajiban membayar tagihan. Logikanya, bagaimana saya bisa membayar tagihan, jumlahnya saja saya tidak tahu. Dalam lembar tagihan berikutnya, saya dinyatakan terlambat sehingga harus membayar denda. Anjritt!! Sampai di sini saya ingin mengatakan bahwa bank telah bertindak sepihak dan cenderung seenaknya. Dalam hal ini, nasabah selalu berada di pihak yang dirugikan. Tengoklah cerita tragis nasabah Century atau bahkan IBIST bertahun silam. Ketika oknum bank melarikan uang nasabah, maka nasabah dipaksa kehilangan haknya. Cerita lainnya banyak. Semoga saya tidak menambah panjang daftar korban perbankan di republik ini.
Kini soal bonus. Lamaaaa saya menunggu voucher penukaran ponsel. Padahal, ponselnya juga kelas low-end. Kalaupun saya menunggu, bukan berarti saya butuh banget itu ponsel. Dalam benak saya, kalau gratis kenapa nggak. Setelah voucher datang, sehari kemudian saya meluncur ke sebuah gerai plus service centre yang ditunjuk di Jalan RE Martadinata, tidak jauh dari Taman Pramuka.
Saya tergopoh-gopoh tiba di lantai dua bangunan cukup tinggi itu. Saya pun diarahkan ke bagian customer service. Seorang perempuan cantik menghampiri saya. “Bapak mau menukarkan voucher Bank Mega?” Saya mengangguk. “Begini Pak, stoknya lagi kosong. Persisnya begini, voucher yang dikeluarkan Bank Mega lebih banyak dari ponsel yang disediakan mereka.” Nah, lho...