Tasik yang biasa dikenal dengan berbagai gelar kehormatan ideal, seperti kota santri, seribu pesantren, relijius islami, atau gelar lain yang sepadan, harus mulai bercermin lalu berbenah. Jangan-jangan, gelar tersebut telah membuat kita lengah. Kemudian terlena dalam kenyamanan yang dilandasi ketidaktahuan (atau bahkan pura-pura tidak tahu).
Memang, terlalu dini untuk menyimpulkan, bahwa aneka gelar ideal tadi tidak layak lagi disematkan pada Tasikmalaya. Karena, bagaimanapun juga, ribuan pesantren dengan jutaan kiai dan santri, benar-benar hadir di sini. Tetapi, di luar itu, kita tidak bisa menutup mata, bahwa berbagai persoalan telah melilit kota ini. Salah satunya kejadian di atas.
Penulis tidak sedang melakukan penyimpulan (generalisasi) dari kejadian ini. Tetapi hanya mengingatkan, bahwa kita tidak boleh larut dalam kenyamanan, sehingga lupa terhadap berbagai persoalan yang muncul di sekeliling. Kejadian ini, sudah selayaknya dijadikan bahan untuk melakukan introspeksi (mawas diri) masing-masing. Apa pun posisi dan peran kita dalam kehidupan, sama-sama memiliki tanggungjawab dalam membangun dan mengawal kota ini. Termasuk di dalamnya pondok pesantren.
Tentu kita tidak berharap, hanya karena satu kasus, rusak seluruh citra Tasikmalaya. Semoga dengan seribu pesantrennya, adagium Tasik relijius islami bukan retorika politik semata.
Menela’ah Pesantren di Tasikmalaya
Pesantren memiliki hubungan tersendiri dengan daerah-daerah di nusantara, termasuk Tasikmalaya. Sebagai lembaga yang khas, ia sudah melekat kuat dalam perjalanan sejarah kita. Pesantren di Tasikmalaya, tercatat sebagai salah satu tempat lahirnya para pejuang kemerdekaan. Tidak hanya itu, lembaga ini ikut andil dalam mengisi kemerdekaan bangsa kita, serta telah terbukti mampu melahirkan banyak tokoh berpengaruh di negeri ini.
Ia bukan hanya menjadi lembaga pendidikan, tetapi lebih dari itu, mampu memosisikan diri sebagai lembaga budaya, sosial, juga ekonomi. Bahkan, Gus Dur (1988), menyebutnya sebagai sub kultur, dan memberi gelar kiai sebagai agen budaya. Pesantren sebagai institusi sosial tidak hanya berbentuk lembaga –dengan seperangkat pendukung seperti masjid, ruang mengaji, asrama (kobong) santri, beberapa guru dan kiai- tetapi merupakan entitas budaya yang berdampak terhadap kehidupan sosial yang melingkupinya.
Sejauh ini, pesantren dipahami sebagai tempat yang sejuk, tenang dan damai. Di dalamnya, para santri (cantrik) mencurahkan tenaga dan pikiran untuk belajar dan membentuk karakter. Sementara kiai (sang guru), menyerahkan diri, jiwa dan raga mereka dengan tulus untuk memberikan pengajaran dan teladan hidup. Solidaritas, kebersamaan, persaudaraan, dan ketulusan menjadi ciri tersendiri yang membekas kuat dalam benak kita mengenai lembaga ini. Sehingga wajar, jika ia dipercaya untuk mengawal kehidupan, melahirkan manusia ideal, agen budaya baik, memproduksi cara berpikir yang sempurna, serta tugas-tugas mulia lainnya.
Jika demikian, mau tidak mau, gelar seribu pesantren harus mampu menyelamatkan kota ini dari berbagai masalah sosial yang mencerminkan kebobrokan moral. Baik itu yang dilakukan oleh warga sekitar pesantren, maupun oleh mereka yang bergelar “alumni” pesantren.
Memang, jika hanya menghubungkan kasus di atas dengan pesantren, sangat tidak bijak. Apalagi menyalahkan pesantren sebagai institusi. Tetapi, hemat saya, dalam persoalan seperti ini, pesantren memiliki andil tersendiri untuk menjawabnya.
Seperti dipaparkan Said Aqiel Siradj (1999), pada awalnya, sebuah pesantren lahir dari sosok kiai yang mampu menginspirasi warga sekitar (inspiratif). Sang Kiai yang telah menyelesaikan pendidikan dari beberapa kiai di berbagai tempat, kemudian mukim (menetap) di suatu tempat. Lalu mendirikan langgar dan memimpin shalat berjama’ah di sana. Kemudian, kehadirannya dirasakan bermanfa’at dan menginspirasi warga sekitar, sehingga tertarik untuk belajar dan menitipkan anak-anak mereka kepadanya.
Hal ini memberi kesan, bahwa seorang pendiri pesantren betul-betul tulus dan tanpa pamrih apa pun. Sehingga, pesantren mampu menjadi inspirasi bagi warganya, serta menjadi pengawal suatu peradaban. Mungkin, pesantren seperti inilah yang menurut Iip D. Yahya (2013), dalam perjalanan sejarah Tasikmalaya, mampu menjadi kabuyutan yang dapat menebarkan spiritualitas islami bagi Sukapura, termasuk pemerintahannya.
Hemat saya, pada pesantren demikianlah kita masih mampu menggantungkan harapan. Pesantren yang mampu menabiri diri, dari jebakan untuk menjadi komoditas ekonomi serta dijadikan sumber daya politik. Karena, dengan menjadi komoditas ekonomi, pesantren akan bergeser dan atau menghindar dari tanggungjawab menyelamatkan umat. Idealisme kiai untuk mengawal peradaban, akan dipertaruhkan dengan iming-iming perbaikan kualitas ekonomi, posisi di masyarakat, atau keuntungan material semata.
Sedangkan, jika sebuah pesantren sudah dijadikan sumber daya politik oleh oknum tertentu, dikhawatirkan hanya menjadi pembenar terhadap suatu kebijakan. Ia hanya akan terjebak dalam rutinitas untuk membantu kalangan tertentu dalam mendapatkan dan melanggengkan kekuasaan. Umat dan santri, dikhawatirkan tidak lagi menjadi prioritas utama.
Cepat atau lambat, jika pesantren terjebak oleh godaan-godaan tersebut, akan ditinggalkan atau justru meninggalkan umat. Umat akan kehilangan panutan dan benteng peradaban. Sehingga, mereka akan berusaha mencari panutan baru, yang jangan-jangan, seperti disindir Nabi Muhammad saw melalui salah satu haditsnya, sebagai panutan yang sesat dan menyesatkan.
Penulis masih yakin dan berharap, pesantren -khususnya di Tasikmalaya- mampu dan senantiasa berkomitmen menjadi solusi terhadap berbagai persoalan umat. Serta tidak terjebak menjadi komoditas ekonomi, atau bahkan tergiur menjadi sumber daya politik. Sehingga, kejadian memalukan sekaligus memilukan seperti di atas tidak akan pernah terjadi lagi di kota tercinta ini.