Maya mengangguk setuju dan berjanji akan berhati-hati. Ia berlalu dari rumah kayu mereka dengan keranjang bambu yang kosong di punggungnya. Jejak langkahnya yang pernah ditinggalkan membawa aroma tanah basah dari hujan semalam. Ia melangkah dengan penuh semangat menelusuri jalur yang sudah dikenalnya selama bertahun-tahun.
Namun, hari ini, hati Maya berdebar-debar dengan perasaan aneh. Ia merasa seperti ada sesuatu yang menariknya ke arah lain, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Meskipun tergoda untuk mengikuti dorongan tersebut, Maya mencoba untuk mengabaikannya dan melanjutkan perjalanannya.
Setelah berjalan cukup jauh, Maya berhenti sejenak untuk beristirahat. Ia meletakkan keranjangnya di rerumputan dan meraih minumannya dari kantong samping. Saat mengangkat kepalanya, pandangannya terpaku pada sesuatu yang menakjubkan.
Tidak jauh dari tempatnya berdiri, terdapat kolam berair jernih yang begitu indah. Airnya berkilauan di bawah sinar matahari, dan bunga-bunga liar mekar di sekitarnya. Maya terpesona dan tanpa sadar berjalan mendekat. Suara gemericik air membuat hatinya tenang, namun entah mengapa, sesuatu mengganggu pikirannya.
Saat Maya mencoba mengingat kembali jejak langkahnya yang membawanya kesini, ia tak bisa mengingatnya sama sekali. Ia merasa heran karena seharusnya ia mengenali area ini, tetapi ia merasa asing dan tersesat.
"Kemana aku pergi?" gumam Maya dalam hati. Namun, semakin ia mencoba mengingat, semakin jejak langkahnya terasa pudar. Ia berusaha untuk kembali ke jalur yang biasa ia lalui, tetapi semakin ia berjalan, semakin terasa seperti tersesat di hutan yang pernah ia kenal begitu baik.
Hari berlalu dan Maya tidak kunjung menemukan jalur pulang. Ia merasa putus asa dan takut. Setiap kali mencoba mengikuti jejak langkahnya, mereka menghilang seolah tak pernah ada. Maya merasa terperangkap dalam hutan ini, kehilangan jejak langkahnya yang terlupakan.
Dalam kebingungannya, Maya tiba-tiba teringat pesan kakeknya. "Jangan pernah menyimpang dari jalur yang biasa kau lalui," gumamnya pelan. "Tapi bagaimana aku bisa kembali jika aku tidak bisa mengingat jejak langkahku sendiri?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Ia duduk di bawah pohon besar, berusaha merenungkan apa yang harus dilakukan. Saat itulah, ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah patung aneh yang tersembunyi di balik semak-semak. Patung itu menggambarkan seorang wanita yang sedang memegang sebuah benda.
Maya mendekati patung tersebut dan merasa bahwa ada yang mengaitkannya dengan jejak langkah yang ia cari. Ketika ia menyentuh patung itu, ia merasakan getaran aneh yang mengalir melalui tubuhnya. Ia tiba-tiba diselimuti oleh kilatan cahaya dan merasakan dirinya mengambang di udara.
Ketika ia membuka mata, ia berada di tengah-tengah desa, tepat di depan rumah kayu mereka. Kakeknya sedang duduk di beranda, menunggu kepulangannya dengan cemas.
"Maya! Kau sudah kembali! Kita semua khawatir padamu," kata kakeknya dengan lega.
Maya tidak bisa percaya pada apa yang baru saja terjadi. Ia bingung dan takjub sekaligus. Ia menceritakan pengalamannya pada kakeknya, tentang patung yang ia temukan, dan bagaimana ia tiba-tiba kembali ke desa.
Pak Iskandar mendengarkan cerita cucunya dengan penuh perhatian. Ia tersenyum lembut dan berkata, "Mungkin patung itu adalah hadiah dari hutan sebagai pengingat bahwa kita harus selalu menghormati alam dan tidak menyimpang dari jalur yang telah kita kenal. Hutan adalah tempat yang penuh dengan keajaiban, tetapi kita harus tetap berhati-hati."
Sejak saat itu, Maya selalu menghormati hutan dan mengingat pesan dari patung tersebut. Jejak langkahnya yang terlupakan kini menjadi pengingat bagi dirinya bahwa alam memiliki kekuatan dan misteri yang tak terbatas. Ia belajar untuk selalu bersyukur atas keindahan dan keajaiban yang ada di sekitarnya, dan memahami bahwa sifat alam yang luas dan tak terduga, layaknya jejak langkahnya, adalah sesuatu yang tak boleh ia remehkan.