Selain bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, kebijakan ini juga tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). UU Minerba mengatur bahwa kegiatan usaha pertambangan harus mendapatkan izin dari pemerintah dan mengutamakan kepentingan nasional, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat. Mengingat ormas agama biasanya tidak memiliki keahlian teknis dalam bidang pertambangan, ada kekhawatiran bahwa mereka tidak akan mampu memenuhi persyaratan ini. Ketidakmampuan dalam memenuhi standar operasional dan lingkungan yang ditetapkan dapat menimbulkan risiko besar terhadap keselamatan, kesehatan, dan lingkungan.
Di samping itu, kebijakan ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). UU Ormas mengatur bahwa ormas berfungsi sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan nasional dan pelaksanaan tugas-tugas sosial. Namun, tidak ada ketentuan dalam UU Ormas yang secara eksplisit mengatur bahwa ormas agama dapat mengelola usaha pertambangan. Fungsi utama ormas agama lebih difokuskan pada kegiatan sosial, keagamaan, dan kemasyarakatan. Dengan demikian, kebijakan yang memberikan izin kepada ormas agama untuk mengelola tambang dapat dianggap menyimpang dari tujuan utama pendirian ormas dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Kebijakan ini juga menimbulkan masalah sosial yang signifikan. Dengan tidak mencantumkan ormas non-agama dalam kebijakan ini, pemerintah secara tidak langsung menciptakan ketidakadilan dan diskriminasi di antara berbagai kelompok masyarakat. Hal ini bisa memicu kecemburuan sosial dan memperburuk polarisasi di masyarakat. Dalam konteks Indonesia yang pluralistik, kebijakan semacam ini bisa berdampak negatif pada harmoni sosial dan kohesi nasional. Berbagai organisasi masyarakat dan agama telah menyuarakan penolakan mereka terhadap PP Nomor 25 Tahun 2024. Muhammadiyah, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) termasuk di antara ormas yang secara tegas menolak peraturan tersebut. Mereka berpendapat bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan konflik kepentingan, memperburuk politisasi agama, dan berpotensi merusak kohesi sosial. Muhammadiyah, misalnya, menyatakan bahwa mereka lebih fokus pada pengembangan program-program pendidikan, kesehatan, dan sosial daripada terlibat dalam bisnis tambang yang penuh risiko.
Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan organisasi-organisasi Kristen lainnya juga mengkhawatirkan dampak sosial dan lingkungan dari kebijakan ini. Mereka menegaskan bahwa pengelolaan tambang seharusnya tetap berada di tangan negara dan dikelola secara profesional untuk memastikan keberlanjutan dan tanggung jawab sosial. Tambang memiliki risiko besar terhadap lingkungan, termasuk kerusakan ekosistem, pencemaran air, tanah, dan udara. Pengelolaan tambang oleh entitas yang tidak memiliki keahlian yang memadai dapat memperburuk dampak negatif ini. Regulasi yang lemah dan kurangnya pengawasan dari pihak berwenang hanya akan memperparah situasi, berpotensi menyebabkan bencana lingkungan dengan dampak jangka panjang. Dari sisi sosial, keterlibatan ormas agama dalam bisnis tambang bisa memicu konflik kepentingan dan potensi korupsi. Selain itu, politisasi agama yang semakin kuat bisa merusak kohesi sosial dan memicu ketegangan di masyarakat.
Keputusan pemerintah untuk memberikan jalan bagi ormas agama mengelola tambang melalui PP Nomor 25 Tahun 2024 adalah kebijakan yang penuh dengan risiko dan tantangan. Di satu sisi, ini bisa menjadi langkah untuk memberdayakan ormas agama dan mendorong distribusi kekayaan yang lebih merata. Namun, di sisi lain, ini juga menimbulkan berbagai masalah serius, termasuk potensi pelanggaran konstitusi, kecemburuan sosial, kerusakan lingkungan, konflik kepentingan, dan politisasi agama. Penolakan dari ormas besar seperti Muhammadiyah, KWI, PMKRI, dan HKBP menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak mendapatkan dukungan luas dari masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan ini dan memastikan adanya mekanisme pengawasan yang ketat serta dukungan yang memadai bagi ormas yang terlibat. Implementasi yang transparan, akuntabel, dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk memastikan kebijakan ini tidak menjadi bumerang yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Pemerintah perlu melakukan kajian mendalam dan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak sebelum meneruskan kebijakan ini, agar kepentingan nasional, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan dapat terjamin. Selain itu, dialog dan mediasi antara berbagai kelompok masyarakat perlu dilakukan untuk menjaga harmoni sosial dan memastikan bahwa semua kelompok mendapatkan kesempatan yang adil dalam partisipasi ekonomi. Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk memperluas partisipasi ekonomi tetapi juga untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.