Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kelangkaan Pupuk dan Peran Wartawan

29 November 2008   11:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:24 606 0
GARDU itu tak seperti biasanya. Setidaknya ada tujuh orang di tempat itu. Melihat pemandangan yang tidak lazim, apalagi hari masih pagi, Sikun beranjak ke sana. Setumpuk pertanyaan mengendap dalam dada Sikun. "Ada apa kang Suja, pagi-pagi sudah kumpul?"

Orang yang dipanggil Suja tidak menoleh ke Sikun. Matanya terus memelototi koran di tangannya. "Ternyata ada oknum-oknum yang sengaja menimbun pupuk, sehingga kita kesulitan mendapatkannya," kata suja. Matanya masih terus memelototi koran itu.

"Siapa?"

"Oknum," kata Suja. "Tak dijelaskan disini, siapa oknum itu. Mungkin oknum itu seorang pejabat, mungkin pula seorang pengusaha, koran ini tak jelas memberitakannya. Yang jelas dan yang pasti, akibat ulah oknum itu, kita-kita orang kecil mendapatkan getahnya."

"Ah berita basi," kata Sikun. Asap berbau kemenyan menyembur dari bibir Sikun.

"Maksudmu?"  tanya Suja. Wajahnya menolah ke arah Sikun. "Apa sampeyan sudah membaca koran ini?" Terpancar dari mata Suja rasa heran mengapa Sikun mengatakan bahwa berita yang baru dibaca itu adalah berita basi. Darimana Sikun tahu itu, lah wong pak Aris juga baru membelikan koran itu, dan Suja yang pertama kali membacanya.

"Aku sudah membanya sejak beberapa tahun lalu," kata Sikun. "Berita yang ada di koran hari ini tidak beda dengan berita setiap tahun ketika musim tanam padi. Beritanya selalu sama, kelangkaan pupuk. Nanti ketika musim panen pun beritanya akan sama, harga gabah anjlok."

Semua orang di gardu itu kaget mendengar kata-kata Sikun. SIkun itu sok tahu, mungkin itu pikiran  mereka. Lah wong Sikun belum membacanya kok sudah berkata begitu. Tapi, kata-kata Sikun bahwa dia sudah membaca berita itu sejak beberapa tahun lalu menarik mereka.

"Gak usah kaget,"kata Sikun. "Kalau hanya untuk tahu tentang kelangkaan pupuk, tak perlu membaca koran. Pun untuk tahu harga gabah anjlok, juga gak perlu baca koran. Kalau mau baca koran mending koran yang banyak gambar artisnya, yang indehoi-indeoi. Eman-eman membaca, apalagi membeli koran yang beritanya hanya kelangkaan pupuk, dan anjolknya harga gabah."

Orang-orang yang di gardu itu, atau malah semua warga kampung, tahu betul siapa Sikun. Sikun itu duda. Dia ingin kawin lagi, tapi sampai lima tahun sejak kematian istrinya, dia belum juga menemukan pengganti. Sering dia berkhayal tentang gadis cantik menjadi istrinya. Jadi, kalau hanya gomong 'mendingan melihat gambar artis yang indehoi', orang-orang yang di gardu itu sudah paham betul apa maksudnya.

Tapi kalau  ngomong berita kelangkaan pupuk dan anjloknya harga gabah sebagai barita basi, itu baru sekali mereka dengar. Mereka penasaran.

"Sampeyan ngomong itu darimana? Sampeyan juga gak pernah baca koran?" Suja bertanya.

"Bukankah setiap musim tanam kita mengalami kelangkaan pupuk? Bukankah pula setiap musim panen kita mengalami anjolknya harga gabah? Aku ngomong berdasarkan pengalaman ini," jawab Sikun

Sikun berheti berkata, asap tebal menyembur dari bibirnya. Bau kemenyam menyebar di sekitar gardu.

"Kita ini pelaku pertanian, petani," lanjut Sikun. "Kita mengalami banyak hal dengan sawah-sawah kita. Dulu, ketika masih muda, tahun 80-an, kita diminta ini dan itu oleh pemerintah. Termasuk kita juga diminta untuk menggunakan bibit dan pupuk tertentu. Sebagai  orang kecil  tak ada yang bisa kita tolak. Kita pun senang pada akhirnya, karena pengunaan bibit dan khususnya pupuk-pupuk  itu ternyata menghasilkan yang lebih baik dari sebelumnya."

Sikun mengebulkan asap dari bibirnya kembali. Orang-orang yang ada di gardu diam, mereka berhenti membaca koran, mendengarkan Sikun.

"Kita juga tahu, dan sadar," Sikun melanjutkan, "bahwa kita kemudian bergantung dengan pupuk-pupuk itu. Kita tidak pernah mempersalahkan, karena memang secara nyata produksi pertanian kita meningkat. Aku kira semua orang senang dengan ketergantungan ini. Hanya mereka yang bodoh saja  yang tidak mau menggunakan pupuk-pupuk itu."

