Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Kelas Literasi Damai: Damai pada Diri Sendiri yang Kita Tahu

15 Oktober 2022   15:43 Diperbarui: 15 Oktober 2022   16:07 238 1

Jumat menjadi hari yang terbaik, dari tiap-tiap waktu dan hari,  jumat seperti yang terbaik dari yang baik, jumat adalah antara kepenatan dan kebahagiaan saling bertemu dalam satu waktu, seperti Muhammad Al Fatih yang berhasil mengembalikan kebangkitan Islam ditengah keputusaaan pasukan Islam dalam merebut konstantinopel.

Dalam hari yang saya lalui selama tiga hari-dimulai hari jumat hingga minggu (30/09/2022) bertempat di bogor megamendung, bersama generasi literat dalam kelas literasi damai yang penuh dengan pencapaian,  pencapaian intelektual, pencapaian toleransi, saling menerima perbedaan, tapi bukan itu yang saya sendiri maknai, pertemuan itu membuka ruang saya untuk memahami dan mengerti pada tiap-tiap individu yang berbeda dari beda karakter, fisik dan terlebih adalah soal keyakinan. Saya mempercayai bahwa sisi kemanusiaan harus dikedepankan di banding hal apa pun, se-tidak-sempurnanya manusia adalah bukan pilihan,  tiap manusia mempunyai kesempurnaanya masing-masing,  kesempurnaan itu tidak pantas rasanya bergantung kepada pendapat orang lain.

Pertama saya sama sekali belum mengenal generasi literat, dalam kegiatan ini ada 8 panitia seingatku, pikiran saya ialah paling-paling acara seperti acara lainya yang tidak berkesan dan formal. apalagi  kali pertama saya mengikuti kegiatan generasi literat temanya adalah soal literasi damai, tentu kata yang selalu berdekatan dengan saya sendiri, damai adalah hal yang besar, hal yang sedikitnya mempengaruhi kehidupan manusia bagi tiap suku,  agama, ras, dan antargolongan bahkan Negara.
Namun saya tidak pernah begitu dalam memaknai arti damai itu sendiri, hal menarik saya pikir untuk sebagai seorang manusia yang kegiatanya bertemu dengan manusia lain untuk memaknai damai.

Seperti hal pada umumnya kami dari 30 peserta yang sangat berbeda dari soal umur, pandangan,  hingga keyakinan, dan tentu saja bagi saya ini adalah hal paling baru, saya tidak begitu banyak kawan yang berbeda keyakinan, mungkin terhitung jari, ruang materi yang saya ikuti sejak hari pertama hingga materi penutup begitu menarik dan membuat saya terdorong untuk menulis esensi kegiatan ini, dari soal pembicaan agama, penghayatan agama, kesetaraan, serta berpikir kritis ala Rocky Gerung-menjadikan simpul dari setiap materi itu menjadi tajam, jika jembatan suramadu menyambungkan antara surabaya dan madura, Rocky bisa dikatakan menjadi Suramadunya kami, yang membawa kami terbuka dengan materi yang saling menyambung.

Di hari kedua tentu saya merasakan sesuatu, ada sesuatu yang nampak berbeda dari hari yang dijalani, setelah malamnya mendengar bagaimana kawan ahmadiyah bercerita, masyarakat yang masih terkandung konservatif dan dogmatis, tidak menerima pada perbedaan dalam mengartikan tuhan, tentu saja malam itu perasaan saya marah pada orang yang mempersekusi kawan ahmadiyah, membayangkan hal tersebut adalah diri saya sendiri, bagaimana cara kita menerjemahkan tuhan di persoalkan oleh masyarakat yang mempersekusi. 

Kawan  Ugamo Malim adalah agama asli masyarakat lokal Batak Toba mendapatkan diskriminasi dalam lingkunganya, terlintas dalam benak saya apakah memang identitas adalah menjadi sumber konflik untuk kita? Bukan kah dalam tiap-tiap keyakinan kita mengajarkan pada hal yang baik bukan hanya individu akan tetapi lingkungan kita juga, sifat saling mengasihi dan mencintai antar umat manusia bukankah kesepakatn kita sebagai manusia di dunia ini yang harusnya rasa itu tidak memandang identitas, warna kulit, dan lainnya.

Setelah melewati hari kedua, dalam kesunyian malam hari serta ketenangan, lebih tepanya saya sedang asyik duduk santai di teras untuk  memandang indahnya langit, kawan lain yang sengaja untuk sekedar mengobrol, bercengkrama dengan kami, semakin mengobrol dan mengalir ia menceritakan kisahnya yang tidak pernah saya bayangkan dan duga, adalah untuk pertama kalinya saya menangis dalam hati serta  jiwa, tentu saya setidaknya menahan air mata tangis, bukan,  bukan karena saya malu untuk menangis,  tetapi tangisan itu bukan milik saya, tangisan adalah milik kawan lain untuk saat itu, setidaknya saya mendengarkan dengan baik cerita kawan lain.

Saya adalah orang yang beruntung menerima kepercayaan dari kawan lain, bagaimana hidupnya ialah hidup yang tidak diinginkan pada setiap Anak, ayahnya meninggalkanya, ibunya meninggal karena takdir saat usia kawan lain masih bayi dan lucunya, memori kawan lain soal ibu tidak pernah ada karena memang tidak ada kesempatan untuk " dirinya merasakan secara jelas bentuk, raut, sentuhan tangan ibunya, janganpun melihat foto ibunya, dia bahkan tidak pernah melihatnya",  yang dia tahu hanya namanya serta tanggal kematian ibunya, hidupnya hanya sendiri sedangkan kakanya sudah milik keluarga kecilnya, mendengarnya saya terdiam,  terpaku, dan pertahanan air tangis saya jebol juga, keluar pada akhirnya tangisan itu walau tentu saya cepat-cepat basuh dengan baju.

Bagi kawan lain dirinya sudah berdamai, dari kelas literasi damai dilaksanakan dia merasa damai dengan situasi dan kondisi dirinya, hingga dia bisa menerima perbedaan dari orang lain, saya melihat senyumnya, senyum yang dibalut oleh tangisan.

terakhir saya mengutip kata indah dari kawan saya Arsen pemuda katolik salah satu peserta juga dia bilang " Kasihilah musuhmu seperti kamu mengasihi dirimu sendiri" kata yang akan selalu saya ingat dan tanamkan dengan penuh implementasi.


ucapan terimakasih untuk panitia yang hebat dan bekerja keras untuk kesuksesan acara kelas literasi damai, sarangheo.   

Penulis : Ahmad Khudori peserta KLD, Mahasiswa UIN Banten 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun