Saya baru bertemu muka dengan pemilik nama Yusuf Macan Effendi itu ketika genderang pemilihan gubenur (Pilgub) Jawa Barat mulai ditabuh. Saya masih ingat, ketika itu Dede mengumpulkan wartawan di Grand Aquila, hotel berbintang lima di bilangan Pasteur. Dede yang kala itu masih anggota DPR RI tampil santai dengan kaus warna kuning berpadu kaca mata hitam. Ada juga sejumlah pengurus Partai Amanat Nasional (PAN) dan makanan ringan. Saya tidak tahu, mana di antara keduanya yang lebih penting bagi sang bintang kala itu.
Politisi muda kelahiran Jakarta 14 September 1966 ini lantas menyampaikan maksudnya. Yang berbaju biru bergambar matahari terbit mengamini. Kala itu belum menyebutkan posisi apa yang akan dibidik. Jabar-1 atau Jabar-2 masih samar. Dede melihat perkembangan. Kalau saya tidak lupa mengingat, keputusan Dede menjadi orang nomor dua di provinsi yang kini dihuni 43 juta jiwa itu datang setelah Ahmad Heryawan gagal menjajakan diri menjadi pasangan Danny Setiawan, incumbent kala itu. Pertemuan politik keduanya terjadi di masa injury time musim semi pencalonan bakal calon gubenur. Boleh jadi spekulasi belaka.
Setelahnya saya beberapa kali bertemu Dede –dan juga Heryawan. Sempet juga pasangan paling muda di panggung Pilgub ini mampir ke kantor saya kala itu, Harian Pagi Radar Bandung, di Jalan Ir. H. Djuanda 335 Bandung. Saat pulang, keduanya memberikan cinderamata berupa plakat bergambar Dede-Heryawan saling mengepal tangan. Saya sendiri hanya memberi doa. Gak apa-apa, nggak ada yang tahu ini. Heheheh...
Lama setelah itu saya tak pernah lagi bertemu. Saya masih sempat mengirimkan pesan singkat berisi ucapan selamat ketika hasil perhitungan sementara di Metro TV menunjukkan pasangan Hade, akronim dari Heryawan-Dede, unggul. Sampai malam itu, SMS masih sampai ke nomor tujuan. Ada harapan besar akan adanya perubahan kala itu. Sebuah harapan berlebihan tentunya. Mungkin kita memang tidak udah menggantungkan asa pada politikus. Sampai kapanpun jua. Hik hik hik..
Dan, waktulah yang menjawabnya. Sebulan ini saya digoda untuk membaca berita tentang “kutu loncat” di sejumlah media. Banyak yang menyayangkan, sedikit yang membela. Di antara yang membela itu antara lain sesama “kutu loncat”, Ruhut Sitompul. Dalam sebuah berita saya membaca, pengacara kondang ini membela koleganya karena dia juga loncat dari pohon beringin lalu kemudian bergantung di bintang trisula. Saya sempat mention Dede Yusuf di microbloging Twitter. Tak ada reply, retweet, atau quote tweet. Tak apa-apa.
Kalau saya menyimak, loncat pagar memang lumrah di republik ini. Contohnya banyak. Tapi sejauh ini, pindah partai atau setidak-tidaknya keluar dari partai terjadi dalam spektrum perebutan posisi orang nomor satu di partai ini. Seingat saya, ekonom Faisal Basri keluar dari PAN ketika dia gagal dalam pemilihan ketua umum; Wiranto mendirikan Hanura setelah gagal berebut posisi di Golkar yang kala itu masih dipimpin Akbar Tanjung; Fuad Bawazier juga pindah ke Hanura setelah kalah bersaing dengan Sutrisno Bachir di PAN; Rombongan Roy BB Janis mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) ketika gagal memunculkan calon alternatif di kandang moncong putih; Meski masih malu-malu disebut mempersiapkan partai, Surya Paloh mendeklarasikan Nasional Demokrat (Nasdem) setelah gagal bersaing dengan Ical alias Aburizal Bakrie di bawah pohon beringin. Bila digeneralisasi, semua berujung pada kekecewaan dalam perebuatn posisi. Begitulah polah para politikus. Seolah rakyat ini bodoh.
Nah, Dede Yusuf ini lain. Dia memutuskan pindah ke Demokrat karena dia tidak pede dengan kendaraannya. Memang, enam kuris PAN di DPRD Jabar belum cukup dijadikan modal untuk mengusung calon gubernur. Tapi apakah karena itu lantas harus pindah perahu. Tentu, ini sangat menyakitkan bagi kader PAN di Jawa Barat, mungkin di mana pun. Saya sendiri bukan kader PAN, bukan kader parpol mana pun. Saya menulis ini semata-mata bentuk keheranan dan kegerahan melihat polah sang aktor.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana Dede Yusuf ketika berkunjung ke daerah. Tahun lalu, ketika dia berjunjung ke sebuah perkampungan, yang menyambut adalah pada saudara PAN. Selang sebulan, yang menyambut sudah berbeda. Sama-sama biru. Bagaimana gejolak batin sang bintang ketika bertemu dengan konstituen di daerahnya. Dulu yang menyambut berupa uluran tangan ke atas menyerupai salam khas Adolf Hitler. Besok lain lain. Meski sama-sama biru. Dede yang getol berjunjung ke daerah akan mendapat sambutan berbeda dari kader PAN. Tentu saja.
Saya punya pengalaman begini: Ketika MS Kaban menjadi Menteri Kehutanan, dia berkunjung ke Ciamis. Persis daerahnya saya lupa. Kebetulan saya ikut rombongan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten. Pagi sekali saya berangkat dari Bandung. Rombongan beriringan dari depan sebuah hotel terkemuka di Ciamis. Saya lupa menghitung jumlah iring-iringan kala itu. Yang teringat, Menteri Kaban menggunakan Prado, jip keren Toyota Land Cruizer yang diimpor utuh alias completely built up (CBU) dari Jepang.
Saya sendiri menumpang Mitsubishi L300 putih agak kuleuheu,heuheu.. Ikut bersama rombongan adalah rimbawan Ciamis. Di tengah jalan dia berujar, “Masih inget nomor mobil itu?” ujarnya sambil menunjuk sebuah low multi-purpose vehicle (MPV) keluaran Toyota –atau Daihatsu, saya lupa. Di bagian kaca belakang mobil kecil warna hijau tosca terdapat tulisan, “DPC Partai Bulan Bintang Ciamis.” “Oh, mobil punya DPC PBB,” gumam saya. Ternyata bukan. Itu mobil milik rental punya rimbawan tadi. Demi menyambut ketua umum, kala itu MS Kaban juga Ketua Umum DPP PBB, kader-kader di daerah ini rela patungan menyewa mobil rental. Biar keren, ditambahkanlah embel-embel tulisan di belakangnya.
Ya ampuun, nekat benar mereka. Saya baru tahu, demikian militan kader PBB. Demi gengsi elite partai mereka tulus patungan menyewa sebuah mobil. Kini saya membayangkan, bagaimana bila yang dalam mobil itu kader PAN. Mereka patungan menyewa mobil untuk menyambut wakil gubernur yang dibangga-bangkan sebagai kader juga. Keesokan harinya, wagub berkunjung lagi. Kali ini yang dijemput sudah berganti baju. Hmmm... bagaimana kalau saya yang menjadi wagub tadi? Entahlah, rasa-rasanya saya membayangkan pun sudah merasa hina. Begitulah politik!