Suasana makin hening. Sikun melanjutkan kata-katanya, "Tapi, kemudian kita menjadi lalai, yang disebabkan karena rasa ketergantungan yang berlebihan kepada pupuk-pupuk itu. Kita tidak lagi bisa berbuat apa-apa ketika pupuk  yang kita butuhkan ternyata sudah tidak ada, entah tidak ada ini karena memang 'sudah tidak ada sama sekali' ataupun karena 'ditiadakan atau ditimbun oleh oknun tertentu. Kalau saja rasa ketergantungan itu tidak berlebihan, tentu kita tetap punya alternatif lain dari pupuk-pupuk itu."

"Sebentar kang," potong salah seorang dari mereka. "Alternatif, apa maksudnya. Sama-sama orang kampung jangan pake istilah aneh-aneh lah"

"He hehe," Sikun tertawa. "Aku kira sampeyan biasa membaca koran, masa kata alternatif gak tahu maksudnya." Orang yang bertanya itu cengar-cengir.

"Tapi sungguh aku gak ngerti," kata orang itu. Masih cengar-cengir. Giginya yang kecoklatan, bukan karena sering makan coklat, tapi karena gak pernah gosok gigi, makin memperjelas cengar-cengirnya.

"Maksudnya begini," Sikun melanjutkan. "Karena rasa ketergantunan yang berlebihan pada pupuk-pupuk itu, kita jadi kelabakan ketika ada kelangkaan pupuk. Semestinya  tidak demikian seandainya kita tidak bergantung yang berlebihan. Kita masih bisa mencari pupuk-pupuk lain, selain pupuk-pupuk itu. Sehinga ketika musim tanam begini, kita tak bingung manakala pupuk menjadi langka."

"Pupuk lain?" Suja bertanya. "Maksudmu pupuk lain selain pupuk-pupuk yang kita selama ini gunakan?"

"Ya, memang pupuk lain. Tapi sejatinya bukan pupuk lain, karena orang tua di kampung kita juga menggunakannya, dulu. Mungkin sampeyan tidak mengalami masa-masa itu. Aku yang makin tua ini mengalaminya, ketika orang tua kita di kampung ini menggunakan pupuk yang dibuat sendiri, dari kotoran hewan-hewan yang ada di kampung kita, juga dari sampah, dan abu (bekas kayu bakar). Kini dengan bahasa yang canggih, juga dengan teknologi yang lebih canggih, orang menyebutnya pupuk organik. Inilah pupuk lain,  yang kita lupakan. Dan karena kita telah melupakannya, maka ketika ada kelangkaan pupuk-pupuk kimia itu, kita menjadi klabakan semua."

Suja mengangguk-anggukan kepala. Yang lain melakukan hal yang sama. "Karena itulah sampeyan mengatakan bahwa berita di koran ini sudah basi?" tanya suja.

"Ya,'" jawab sikun, "Aku baru tertarik membaca berita jika bukan berita semacam itu. Misalnya, berita tetang 'harga pupuk turun drastis memasuki musin  tanam', 'harga gabah naik sangat tinggi tahun ini', atau 'penjual pupuk gulung tikar karena petani bikin pupuk sendiri'. Menurutku itu baru berita aktual, dan aku akan membacanya."

"Maaf kang,'" seseorang bertanya lagi, "aktual itu apa maksudnya?"

Sikun menatap orang itu, sambil mesam-mesem. "Ah, sampeyan lagi, aktual gak ngerti. Makanya jangan baca koran yang beritanya melulu begitu dari tahun ke tahun, baca koran yang beritanya tentang 'penjual pupuk gulung tikar karena petani membuat pupuk sendiri'."

"Memangnya koran yang beritanya seperti itu, belinya dimana, kang?" tanya Suja.

Mendengar pertanyaan itu, Sikun tertawa., "Ha ha h aha... Sampeyan saja yang suka baca koran gak ngerti, apalagi aku yang gak pernah membacanya. Coba saja tanya sama wartawan, apa mereka ngerti ya koran yang beritanya tentang 'kelebihan pupuk saat musim panen' atau 'penjual pupuk gulung tikar karena petani bikin pupuk sendiri?'"

"Ah," seseorang diantara mereka nyeletuk, "jangan-jangan wartawan  itu bodoh, ya kang?"

"Maksudmu?" tanya sikun.

"Kalau mereka pintar," kata orang itu, "pasti menulis berita berita semacam 'kelebihan pupuk saat musim tanam'."

"He he he...," Sikun tertawa, "Sampeyan benar juga. Tapi wartawan kan hanya menuliskan, bukan mengarang fakta. Kalau wartawan menulis berita 'kelebihan pupuk' itu bisa berarti mengarang fakta. Bila demikian, itu baru wartawan bodoh, dan karena kebodohan itu, dia  bisa dituntut menyebarkan kebohongan."

"Berarti, lebih baik menulis berita basi daripada menulis berita bohong?"

He he heheh Sikun tertawa. Yang lain juga tertawa.

"Sudah dulu ya, aku kebelet ..... " kata Sikun, sambil meninggalkan tempat itu. ***

Akhmad Murtajib, http://akhmadmurtajib.com

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun